Konten Media Partner

Buaya diantara Pengrajin Kulit di Merauke

2 Januari 2019 16:20 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buaya diantara Pengrajin Kulit di Merauke
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pengrajin souvenir kulit buaya di Merauke sedang membuat tas. (Foto Abdel)
ADVERTISEMENT
Merauke, BUMIPAPUA.COM - Ruangannya tak terlalu luas. Dinding bangunannya pun tak terlihat istimewa, hanya terbuat dari kayu papan. Bagian depan bangunan itu hanya ditempelkan jerami, sehingga udara leluasa masuk.
Di dalam ruangan itu pun terlihat berantakan. Bau bahan kimia menyengat hidung ditambah ruangannya tak telalu terang. Bau bahan kimia itu bisa sesekali lenyap ketika dua buah kipas angin dinyalakan.
Ruangan yang terlihat kumuh itu adalah ruang kerja para pengrajin souvenir kulit buaya bermerek Mas Kulit, di kawasan Kelurahan Samkai-Kai, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke. Mas Kulit ini memproduksi tali pinggang, tas, dompet, dan bahkan tas golf, yang semunya berbahan kulit buaya, maupun kulit hewan lainnya.
Hari itu, Selasa, 18 Desember 2018, jam dinding menunjukan pukul 07.00 WIT, Maria Rearubun (49 tahun) sudah memainkan tangannya dengan mengoles-oles campuran bahan kimia (obat pewarna). Obat pewarna itu dioleskan pada sebuah tas terbuat dari kulit buaya. "Ini sudah masuk tahap finishing Mas," katanya.
ADVERTISEMENT
Di ruangan usaha rumahan pengrajin kulit buaya yang sumpek itu, Maria bekerja tanpa gunakan masker. "Saya sudah 15 tahun bekerja disini Mas, kesehatan saya tetap terjaga karena setiap bulan kami diberikan susu dan selalu menjalani pemeriksaan kesehatan,” ungkap Maria memberi alasan.
Maria bekerja di pengrajin Mas Kulit tak sendiri. Dia bersama beberapa teman prianya. Ada yang bekerja sebagai perancang, penjahit, pewarna dan sebagainya. Maria sendiri tak pernah menghitung berapa banyak karya souvenir yang dibuat oleh timnya.
“Aduh kalau berapa banyak karya, saya tak pernah hitung. Kami prinsipnya bekerja saja. Tapi kalau beberapa model yang pernah dibuat saya ingat. Ya, seperti tas wanita, tas pria, berbagai model dompet, sepatu bahkan tas golf. Tergantung model diinginkan pemesan," tutur Maria, ibu lima anak ini.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, pembuatan souvenir berbahan kulit ini tak melulu menggunakan kulit buaya, tapi dimodifikasi kulit lainnya, seperti kulit sapi. “Kalau dulu belum ada kulit sapi, kami pakainya kulit kangguru, tapi itu bagian dalam souvenir. Tapi kalau untuk bagian luar, tetap kami gunakan kulit buaya," ujarnya.
Usaha pembuatan souvenir kulit buaya di Merauke memang selama ini jadi trend, karena kualitasnya. Belakangan usaha rumahan kulit buaya di Merauke tumbuh subur di bergai pelosok Kota Merauke, Papua.
Bagi masyarakat umum, souvenir kulit buaya asal Merauke memang terkenal untuk wilayah Papua dan kini di luar Papua. Tapi banyak warga pun tak pernah tahu cikal bakal lahirnya souvenir kulit buaya hasil pengrajin Merauke yang begitu terkenal.
ADVERTISEMENT
Merauke terkenal dengan souvenir kulit buaya tak terlepas dari peran almarhum Agus, sang pemilik brand Mas Kulit. Walau Agus bukan orang pertama yang memulai usaha rumahan pengrajin kulit buaya ini, tapi dia justru yang membuat usaha pembuatan souvenir kulit ini lebih terkenal di luar Merauke.
