Apa Kabar Lapangan Terbang Perintis di Papua?

Konten Media Partner
20 Juni 2021 13:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pesawat perintis yang parkir di Bandara Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. (BumiPapua.com/Lazore)
zoom-in-whitePerbesar
Pesawat perintis yang parkir di Bandara Mulia, Kabupaten Puncak Jaya. (BumiPapua.com/Lazore)
ADVERTISEMENT
Jayapura, BUMIPAPUA.COM- Keberadaan penerbangan perintis di Papua sudah cukup lama berlangsung, bahkan sejak jaman penjajahan Belanda. Satu-satunya cara untuk mengeksploitasi sulitnya medan di Papua yakni dengan penerbangan perintis.
ADVERTISEMENT
Berbagai maskapai penerbangan perintis silih berganti beroperasi di Papua, dari maskapai Nugini Belanda atau De Kroonduif, kemudian penerbangan misi seperti MAF dan AMA, hingga maskapai milik Merpati, hingga kini Susi Air.
Sebelum jalan trans Papua dibuka dari wilayah Nabire ke berbagai daerah di pegunungan tengah Papua, semua perjalanan dilakukan menggunakan pesawat perintis.
Papua memiliki 300 lapangan terbang. Penerbangan perintis ini sangat membantu mobilitas penumpang hingga distribusi barang. Dari Enarotali Paniai, Moanemani Dogiyai, Mapia atau Modio Dogiyai, pesawat perintis sering memuat hasil pertanian, umbi-umbian dan sayur mayur, serta hasil kopi ke Nabire.
Namun setelah jalan trans Papua Nabire - Paniai mulai lancar, keberadaan sejumlah lapangan terbang perintis mulai sepi. Seperti terlihat pada lapangan terbang Modio, Dogiyai. Selain itu Lapangan Kelila di Lembah Baliem bagian barat.
ADVERTISEMENT
Termasuk lapangan perintis di daerah pesisir Papua, misalnya di Kabupaten Sarmi yang hampir tak lagi digunakan, karena jalur Jayapura-Sarmi sudah terhubung jalan darat.
Peneliti pada balai Arkeologi Papua, Hari Suroto menjelaskan Lapangan terbang Modio dan lapangan terbang perintis lainnya di wilayah pegunungan Papua, harus tetap dipertahankan keberadaannya sebagai saksi penting awal peradaban dan saksi keberadaan penerbangan perintis dulunya.
Lapangan terbang perintis tak boleh dialihfungsikan menjadi pemukiman atau bangunan lain. Namun lapangan tersebut bisa dimanfaatkan untuk kegiatan atau acara budaya maupun acara keagamaan yang melibatkan banyak orang.
"Lapangan terbang perintis perlu terus dipertahankan keberadaannya, karena lapangan tersebut adalah saksi penting awal peradaban di Lembah Baliem, Paniai, Dogiyai, Deiyai maupun Intan Jaya," katanya, Minggu (20/6).
ADVERTISEMENT

Pilot Asli Papua

Pesawat Susi Air yang melayani sejumlah kabupaten di pedalaman Papua. (Dok foto: istimewa )
Pesawat terbang kecil dan lapangan terbang perintis menjadi akses transportasi utama ke pedalaman Papua. Sejak 2017 hingga sekarang terdapat sekitar 100 pilot asli Papua yang belum mendapat pekerjaan.
Mereka lulusan dari sekolah pilot di Filipina, Selandia Baru maupun sekolah pilot di dalam negeri.
Selama bersekolah, biaya ditanggung oleh Provinsi Papua. Mereka adalah SDM unggul yang siap pakai dan masing-masing mengantongi lisensi terbang, namun banyak yang belum bisa mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh meski sudah melamar ke maskapai-maskapai yang beroperasi di Papua.
Apalagi sejak pandemi covid-19 serta adanya gangguan keamanan oleh KKB, jadwal penerbangan ke pedalaman Papua berkurang.
"Pemprov Papua harus belajar pada Pemkot Surabaya pada saat Bu Risma menjabat sebagai walikota. Pemkot Surabaya memfasilitasi lima anak Surabaya untuk sekolah pilot dan setelah lulus, mereka dibantu penyaluran kerjanya ke maskapai yang beroperasi di Surabaya," jelas Hari.
ADVERTISEMENT
Solusi lainnya adalah untuk kabupaten di Papua yang masih mengandalkan pesawat terbang sebagai transportasi utama, dapat menganggarkan dana untuk membeli pesawat terbang kecil. Pesawat terbang kecil ini dapat menjadi aset daerah dan dikelola sebagai badan usaha milik daerah.
"Pesawat terbang ini dapat dipiloti oleh pilot asli Papua atau pilot putra daerah dari masing-masing kabupaten pemilik pesawat," jelasnya.
Solusi lainnya adalah pilot asli Papua dapat bekerja di maskapai di Pasifik Selatan, seperti di Papua Nugini, Vanuatu, Fiji dan sebagainya yang memiliki kultur sama Melanesia.

Lapangan Kerja

Pesawat perintis yang melayani sejumlah kabupaten di pedalaman Papua. (Dok foto: istimewa )
Sebelumnya, Komisi V DPR Papua menggelar rapat dengar pendapat dengan pilot asal Papua pada awal Mei lalu. Kebanyakan pilot yang hadir belum mendapatkan kesempatan untuk terbang.
ADVERTISEMENT
Ketua Komisi V DPR Papua, Timiles Jikwa prihatin dengan pilot asli Papua yang masih menganggur meski telah menempuh pendidikan di sekolah pilot.
"Segala upaya sudah dilakukan dengan melakukan pendekatan ke sejumlah perusahaan maskapai yang beroperasi di Papua, namun belum ada panggilan. Padahal para pilot Papua ini merasa siap bersaing di dunia penerbangan," jelas Timiles.
Edu Meki, salah satu pilot asal Papua menyebutkan ia dan ratusan pilot asli Papua belum mendapat kesempatan terbang. Ia yakin lulusan sekolah pilot asal Papua mampu bersaing di dunia penerbangan.
Edu yang mengaku lulus pada sekolah pilot tahun 2017, pernah diberikan kesempatan terbang selama kurang lebih 1 tahun 6 bulan.
Dia berharap lulusan pilot yang telah mengikuti jenjang pendidikan penerbangan dan telah dinyatakan lulus mendapat perhatian pemerintah. “Saya yakin, kami semua mampu dan bisa, hanya saja belum diberi kepercayaan,” ujar Edu.
ADVERTISEMENT