Kisah Perantau Tana Toraja yang Selamat dari Kerusuhan di Wamena

Konten Media Partner
2 Oktober 2019 15:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pengungsi kerusuhan Wamena di Aula Tongkonan, milik Ikatan Keluarga Toraja (IKT) Papua di Kotaraja, Kota Jayapura. (Foto Liza)
zoom-in-whitePerbesar
Para pengungsi kerusuhan Wamena di Aula Tongkonan, milik Ikatan Keluarga Toraja (IKT) Papua di Kotaraja, Kota Jayapura. (Foto Liza)
ADVERTISEMENT
Jayapura, BUMIPAPUA.COM – Ratusan masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan, korban kerusuhan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, diungsikan ke Gedung Tongkonan, milik Ikatan Keluarga Toraja (IKT) Papua di Kotaraja, Kota Jayapura.
ADVERTISEMENT
Yulius Mangallo, salah satu pengungsi di Tongkonan IKT Papua, mengaku sudah meninggalkan Wamena sejak tanggal 28 September 2019. Yulius yang kesehariannya sebagai supir truk di Wamena ini membawa serta istrinya yang hamil 7 bulan untuk mencari tempat yang aman.
Yulius menceritakan, pada 23 September 2019, awalnya sekelompok warga dan anak sekolah berunjuk rasa menolak rasisme sekitar pukul 07.30 WIT. Tapi sekitar pukul 08.30 WIT, massa sudah anarkis dan melakukan pembakaran. Saat itu, dia sempat terjebak di dalam rumahnya, namun berhasil keluar dengan merusak seng di belakang rumah.
“Sebelum keluar, saya di dalam rumah, tapi api sudah di atas plafon dan saya jaga pintu bertahan, bahkan hampir pingsan karena banyak asap. Waktu itu, saya hanya raba jalan saja sampai akhirnya berhasil keluar bersama istri saya,” kata Yulius, Rabu (2/10).
ADVERTISEMENT
Dalam penyelamatan diri itu, kata Yulius, ia bertemu dengan masyarakat pendatang lainnya dan akhirnya berkumpul, lalu menuju ke rumah salah satu masyarakat lokal Papua untuk bersembunyi dari amukan massa.
“Kami kenal sama masyarakat lokal ini, ada 34 orang waktu itu yang bersembunyi di rumahnya. Anak laki-lakinya saat itu keluar melihat situasi dan cari jalan untuk kami. Sementara bapaknya yang jaga kami di rumah agar perusuh tak bunuh kami. Kemudian setelah hampir satu jam, anaknya pulang dan mengatakan jalan sudah aman,” ujar Yulius menceritakan kisahnya.
Setelah jalan sudah dipastikan aman, kata Yulius, dirinya bersama 33 orang lainnya bergerak menuju Polsek Hom-Hom melewati kali dan tebing. “Rombongan kami itu kebanyakan perempuan ada juga anak-anak. Kami disuruh lewat di kali, sesampainya di sana sudah ada Brimob yang tunggu,” ujar Yulius.
ADVERTISEMENT
Yulius mengatakan, di Polsek Hom-Hom, masyarakat pendatang sempat bertahan dengan mencoba menghalau perusuh dengan menggunakan apa saja hingga akhirnya semua pengungsi berhasil digeser ke Polres Wamena yang lebih aman.
“Waktu itu, kami kasihan anak-anak dan perempuan yang ketakutan, makanya kami coba bantu polisi sebab kami diserang,” paparnya.
Yulius juga mengatakan, saat ini ia sedang mengupayakan istrinya yang tengah hamil besar untuk kembali ke kampung halaman untuk menghilangkan trauma. Ia juga berharap ada bantuan dari pemerintah untuk memfasilitasi mereka.
Markus Saung, korban terluka dalam kerusuhan Wamena.
Tak Bisa Selamatkan Keluarga
Lain lagi yang dialami Markus Saung, pria asal Makale, Tana Toraja. Dengan menggunakan alat bantu medis pada kedua tangannya, Markus mulai menceritakan kisahnya. Dia adalah korban sekaligus saksi mata kerusuhan Wamena pada 23 September 2019, yang merenggut nyawa anak angkatnya, Rahul (21 tahun).