“Usaha rumahan Mas Kulit sendiri ada sejak 1995. Hingga kini, kami jaga kualitas produksi kami. Hampir semua pengrajin kulit buaya yang ada di Merauke, semuanya dulu bekerja dengan ayah saya. Mereka berhenti bekerja lalu buat usaha sendiri, dan hingga saat ini mereka bisa mandiri," beber pemilik Mas Kulit, Bagus Prasetyo.
Lisensi Pemanfaatan Kulit Buaya di Papua
Menurut Kepala Kantor Sumber Daya Alam (KSDA) Merauke, Irwan Evendi, setidaknya ada 50 tempat usaha pengerajin souvenir kulit buaya di Merauke. Mereka ini tergabung dalam koperasi Pengerajin Kulit Buaya Anim Ha.
ADVERTISEMENT
“Mereka memegang lisensi (surat ijin) pemanfaatan kulit buaya di Papua. Kalau tempat usaha pengerajin kulit buaya di Merauke itu ada lebih dari 100 tempat usaha, tapi yang tergabung dalan koperasi itu hanya 50 pengrajin. Selebihnya itu, mereka bisa dikatakan ilegal," ujar Irwan.
Irwan mempertegas, 50 tempat usaha kulit ini yang bisa diakomodir KSDA. Mereka dalam pengawasan pemanfaatkan kulit buaya. Sehingga dalam produk mereka itu terdapat label (hologram). Produk mereka juga bisa dikirim keluar Merauke.
“Sementara tempat usaha kulit buaya yang tak tergabung dalam koperasi, maka produknya tidak dapat di pasarkan keluar Merauke. Itu kan banyak yang kami tahan di bandara kalau produk yang tak menggunakan hologram,” beber Irwan.
ADVERTISEMENT
Pelaku usah kulit yang tergabung dalam koperasi, kata Irwan, mereka dalam memanfaatkan kulit buaya itu diatur dan diawasi oleh kouta. Masing-masing tempat usaha kulit mempunyai kebutuhan kulit buaya bervariasi.
Kulit buaya ini, kata Irwan, didapat dari salah satu perusahaan penangkaran di Jayapura. “Perusahaan ini sebagai mitra KSDA. Pengerajin kulit di Merauke punya bapak angkat di Jayapura. Bapak angkat inilah yang menyuplai kulit buaya ke Merauke," bebernya.
Menurut Irwan, dalam setahun, kulit buaya yang disuplai dari bapak angkat di Jayapura itu bisa mencapai 1.800 lembar kulit buaya dari kouta yang ditetapkan dalam setahun yakni, 3. 600 lembar kulit.
“Itu artinya pemanfaatan kulit untuk pengrajin di Merauke masih tergolong sedikit dari kouta yang ditetapkan. Kulit buaya yang digunakan harus kulit buaya dewasa, bukan anakan atau induk. Ukuranya 15 -20 inchi ukuran lebar dada buaya,” jelas Irwan.
ADVERTISEMENT
Dengan pemanfaatan kulit buaya yang bisa saja dapat menganggu kelangsungan hidup buaya di Papua. Namun menurut Irwan, buaya di Papua masih terjaga walaupun ada perburuan warga yang juga nantinya dijual ke bapak angkat itu.
"Survei tahunan kita di zona selatan Papua, seperti Merauke, Mappi, Boven Digoel, dan Asmat, serta zona Maberamo, baik Mamberamo Raya dan Tengah, Sarmi, serta Waropen, populasinya masih terjaga,” ujar Irwan.
Irwan mengakui, pengrajin kulit buaya di Merauke dalam produksi souvenir tak semuanya produksinya menggunakan kulit buaya. Mereka juga menggunakan kulit lain seperti kulit sapi.
“Pengrajin kulit buaya itu kan kalau di Papua hanya ada di beberapa daerah, di Merauke dan di Mimika. Pengrajin souvenir kulit buaya di luar dua daerah ini, itu dianggap ilegal,” terang Irwan. (Abdel)
ADVERTISEMENT