Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
“Sigera…sigera…sigera!” Teriak Alosius Sangra berulang kali kepada kedua anaknya, Yakobus Sangra dan Anton Sangra.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Suku Marind Kanume, Merauke, sigera artinya: kejar. Sehingga, dengan lincah dan tangkas, kedua anak laki-laki Alosius ini berlari mengejar hewan buruan mereka.
Hari itu, keduanya memang sengaja diikutkan dalam kegiatan perburuan secara tradisional yang selama ini dijalani keluarga Alosius Sangra.
Setiap melakukan perburuan, Alosius dan anaknya atau kerabat lainnya, selain memanah hewan buruan, juga harus mengejar hewan buruan itu. Ini adalah salah satu ciri khas perburuan tradisional yang dilakukan Suku Marind Kanume untuk mendapatkan hewan buruannya.
“Biasanya, hewan buruan seperti rusa dan kanguru (saham-dalam bahasa Marind) jika sudah terkena panah, masih kuat berlari. Maka satu-satunya cara dengan mengejarnya, agar tak hilang masuk ke dalam hutan,” jelas Alosius, ketika ditemui bumipapua di kampungnya yang berada di dalam Taman Nasional Wasur Merauke.
Suku Marind Kanume adalah salah satu suku yang mendiami tanah datar berawa di wilayah perbatasan antara Republik Indonesia di Merauke dengan wilayah Negara Papua Nugini (PNG).
ADVERTISEMENT
Suku ini hidup di hutan adat. Mereka bertahan hidup mengandalkan sumber daya alamnya. Sehingga kegiatan berburu hewan secara tradisional, sudah menjadi aktivitas sehari-hari yang masih dipertahankan masyarakat adat setempat.
Hal ini juga yang dilakukan suami istri, Alosius Sangra dan Martha Dimar bersama kedua anaknya Yakobus Sangra dan Anton Sangra. Untuk melakukan perburuan hewan secara tradisional, keluarga Suku Marind Kanume ini sering membuat bevak (tempat tinggal) di dalam hutan.
Hutan yang merupakan wilayah adat dari marga suku Sangra ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Wasur di Merauke.
Mempertahankan Cara Berburu Tradisional
Tradisi berburu hewan di hutan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan oleh Alosius Sagra dan anak-anaknya. Berburu dengan menggunakan senjata tradisional, seperti panah dan busurnya. Hasil perburuan seperti rusa dan kanguru hanya digunakan untuk makan sehari-hari. Kalaupun ada lebih, biasanya dijual ke pasar tradisional di Merauke.
ADVERTISEMENT
Cara berburu hewan di hutan biasanya dilakukan secara kelompok keluarga. Menurut Alosius, ketika hendak berburu, yang selalu disiapkan adalah panah (jubi) beserta busurnya, parang, serta senter.
Suku Marind Kanume tak setiap hari melakukan perburuan. Warga setempat hanya melakukan perburuan pada bulan tertentu saja. Misalnya di saat musim bulan tak terang.
“Seperti di langit tidak ada bulan atau bulan gelap, biasanya kami berburu. Sebab, jika bulan terang, hewan akan lari melihat kami. Kalau di bulan gelap itu, kami hanya modal senter saja,” ujarnya.
Kata Alosius, cara berburu rusa dan kanguru itu berbeda. Kalau berburu rusa tak perlu harus merayap pelan-pelan, mendekati hewan sasaran, hanya memantau dari jauh dan lepaskan anak panah dari busur ke sasarannya. “Jadi kita sasar di bagian leher atau kaki, sehingga hewan itu mudah jatuh,” katanya.
ADVERTISEMENT
Namun yang paling penting sebenarnya adalah cahaya senter jika berburu pada malam hari. Sebab rusa maupun kanguru itu, jika tiba-tiba kena senter ke arah bagian matanya, langsung hewan itu tak bisa bergerak atau diam di tempat.
“Nah, ketika hewan ini diam di tempat karena kena silau cahaya senter, maka disitulah langsung bersamaan kita tembakan anak panah ke sasarannya. Sedangkan berburu kanguru, kita harus tiarap sambil menepuk-nepuk tanah. Sebab dengan cara menepuk tanah, kanguru yang diburu ini menganggap kita temannya,” jelasnya.
Menjaga Hewan Buruan Lewat Tradisi
Berburu saat ini, kata Alosius, paling lama dilakukan dua hari perjalanan, biasa dapat 3-4 ekor hewan buruan. Berbeda dengan dulu, tahun 1980 hingga tahun 1990-an, hewan buruan seperti, rusa dan kanguru masih banyak ditemukan dan lokasinya dekat.
ADVERTISEMENT
“Tapi sekarang harus cari lebih jauh masuk hutan. Bahkan saat ini, hewan buruan agak susah dapat dibanding seperti dulu. Kanguru atau saham dan rusa mulai berkurang,” jelas Alosius.
Berkurangnya hewan buruan karena makin maraknya kegiatan perburuan yang dilakukan oleh orang dari luar kawasan Taman Nasional Wasur atau orang luar bukan warga setempat.
Orang dari luar kawasan Taman Nasional Wasur biasanya berburu menggunakan senjata api (senjata modern). Menurut Alosius, berburuan dengan cara modern membuat hewan buruan mulai berkurang, belum lagi yang lari ke wilayah Papua Nugini (PNG).
