Konten Media Partner

Kisah Diana, Guru Muda yang Mengabdi di Pedalaman Papua

28 Juni 2019 15:37 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diana Da Costa, guru muda di pedalaman Papua, saat bersama murid-muridnya di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Papua. (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Diana Da Costa, guru muda di pedalaman Papua, saat bersama murid-muridnya di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Papua. (Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Jayapura, BUMIPAPUA.COM - Diana Da Costa (23 tahun), rela mengabdikan hidupnya sebagai guru muda di pedalaman Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.
ADVERTISEMENT
Diana, gadis berdarah Timor Leste, merupakan mahasiswi lulusan Universitas Nusa Cendana jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan tahun 2017. Sejak November 2018, Diana bersama 3 orang temannya menjadi guru penggerak daerah terpencil di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi.
Diana sangat mencintai Indonesia. Ini terbukti saat jejak pendapat, ia dan ibunya memilih menjadi warga negara Indonesia. Sementara ayahnya memilih menjadi warga Timor Leste.
“Sampai saat ini kami berpisah. Jika ingin bertemu ayah, kami biasa berjumpa di pintu perbatasan,” kata Diana.
Kali pertama mengabdikan hidupnya di pedalaman Mappi, Diana menangis karena anak-anak di kampung itu tak bisa menyebutkan identitas negara Indonesia.
Bayangkan saja, anak-anak di sekolah itu tak bisa menyebutkan warna bendera Indonesia. Anak-anak hanya mengetahui lagu Bintang Kejora. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun tak bisa dinyanyikan oleh murid kelas 6. Yang lebih fatal, mereka tidak hafal Pancasila sama sekali.
ADVERTISEMENT
“Saya menangis, mau dibawa ke mana nasib anak Papua? Mau salahkan siapa? Kondisi sekolah yang terbatas dengan segala fasilitasnya. Saat ini ruangan sekolah hanya ada 3 kelas, sehingga harus bercampur dengan kelas lainnya. Kami juga kurang tenaga pendidik,” kata Diana.
Karena kesabaran Diana dan 3 guru lainnya, sejak Februari 2019, siswa SD Inpres Kaibusene mengalami banyak perubahan. “Mereka memiliki mimpi yang besar,” jelasnya.
Dengan segala keterbatasan, Diana dan guru lainnya terus berusaha memperjuangkan dan mendorong agar anak-anak pedalaman Mappi bisa menggapai mimpinya.
“Saya dan guru lainnya mempunyai perpustakaan mini dengan jumlah buku 500 buah. Setiap hari, pukul 16.00 WIT, anak-anak membaca di perpustakaan mini, latihan membaca dan menulis. Mereka sangat bahagia. Mereka melakukan semuanya, sebab mereka mulai paham pendidikan itu untuk menuju kehidupan yang lebih baik,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Diana semakin senang, kini anak didiknya sudah fasih menyanyikan lagu Indonesia Raya. Begitu juga lagu Bahasa Inggris dasar yang diajarkan olehnya, walau masih banyak siswa yang tak paham apa maksudnya.
“Anak-anak juga jarang lagi ke hutan ikut orang tuanya. Kami, para guru bersikeras berkata kepada orang tua siswa, cukup mace (ibu) dan pace (bapak) saja yang ke hutan dan anak-anak harus tetap belajar di sekolah,” katanya. (Liza)