Larangan Bagi Perempuan dan Laki-laki dari Suku Moi Sorong

Konten Media Partner
23 April 2019 19:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suku Moi, Sorong (BumiPapua.com/Hardaningtyas)
zoom-in-whitePerbesar
Suku Moi, Sorong (BumiPapua.com/Hardaningtyas)
ADVERTISEMENT
Sorong, BUMIPAPUA.COM – Suku Moi, suku asli di Sorong yang mendiami daratan besar Sorong, terbentang dari Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Tambrauw dan perbatasan Sorong Selatan, memiliki budaya dan adat istiadat yang unik.
ADVERTISEMENT
Keunikan dari budaya Suku Moi, diantaranya terdapat pada proses perkawinan adat, pendidikan adat, hingga sanksi hukum adat.
Untuk perkawinan adat Suku Moi, hampir mirip dengan lima suku lainnya yakni Maybrat, Sorong Selatan, Pegunungan Arfak dan Bintuni.
Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Moi, Kabupaten Sorong, Korneles Usily menuturkan sejumlah prosesi adat di Suku Moi, ada yang bisa diketahui publik dan ada sejumlah prosesi adat yang tidak boleh diketahui oleh umum, terutama kaum perempuan.
Kata Korneles, misalnya saja pendidikan adat Kambik yang pada masa lalu hanya diperbolehkan untuk kaum laki-laki.
“Saat ini pendidikan adat Kambik sudah ditiadakan, hanya tersisa beberapa orang yang memiliki ilmu dari pendidikan Kambik. Rata-rata warga yang memiliki pendidikan Kambik, mengetahui seluruh adat Suku Moi,” kata Korneles, Selasa (23/4).
ADVERTISEMENT
Hal unik lainnya dari Suku Moi adalah perkawinan adat yang boleh diketahui oleh masyarakat umum. Dalam prosesi perkawinan adat Suku Moi, dilakukan dengan pembayaran mas kawin berupa kain, terutama kain timor.
“Pembayaran mas kawin diperuntukan bagi mempelai perempuan maupun orangtua perempuan. Pemberian mas kawin ini akan diberikan secara terpisah, bagi calon istri dan orangtuanya," jelasnya.
Sementara untuk sanksi hukum adat dari Suku Moi, ada sejumlah hukum adat yang khusus berlaku bagi laki-laki maupun perempuan.
“Berbeda dengan sanksi hukum adat menggunakan bambu tui, biasanya berlaku untuk umum dalam menyelesaikan persoalan sengketa tanah adat,” ujar Korneles. (Hardaningtyas)