ADVERTISEMENT
Markus yang tinggal di Hom-Hom ini tak menduga aksi unjuk rasa ini berakhir anarkis. Saat kejadian, dia, anak angkat, dan adik iparnya, Veronika (22), berada di dalam rumah yang sekaligus merupakan tempat usaha mebelnya.
Di rumah inilah, petaka itu terjadi. Sejumlah orang tiba-tiba merangsek masuk dan menyerang keluarganya. Meski Markus telah meminta agar keluarganya jangan dibunuh, massa tetap menyerangnya.
Markus berhasil selamat dengan sejumlah luka, sementara adik iparnya masih dirawat di rumah sakit. Namun Rahul, anak angkatnya, ditemukan tewas beberapa saat setelah peristiwa penyerangan, dengan luka dan tubuh terbakar.
Markus berharap aparat keamanan mengambil tindak tegas kepada pelaku dan memastikan keamanan warga di Wamena kondusif. Jika kondisi Wamena kondusif, dia mengaku akan kembali walau harta bendanya tak ada yang tersisa. “Tempat usaha kami hangus terbakar,” katanya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pengungsi lainnya, Yati, ibu rumah tangga ini merasa bersyukur sebab keluarganya lolos dari kerusuhan Wamena. Saat kerusuhan, dia dan suaminya menyelamatkan diri berlari sambil menggendong anaknya berusia 8 bulan ke Polres Wamena. “Saya pilih ingin pulang ke Toraja saja,” katanya.
Sekertaris IKT Papua, Yulius Palullungan, sekaligus koordinator penanganan pengungsi kerusuhan Wamena mengatakan, masyarakat Toraja sudah menempati Tongkonan sejak 25 September 2019 dan jumlahnya terus bertambah.
“Saat ini, jumlah masyarakat Toraja yang mengungsi di Tongkonan lebih dari 600 orang. Tapi ada juga yang langsung dibawa keluarganya yang ada di Kota Jayapura,” katanya.
Palullungan memprediksi jumlah pengungsi akan terus bertambah sebab kerusuhan Wamena berimbas hingga ke daerah lain yang berdekatan seperti Lanny Jaya, Tolikara, dan Mamberamo Tengah.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat Toraja yang berada di Wamena kebanyakan bertukang di daerah pedalaman. Rata-rata pengungsi ini ingin pulang ke kampung halaman, hanya saja terkendala di transportasi. Kami harap AU mau berikan bantuan untuk kembali ke Makassar,” jelasnya.
Palullungan menyampaikan, pengungsi di Tongkonan sangat membutuhkan bantuan MCK, kasur, dan kelambu. “Kami membutuhkan toilet karena di Aula Tongkonan ini toiletnya hanya dua, tak bisa tampung jumlah pengungsi. Sehingga kami sedang upayakan mobil toilet dari dinas sosial,” paparnya.
Imbauan Tokoh Agama Papua
Sebelumnya, Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Provinsi Papua menyampaikan duka cita mendalam dan keprihatinan atas jatuhnya korban pada kerusuhan Wamena dan juga kabupaten lainnya di Papua. Selain itu, PWNU melalui ketuanya, Toni Wanggai, menegaskan kerusuhan yang terjadi di Papua bukan merupakan konflik Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA).
ADVERTISEMENT
“Kami meminta semua pihak untuk bisa menahan diri dan tidak lagi melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun,” kata Toni, yang juga Anggota Majelis Rakyat Papua.
Toni juga mengajak semua tokoh organisasi kemasyarakatan untuk menenangkan situasi dan menjaga kerukunan, persaudaraan, dan kebersamaan yang menjadi komitmen bersama sejak Deklarasi Papua Tanah Damai pada tahun 2002 di Kota Jayapura.
Sementara itu, saat mengunjungi korban di tenda pengungsian di Kota Jayapura, Kapolda Papua Irjen Polisi Paulus Waterpauw yang baru saja dilantik memastikan kondisi Wamena saat ini kondusif dan menjamin keamanan para pengungsi yang berada di Kota Jayapura maupun di Wamena. (Liza dan Fitus)