Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Manis dan Gurih, Berbagai Olahan Sagu Papua
29 Juli 2018 13:13 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Memeras sagu di dusun, biasanya dilakukan oleh perempuan di Papua. (BumiPapua.com/Katharina)
ADVERTISEMENT
Merauke, BUMIPAPUA.COM – Sagu merupakan makanan asli khas masyarakat Papua. Tapi, lebih dari 250-an suku di Papua memiliki cara tersendiri dalam pengolahan panganan berbahan dasar sagu ini.
Suku Marin di Kabupaten Merauke misalnya menyebut panganan olahan sagu dengan Sagu Sef. Pembuatan Sagu Sef secara tradisional dibuat dengan cara bakar batu.
Sagu yang langsung diambil dari dusun, biasanya dicampur dengan parutan kelapa muda dan daging kelapa muda. Lalu campuran sagu dan kelapa itu ditambahkan dengan bawang merah, bawang putih, ketumbar, lada dan garam secukupnya. Semua bahan-bahan yang sudah dicampur menjadi satu ini, lalu dibungkus dengan daun pisang dan dipanggang diatas batu yang sebelumnya telah dipanaskan.
Sagu Sef Merauke, hasil olahan Mama Kelam Ndike. (BumiPapua.com/Abdel)
ADVERTISEMENT
Mama Kelam Ndike, warga Kampung Wasur Merauke menyebutkan bomi atau rumah semut bisa juga menjadi pengganti batu dalam proses memanggang. Caranya sama, sebelumnya bomi harus dipanaskan terlebih dahulu, untuk mendapatkan panas, guna proses pemanggangan Sagu Sef.
“Dulu, Sagu Sef hanya bisa disajikan saat ada upacara adat Suku Marin. Sagu Sef tahan hingga mingguan, apalagi jika terus dipanaskan dan rasanya akan tambah legit,” kata Mama Kelam, Minggu (29/7).
Kini, Sagu Sef sudah banyak ditemukan di sejumlah pusat perbelanjaan di Merauke. Bahkan, Sagu Sef bukan hanya dibuat oleh warga dari Suku Marin dan citarasa pun modern dan beragam.
Sagu Ouw Sentani
Ouw Sentani memiliki ciri khas manis, gurih dan asin yang dikombinasikan dengan sayuran pakis dan ikan mujair. (BumiPapua.com/Katharina)
ADVERTISEMENT
Pohon sagu merupakan pohon kehidupan bagi masyarakat Papua. Dulu, pohon sagu hampir memenuhi seluruh wilayah Kabupaten Jayapura. Tapi, pohon sagu sudah mulai punah seiring dengan pembangunan di daerah itu.
Sagu yang diolah oleh Suku Sentani, Kabupaten Jayapura biasa disebut dengan ouw. Pengelolaannya pun hampir sama dengan Sagu Sef. Ouw, biasanya dicampur dengan ikan ataupun kelapa parut dan gula merah. Ada juga sajian ouw kempeng yang dicampur dengan kelapa, jamur, dan sayuran pakis.
“Ouw jika dicampur ikan atau sayuran, akan menambah citarasa gurih. Tapi, jika ouw dicampur kelapa parut dan gula merah akan terasa manis dan gurih. Ouw biasanya dipanggang di atas tempurung kelapa,” kata Mama Maria, ditemui di Kampung Ayapo Sentani belum lama ini.
Papeda yang disantap dengan ikan kuah kuning, menambah sedap citarasa sagu Papua. (BumiPapua.com/Katharina)
ADVERTISEMENT
Sagu dari Suku Sentani juga dikenal dengan papeda bungkus, yakni sagu dingin yang dibungkus daun. Papeda bungkus biasa disajikan pada acara-acara keramaian, misalnya pernikahan, ulang tahun, pembayaran mas kawin hingga acara festival budaya.
Warga setempat percaya dengan menyantap papeda dingin, akan membersihkan paru-paru dari nikotin atau kotoran lainnya. “Papeda dingin trada (tidak ada) rasa. Tapi dingin to? Itu membersihkan kotoran yang menempel di paru-paru,” kata Mama Maria menambahkan.
Menyantap papeda dingin bisa dengan ikan gabus rica-rica atau dengan ikan kuah kuning. Tapi, papeda dingin bisa juga didiamkan sementara di lemari pendingin, lalu setelah cukup dingin, bisa langsung disantap, mirip jelly atau agar-agar, nyes di lidah.
Ulat Sagu Suku Korowai
Bakaran sagu yang dicampur ulat Sagu yang diolah oleh Suku Korowai. (BumiPapua.com/Katharina)
ADVERTISEMENT
Suku Korowai di Kabupaten Boven Digul, biasa menambah panganan olahan sagu dengan ulat sagu. Sagu dan ulat sagu yang telah dicampur, lalu dibungkus dengan daun pisang dan dibakar dengan cara bakar batu.
Ulat sagu banyak ditemui di batang pohon sagu yang membusuk. Kandungan protein ulat sagu bahkan setara dengan satu butir telur.
Cara memasak sagu dengan model bakar batu, biasanya butuh waktu 1-2 jam sampai sagu matang dan siap disantap. Lamanya memasak tergantung pada ketebalan sagu yang dibakar.
Home Industri Panganan Lokal
Pangkur sagu, biasa dilakukan oleh kaum laki-laki di Papua. (BumiPapua.com/Katharina)
Penjabat Gubernur Papua, Soedarmo terus mendorong panganan lokal Papua dikembangkan dengan cara home industri atau cara modern lainnya. Sagu misalnya, bisa ditemui hingga ke distrik-distrik di Papua.
ADVERTISEMENT
“Pengelolaan panganan lokal tak perlu berpikir skala industri besar dulu. Misalnya bicara sagu, bisa dikembangkan pada masing-masing distrik dengan pola home industri yang dilakukan per kelompok warga atau bisa juga pribadi masing-masing,” kata Soedarmo.
Walau begitu, jumlah pohon sagu di Papua mulai beralih fungsi. World Wide Fund Nature Indonesia (WWF) Region Sahul Papua mencatat hutan sagu banyak berkurang karena pembukaan jalan, pembangunan dan pemanfaatan lahan. Padahal hutan sagu Papua merupakan identitas budaya dan pohon kehidupan bagi masyarakat setempat.
“Harus ada gerakan menanam hutan sagu kembali yang bisa dilakukan semua pihak, agar hutan sagu tak punah,” ucap Peter Roki Aloisius, Northern New Guinea Leader, WWF Indonesia-Papua Program.
Dinas Pertanian Kota Jayapura menyebutkan hingga saat ini, hutan sagu di Kota Jayapura hanya tersisa di dua kampung yakni Kampung Koya dan Skouw.
ADVERTISEMENT
Kepala Dinas Pertanian setempat, Jean Hendrik Rollo menyebutkan pengelolaan sagu di Kota Jayapura tidak lagi berkelanjutan, sebab masyarakat terlena dengan menyantap nasi. Padahal gizi sagu lebih baik dan banyak mengandung karbohidrat.
Bahkan hutan sagu di Papua yang mencapai 4,7 hektar, sebanyak 11.770 hutan sagu tersebar di Kabupaten Jayapura. Tahun ini, Pemkab Jayapura akan mengembangkan satu juta hektar lahan sagu yang tesebar di Tanah Merah, Nimborang Kemtuk Gresi, dan Kaureh guna pengembangan kembali hutan sagu.
(Abdel/Katharina)