103 Izin Perkebunan Sawit dan Tambang di Papua Tumpang Tindih

Konten Media Partner
18 Januari 2019 22:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
103 Izin Perkebunan Sawit dan Tambang di Papua Tumpang Tindih
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Perekebunan Sawit di Papua. (Dok foto: Ardiles Rante)
Jayapura, BUMIPAPUA.COM – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Papua (KMSTRP) minta pemerintah menunda izin baru di sektor pertambangan, perkebunan sawit dan kehutanan di Papua. Koalisi ini mengklaim menemukan beberapa izin yang tumpang tindih di kawasan hutan lindung Papua.
ADVERTISEMENT
Dari data hasil analisis dengan metode tumpang tindih (overlay) yang dilakukan KMSTRP menunjukkan 103 izin industri berbasis lahan yang terdiri dari 63 izin pertambangan, 21 izin perkebunan sawit dan 19 izin IUPHHK-HA/HTI yang izinnya tumpang tindih.
“Kami juga menemukan izin tidak mematuhi aturan perundang-undangan. Sebanyak 187 izin industri berbasis lahan, banyak yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan," jelas Johnny Teddy Wakum dari LBH Papua.
KMSTRP menyebutkan dari total 82 izin usaha perusahaan di Papua, sebanyak 34 izin statusnya adalah non clear. Artinya 34 izin tidak memenuhi persyaratan administrisi tetapi ijinnya dikeluarkan.
Teddy merekomendasikan untuk Pemerintah Provinsi Papua agar penundaan izin dengan mereview izin yang bermasalah dan memperbaiki sistem perizinan, pendapatan negara dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah Provinsi Papua harus menerbitkan kebijakan penundaan izin di tiga sektor tersebut dalam bentuk instruksi gubernur dengan masa berlaku tiga tahun,” ujarnya.
Teddy menambahkan selama kebijakan penundaan izin baru diberlakukan pemerintah membentuk tim evaluasi yang terdiri dari OPD terkait akademisi, organisai masyarakat sipil dan perwakilan masyarakat adat untuk mengevaluasi seluruh izin pada tiga sektor tersebut.
Lalu, hasil evaluasi tim tersebut digunakan oleh pemerintah Provinsi sebagai dasar untuk menata izin dan mencabut izin yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memperbaiki sistem perizinan yang terintegrasi, transparan, partisipasi dan akuntable.
KMSTRP menyebutkan akibat dari tumpang tindih tersebut, kerugian penerimaan Negara dari DR mencapai USD 57 Miliar atau setara dengan Rp 8 miliar.
ADVERTISEMENT
Tim koalisi menilai keterbukaan dari OPD atau dinas terkait yang menyebabkan sulitnya akses data untuk NGO melakukan review perijinan, sehingga merekomendasikan OPD melakukan penataan izin.
Selain itu dari konflik agraria, KMSTRP menemukan sekitar 419 kasus konflik sumber daya alam (SDA) yang terjadi seperti di Mimika, Nabire, Keerom dan Jayapura.
“Di Kabupaten Nabire misalnya, masyarakat suku Yerisiam Gua menggugat PT. Nabire Baru ke PTUN akibat perampasan tanah adat mereka yang ditanami menjadi perkebunan sawit," ujarnya. (Liza)