Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten Media Partner
Keresahan Pemilik Hak Ulayat Tanah Papua Atas Pembukaan Ijin Lahan Kelapa Sawit
24 Agustus 2018 15:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Pekerja memuat kelapa sawit ke dalam truk (Foto: AFP PHOTO / Adek Berry)
ADVERTISEMENT
Jayapura, BUMIPAPUA.COM –Koalisi Organisasi Masyarakat Pro Keadilan, HAM dan Lingkungan mendesak pemerintah mengkaji ulang ijin pelepasan kawasan hutan yang digunakan untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan tambang di tanah Papua.
Salah satu contohnya adalah pelepasan kawasan hutan kebun kelapa sawit di Kabupaten Nabire berdasarkan SK nomor 2/1/PKH/PMDN/2018, tanggal 10 April 2018.
Aiesh Rumbekwan, dari Walhi Papua menyebutkan awalnya koalisi mendukung inpres nomor 6 tahun 2017 yang berkaitan tentang tata kelola pemberian izin baru di hutan alam premier dan lahan gambut, namun belakangan ditemukan banyak pelanggaran.
“Kami apresiasi karena sangat membantu penataan ulang terkait izin dan kehidupan masyarakat sekitar. Namun, akhir-akhir ini koalisi melihat ada inkonsistensi pemerintah dalam pemberian izin. Hal ini bertentangan kalau melihat kembali inpres itu,” ujar Aiesh, Jumat (24/8).
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Aiesh berharap pemerintah tak mudah memberikan izin tanpa melihat pengalaman di masa lalu yang banyak mengabaikan masyarakat di wilayah kehidupannya sendiri.
Menurut Denny Yomaki dari Yali Papua, kekerasan akibat pembukaan lahan dalam kehidupan masyarakat adat juga terjadi. Salah satu kasusnya adalah penganiayaan di Kabupaten Tambrauw oleh oknum aparat terhadap masyarakat yang protes atas penguasaan lahannya.
“Kami khawatir penganiayaan terhadap masyarakat akan terus terjadi, apalagi pemberian izin yang baru-baru ini terbit di Kawasan Nabire yaitu untuk PT. Sawit Makmur Abadi yang hampir sebagian besar pengurusnya adalah purnawirawan,” ujarnya.
Begitu pun dengan ancaman terhadap pelanggaran HAM yang terjadi kepada masyarakat pemilik lahan yang tinggal jauh dari kota.”Pembukaan kawasan akan merusak wilayah yang menyimpan flora dan fauna endemik Papua,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Pdt. Magdalena Kafiar, KPKC Sinode GKI di Tanah Papua pada kesempatan itu menyebutkan pemerintah selalu menggunakan alasan pembukaan lahan untuk kesejahteraan masyarakat. Tapi kenyataan di lapangan, hak ulayat masyarakat adat hanya dilibatkan sebagai simbol diawal saja, agar perusaahaan dapat berjalan.
“Kami juga menuntut pemberian sanksi pencabutan izin dan pemulihan kawasan hutan maupun hak masyarakat yang telah dirugikan dan dihilangkan karena kebijakan tersebut,” ujar Magdalena.
(Liza)