Hutan Sakral di Kampung Selil, Merauke, Dirusak Perusahaan Sawit

Konten Media Partner
21 Februari 2020 14:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu kawasan perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting, Kabupaten Merauke. (BumiPapua.com/Abdel Syah)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu kawasan perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting, Kabupaten Merauke. (BumiPapua.com/Abdel Syah)
ADVERTISEMENT
Merauke, BUMIPAPUA.COM - Hutan sakral masyarakat adat suku Marin di Kampung Selil, Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua, dibabat habis perusahaan kelapa sawit PT Bio Inti Agrindo (BIA).
ADVERTISEMENT
Akibatnya, masyarakat menuntut rehabilitasi hutan sakral yang dibabat habis untuk kepentingan perusahaan.
Dari total luas lahan 39.900 hektar milik PT BIA, terdapat 0.2 hektar kawasan sakral milik masyarakat adat Marin.
Hutan sakral yang terletak di blok 2-24 Estate A di babat habis oleh operator perusahaan pada 10 Januari 2020.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malin Huze Anim Merauke, Sebastian Ndiken, menyebutkan untuk menyelesaikan masalah ini, pihak perusahaan dan masyarakat adat telah bertemu.
"Perusahaan memberikan dana kompensasi Rp 200 juta dari tuntutan sebelumnya Rp 3 miliar. Kompensasi telah diterima sejumlah marga dan akan digunakan untuk rehabilitasi hutan sakral," katanya, Jumat (21/2).
General Manajer PT BIA, Yanto Dawena, menyebutkan permasalahan pembayaran kompensasi telah dilakukan. Hanya saja, ketika persoalan ini tersiar di media sosial, barulah ada penyelesaian yang melibatkan masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah daerah Merauke.
ADVERTISEMENT
“Ada sanksi dari pemerintah terhadap kami (perusahaan), tetapi kami belum tau sanksi apa yang diberikan. Terlebih persoalan ini juga sudah dianggap selesai dengan pembayaran kompensasi dan pemotongan babi secara adat yang akan dilakukan akhir Februari mendatang," jelas Yanto.

Hutan Keramat Tak Bisa Dibayar

Pertemuan para pihak untuk rehabilitasi hutan sakral yang digelar PT. BIA dengan masyarakat adat Marin serta Pemerintah daerah Merauke yang dilakukan pada salah satu hotel di Merauke. (BumiPapua.com/Abdel Syah)
Koordinator Papua bagian selatan WWF Merauke, Ronald Tehthool, menilai pengrusakan hutan sakral harusnya tidak perlu terjadi, sebab perusahaan sudah melakukan pemetaan kawasan.
“Ketika hutan sakral dirusak, menandakan perusahaan tidak mengindahkan nilai adat istiadat penduduk setempat,” ujarnya.
Ronald menambahkan harusnya kerusakan hutan sakral tidak dapat dinilai dengan uang atau apa pun, sebab kawasan itu merupakan kawasan keramat yang dipercaya membawa sumber kehidupan, peninggalan nenek moyang suku tersebut.
ADVERTISEMENT
“Harusnya tempat keramat tidak bisa diukur dengan nilai, karena budaya sangat mahal nilainya,” ujarnya.
Ronald menjelaskan, ada enam kawasan konservasi bernilai tinggi yang tidak boleh diganggu oleh perusahaan perkebunan, antaranya Blok hutan atau hutan yang tidak pernah dijamah atau tidak pernah terbakar, tempat satwa, dan daerah serapan air.
Lalu ada juga kawasan flora dan fauna, artinya kawasan hewan endemik. Kemudian kawasan ekosistem, dan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan hutan keramat.
“Harusnya enam kawasan ini tidak boleh diganggu oleh perusahaan, tetapi yang terjadi kawasan-kawasan ini telah digunakan oleh kepentingan perusahaan, salah satu yang paling menonjol adalah kawasan daerah aliran sungai,” ujarnya.