Selain itu juga ada pengaruh dibukanya lahan kebun kelapa sawit berdekatan kawasan Taman Nasional Wasur. “Hutan sekitranya gundul, makanya hewan lari. Jadi kebun kelapa sawit berpengaruh,” katanya.
ADVERTISEMENT
Suku Marind Kanume, kata Alosius, berburu hanya untuk makan sehari-hari, bukan untuk dijual. Sebab dalam adat, ada aturan-aturan dalam hal berburu. Misalkan, satu kepala keluarga hanya bisa berburu 3-4 ekor saja.
Selain itu, dalam adat juga mengatur, jika di dalam satu kawasan wilayah adat, hewan mulai berkurang, maka ketua adat memasang sassi, dengan simbol dari daun kelapa atau kayu yang ditanam di wilayah itu.
“Sassi adalah suatu tanda larangan orang untuk melakukan perburuan di kawasan yang ditandai itu dengan jangka waktu tertentu. Itu aturan-aturan adat yang hingga kini juga berlaku untuk kami,” jelas Alosius.
Berburu dengan Sejata Api dan Parang
Mungkin aturan adat sassi itu dijalani baik dan berlaku untuk Suku Marind Kanume yang mendiami hutan Taman Nasional Wasur seperti keluarga Alosius. Tapi kadang aturan adat itu dilanggar orang yang tinggal di luar hutan Taman Nasional Wasur.
ADVERTISEMENT
Rahman misalnya, ia mengaku berburu kapan saja bisa dilakukannya, sebab tak ada yang melarang. Rahman mengaku, dirinya melakukan aktivitas perburuan di hutan maupun di luar hutan Taman Nasional Wasur sejak dirinya masih berumur belasan tahun.
“Bahkan sampai saat ini pun kegiatan berburu masih terus saya lakukan. Ya, kalau mau di bilang dulu itu rusa dan kanguru masih banyak, tapi sekarang mulai berkurang,” ujarnya.
Rahman mengaku saat berburu ia menggunakan senjata api sewaan milik sejumlah aparat keamanan. Tapi belakangan, sekitar 2 tahun lalu tepatnya, ia sudah tak bisa lagi menyewa senjata api, karena selama ini berburu dengan senjata api itu mendapat sorotan terus-menerus.
”Jadi, sekarang ini cara berburu kami menggunakan parang, atau sistem bacok (tebas),” jelasnya. Berburu mengunakan cara tebas, biasa dilakukan pada malam hari. Saat berburu, Rahman dan kelompoknya juga menggunakan motor.
ADVERTISEMENT
“Orang yang menebas itu dibonceng di belakang. Jadi orang yang bonceng itu tangannya satu memegang senter dan tangan satunya lagi memegang parang. Nah, ketika melihat rusa atau kanguru, senter langsung diarahkan ke mata hewan itu, lalu dengan kencang motor itu menuju ke arah hewan yang jadi sasaran. Saat dekat, langsung ditebas pada bagian tubuh hewan,” katanya.
Hasil perburuan yang dilakukan oleh Rahman, biasanya langsung dibawa ke penjual daging. Jika nasib sedang mujur, Rahman dan kelompoknya bisa membawa 1-2 ekor rusa. Tapi kalau sial, bisa berhari-hari tak dapat hewan buruan.
“Apalagi dalam melakukan perburuan hewan, kini sudah banyak orang juga ikut berburu. Bahkan kadang di dalam hutan suasananya sudah seperti kota-kota kecil yang cukup ramai,” katanya.
Berkurangnya Hewan Buruan
ADVERTISEMENT
Salah satu staf Balai Taman Nasional Wasur Merauke, Laisa menjelaskan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan setiap tahun, keberadaan rusa maupun kanguru atau saham jumlahnya menurun setiap tahun. “Kami hanya survei di tiga lokasi, yakni sekitar Kali Wanggo, lalu di Kampung Ukra, dan di sekitar Kampung Rawa Biru,” jelasnya.
Survei yang dilakukan pada tiga lokasi ini, seluruhnya masuk dalam kawasan Taman Nasional Wasur. Survei yang dilakukan adalah populasi dan kondisi habitatnya. Misalnya, dari populasi di wilayah Rawa Biru, jika dibanding dengan tahun 2015, memang jumlahnya agak menurun. Sebab interaksi (perburuan) masyarakat semakin tinggi di daerah itu.
Laisa juga mengatakan, interaksi dengan masyarakat yang berdomisili di wilayah kawasan Taman Nasional Wasur sudah terjadi sejak dulu. Namun masyarakat adat tahu cara mengonservasi wilayah adatnya, makanya warga setempat sering buat sassi. Artinya, wilayah tertentu dipasang sassi untuk beberapa tahun agar untuk sementara waktu tidak lakukan perburuan di lokasi itu.
ADVERTISEMENT
Menurut Laisa, ada perburuan yang dilakukan orang dari luar kawasan hutan Taman Nasional Wasur,sebab di wilayah tersebut banyak daerah jalan tikus (jalan tak resmi). Sehingga membuat pengawasan semakin sulit, terutama bagi para pemburu yang masuk ke dalam kawasan hutan Taman Nasional Wasur lewat jalan tikus.
Pihaknya juga sering melakukan patroli dan lakukan sosialisasi, agar warga tidak melakukan perburuan dengan menggunakan senjata api di dalam kawasan hutan Taman Nasional Wasur. Hasilnya, perburuan menggunakan senjata api mulai menurun.