Konten Media Partner

Peneliti Temukan Obsidian dan Kapak Perunggu Prasejarah di Jayapura

13 Oktober 2019 9:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekskavasi Obsidian di Kampung Dondai, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. (Foto dok Peneliti Balai Arkeologi Papua)
zoom-in-whitePerbesar
Ekskavasi Obsidian di Kampung Dondai, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. (Foto dok Peneliti Balai Arkeologi Papua)
ADVERTISEMENT
Jayapura, BUMIPAPUA.COM - Memasuki Hari ke-12 Ekskavasi Balai Arkelogi Papua di Situs Yomokho dan Situs Bobu Uriyeng di Kampung Dondai, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua, peneliti berhasil menemukan kapak perunggu dan obsidian atau alat serpih yang digunakan memotong binatang buruan di masa prasejarah.
ADVERTISEMENT
Menurut Peneliti dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto, kedua benda purbakala ini ditemukan di dua lokasi berbeda di Kampung Dondai, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. Kapak perunggu ditemukan di Situs Bobu Uriyeng, sementara Obsidian ditemukan di Situs Yomokho.
“Kapak perunggu ini berjenis kapak corong yang merupakan komoditas perdagangan jarak jauh pada masa prasejarah. Kapak ini berukuran panjang 13,5 centimeter dengan lebar 9,5 centimeter dan tebal 1,5 centimeter,” jelas Hari di Jayapura, Minggu (13/10).
Menurut Hari, setelah kemunduran jaringan dagang orang Lapita dari Pulau Manus, Britania Baru, sekitar 2500 tahun yang lalu di Pasifik, ada bukti-bukti konkrit tentang transaksi antara Asia Tenggara dan Papua.
"Kapak Perunggu yang menjadi komoditas perdagangan. Kapak Perunggu yang ditemukan di Danau Sentani diproduksi di Dongson, tempat yang saat ini merupakan wilayah bagian utara Vietnam, sekitar 2400 hingga 2100 tahun lalu,” jelasnya.
Kapak Perunggu berbentuk corong ditemukan di Situs Bobu Uriyeng, Kampung Dondai, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura. (Foto dok: Peneliti Balai Arkeologi Papua)
Hari juga mengatakan, kapak perunggu yang ditemukan di Danau Sentani dibuat dengan teknik a cire perdue. Teknik ini, yaitu benda yang dikehendaki dibuat terlebih dulu dari lilin, lengkap dengan segala bagian-bagiannya. Kemudian model dari lilin itu ditutup dengan tanah.
ADVERTISEMENT
Dengan cara dipanaskan, kata Hari, maka selubung tanah ini menjadi keras, sedangkan lilinnya menjadi cair dan mengalir ke luar dari lubang yang telah disediakan di dalam selubung itu.
"Jika telah habis lilinnya, dituanglah logam cair ke dalam rongga tempat lilin tadi. Dengan demikia logam itu menggantikan model lilin tadi. Setelah dingin semuanya, selubung tanah dipecah, dan keluarlah benda yang dikehendaki itu,” jelas Hari.
Sementara obsidian atau alat serpih digunakan untuk memotong binatang buruan pada jaman prasejarah ini ditemukan dalam bentuk pecahan. "Pecahan obsidian ini dihasilkan lewat pemangkasan dari batu inti dalam proses pembuatan alat serpih,” jelas Hari.
Menurut Hari, Obsidian menjadi komoditas utama yang diperdagangkan oleh mereka yang mempunyai budaya Lapita. Orang-orang Lapita berasal dari Pulau Manus, Britania Baru, sebelah utara Papua Nugini.
ADVERTISEMENT
"Mereka melakukan serangkaian perdagangan jarak jauh dengan menggunakan perahu layar bercadik pada 3500 tahun yang lalu. Jaringan perdagangan orang Lapita ini termasuk salah satu jaringan dagang yang paling mula-mula sekaligus paling luas jangkauannya pada jaman prasejarah, hingga mencapai Sabah dan Fiji," jelas Hari.
Secara geologis, kata Hari, temuan obsidian di situs Yomokho membuktikan bahwa pada masa prasejarah, telah terjadi kontak antara manusia penghuni Danau Sentani dengan luar.
Obsidian yang ditemukan di situs Yomokho, menunjukkan bahwa kawasan Danau Sentani pada masa prasejarah menjadi bagian dalam jaringan perdagangan Lapita. Hal ini didukung hutan sekitar Danau Sentani dan pegunungan Cycloops yang menghasilkan komoditas khas berupa Burung Cenderawasih untuk dipertukarkan dengan obsidian-obsidian dari Britania Baru.
ADVERTISEMENT
"Budaya Lapita telah sangat maju sehingga memungkinkan orang Lapita mampu mengadakan perjalanan laut yang sangat jauh sampai bisa mencapai pulau-pulau di Pasifik hingga pesisir utara Papua dan pulau-pulau di lepas pantai Papua,” ungkap Hari.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jayapura, Elvia Kabey mengapresiasi temuan peneliti dari Balai Arkeologi Papua. “Temuan-temuan ini akan kita lestarikan kedepannya dengan melakukan kerjasama dengan Balai Arkeologi," katanya.
Diakui Elvis, ada sekitar 50 situs bersejarah yang telah disurvei namun perlu dilakukan penelitian yang akurat agar ditetapkan sebagai situs resmi. Dari 50 situs yang telah ditemukan, 4 diantaranya telah resmi dan ditetapkan oleh Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan, yakni situs Megalitum Tutari, Tugu Mc Artur, Gereja Tua Asei, dan Tengki Minyak Depapre. (Fitus Arung)
ADVERTISEMENT