Kisah Nenek Weagalok Yelipele Potong Enam Jari Tangan

Konten Media Partner
25 Mei 2019 6:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nenek Weagalok Yelipele (BumiPapua.com/Stefanus)
zoom-in-whitePerbesar
Nenek Weagalok Yelipele (BumiPapua.com/Stefanus)
ADVERTISEMENT
WAMENA, BUMIPAPUA.COM - Weagalok Yelipele, namanya. Perempuan berusia 60 tahunan ini tinggal bersama keluarganya di Distrik Napua, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
ADVERTISEMENT
Weagalok memiliki cerita yang pahit ketika masih remaja. Saat itu ia harus memotong empat jari tangannya sekaligus, karena orang yang ia sayangi meninggal dunia. Selain merasakan sakit karena jari tangannya dipotong, ia juga merasakan kepedihan yang mendalam, mengingat sosok yang ia sayangi meninggal lebih dulu darinya.
"Saat itu, saudara kandung saya meninggal dunia. Sa (saya) sedih sekali. Empat jari ini dipotong sebagai tanda duka yang mendalam," kata Weagalok, Sabtu (25/5) yang ditemui di Kompleks Perumahan Bandar Udara Wamena.
Weagalok lebih lanjut menceritakan sesuai kebiasaan suku di Wamena, ia merelakan empat jari tangan kirinya dipotong sekaligus.
"Memang rasa sakit, karena banyak darah yang keluar. Saat itu pengobatannya hanya dibungkus dengan daun pisang," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Dulu memotong jari dan daun telinga menjadi kebiasaan di wilayah Baliem, ketika orang kesayangan di dalam sebuah keluarga meninggal dunia. Kebiasaan itu tak lagi dilanjutkan sejak tahun 2000-an, karena dianggap sebagai budaya yang tidak baik.
"Kami tidak pernah pikir, sehingga kami potong saja jari-jari ini sebagai tanda duka. Tapi setelah gereja masuk di sini (Lembah Balim), memberitakan kabar kebaikan, sehingga kebiasaan itu tidak lagi dilanjutkan," kata ujar Weagalok.
Usai prosesi pemotongan empat jarinya, keluarga Nenek Weagalok memberikan satu ekor wam (babi) untuk dimasak dalam acara bakar batu. "Usai peristiwa pemotongan jari tangan, tak lama kemudian saya menikah," ujarnya.
Bersama suaminya tercintanya, ia membangun bahtera rumah tangga dan menghadirkan dua anak perempuan dan satu laki-laki.
ADVERTISEMENT
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam kesehariannya ia berkebun. Hasil yang diperolehnya dari berkebun kemudia ia jual di Kota Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya. Namun, perjuangan untuk menjual hasil kebunnya tersebut juga terbilang tidak mudah karena ia harus rela berjalan delapan kilometer dari tempat tinggalnya.
Usai menjual dagangannya, terkadang Weagalok Yelipele berkunjung dari rumah ke rumah kenalannya. Hal ini dilakukannya hanya sekadar untuk menjenguk atau saling bertegur sapa dengan keluarga dan kerabatnya.
Tujuh jari tangan Nenek Weagalok yang dipotong sebagai rasa duka mendalam (BumiPapua.com/Stefanus)
Sayangnya, sang suaminya harus dipanggil Tuhan terlebih dahulu, bersama dua anak perempuannya lebih dulu. Nenek Weagalok kembali harus merelakan dua jari tangan kanannya untuk dipotong.
Nenek Weagalok kini hanya memiliki satu anak laki-laki. Sudah lama, ia melepas anaknya ke tanah rantau untuk melanjutkan pendidikan. Namun ia belum tahu keberadaan sang anak, bahkan informasi tentang pendidikannya sekalipun.
ADVERTISEMENT
"Anak saya yang laki-laki sudah ke Jayapura, tapi tak pernah berkabar," ujarnya sambil memperlihatkan raut muka sedih.
Nenek Weagalok mengaku awalnya sedikit kesulitan untuk beraktifitas, karena jari-jari tangannya dipotong, terutama saat ia harus berkebun. Hanya saja, seiring berjalannya waktu Nenek Weagalok mulai terbiasa dengan keadaan jari tangannya. "Sekarang tidak sakit lagi kalau untuk kerja di kebun," ucapnya.
(Stefanus)