Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Ritual Sasi Suku Marin Kanume di Merauke
1 Juni 2018 7:12 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Warga Kampung Rawa Biru, Merauke melakukan ritual jaga alam. (BUMIPAPUA.COM/AbdelSyah)
ADVERTISEMENT
Merauke, BUMIPAPUA.COM - Dua anak busur sengaja dipanah ke timur dan barat. Ini sebagai simbol semua marga yang ada di kampung turut serta menjaga sumber daya alam.
Dua anak busur dipanahkan oleh Ketua Adat Kanume Kampung Rawa Biru, Patrisius Sangra dengan iringan nyanyian dan hentakan kaki, serta gemulai tangan penari sebagai tanda ritual adat dimulai.
Warga Kampung Rawa Biru merupakan salah satu daerah yang ada di dalam Kawasan Taman Nasional Wasur, Merauke. Kampung Rawa Biru kebanyakan dihuni Suku Marin Kanume.
Suku Marin Kanume banyak menempati daerah pedalaman perbatasan Merauke dan Negara Papua Nugini. "Kami lebih memilih tinggal di hutan. Ini cara kami tetap melindungi alam," kata Patrisius.
ADVERTISEMENT
Patrisius menyebutkan, dua anak busur yang dipanah ke dua arah yang berbeda, sebagai wujud penghormatan kepada tiga marga lainya, sekaligus mengajak ketiga suku itu untuk menjaga alam.
Panah ke depan yang berarti penghormatan kepada marga Sangra. Lalu panah ke belakang untuk menghormati marga Maiwa dan Dimar yang menghuni Rawa Biru.
Menembakan dua anak busur juga ditandai dengan pemasangan dua sasi atau kayu yang dililit dengan janur kelapa, sebagai cara mempertahankan tradisi adat suku Marin Kanume. Sebelum proses pemasangan sasi atau disebut segel adat untuk daerah tertentu, biasanya dilakukan ritual selama 40 hari.
Ketua Adat Kanume Kampung Rawa Biru, Patrisius Sangra sedang mempersiapkan Ritual Sasi. (BUMIPAPUA.COM/Abdel Syah)
"Tradisi kami adalah menjaga alam tetap lestari. Misalnya hutan mulai gundul, maka perlu di-sasi. Artinya kami tak boleh ambil sumber alam di situ lagi, termasuk tak boleh berburu di situ juga. Aturan ini berlaku selama tiga tahun," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Wilayah yang sudah di-sasi, tak boleh ada aktivitas penebangan atau perburuan, baik secara tradisional maupun modern. Kalaupun dilanggar, pasti ada sanksi hukum bagi pelaku.
"Apalagi berburu pakai senjata api dan pakai motor atau kendaraan lainnya, kami larang itu. Sanksi adat berupa Daun Wati atau Daun Adat dan Babi akan tetap dikenakan bagi pelanggar. Jika tak bisa bayar adat, maka akan diproses hukum ke petugas keamanan setempat," tutur Patrisius.
Catatan Balai Taman Nasional Wasur menyebutkan perburuan liar mengunakan senjata api maupun secara tradisional terus meningkat. Beberapa jenis hewan seperti kangguru (saham), rusa, burung kasuari, dan burung mambruk, kini mulai sulit ditemukan. Ini membuat warga kampung Rawa biru berkomitmen tetap menjaga alamnya. ***(Abdel Syah)
ADVERTISEMENT