Aturan Pelibatan TNI dalam Gultor

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
19 Juli 2018 12:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aturan Pelibatan TNI dalam Gultor
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme kini juga diatur UU Perubahan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme menjadi Undang-Undang (UU Antiterorisme). Sebelumnya hanya diatur dalam UU 34/2004 tentang TNI.
ADVERTISEMENT
UU Antiterorisme memberi mandat kepada Peraturan Presiden untuk mengatur pelibatan TNI tersebut. Menariknya adalah UU Antiterorisme secara umum menyebut Tindak Pidana Terorisme, namun dalam hal pelibatan TNI, istilah yang dipergunakan Aksi Terorisme.
Ini berarti di aspek pidananya, terorisme tetap menjadi kewenangan aparatur penegak hukum, dalam hal ini Polri, sedangkan untuk pemberantasan aksinya, bisa melibatkan TNI. Pertanyaanya adalah dalam aksi terorisme seperti apa yang memerlukan peran TNI dalam pemberantasanya ? Di sinilah aturan pelibatan ( rule of enggament/ROE) itu diperlukan.
Perang Khusus
Konflik bersenjata pasca Perang Dunia II diwarnai dengan konflik bersenjata berupa terorisme, pemberontakan (insurgensi), perang gerilya, perang proksi dan lain-lain yang menunjukan adanya ancaman non tradisional dan non konvensional terhadap pertahanan negara. Jika sebelumnya ancaman tersebut dilakukan oleh aktor negara dengan invansi atau agresi, maka sekarang dilakukan juga oleh non state actor dan bentuknya bukan perang terbuka yang diawali oleh deklarasi perang, tetapi konflik bersenjata bersifat perang rahasia dan perang terbatas yang di dalam literatur disebut sebagai low intensity conflict, counter insuregensy dan di Indonesia dikenal sebagai sandi yudha. Berbeda dengan istilah Revolution in Military Affair yang lebih menekankan kepada peningkatan penggunaan teknologi di bidang alat utama sistem persenjataan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks seperti tersebut di atas, maka aksi terorisme harus dipahami sebagai, pertama, bentuk dari konflik bersenjata yang bersifat khusus sehingga kebijakan dan strategi juga tidak boleh secara tradisional dan konvensional. Tidak bisa cara pandangnya hanya pada aspek pidana atau pada aspek pendekatan militer semata. Karena organisasi teroris memiliki kapasitas dalam melakukan operasi intelijen, operasi militer, gerilya, propaganda dan penggalangan masyarakat. Perang khusus ini tentunya juga memerlukan satuan TNI yang berkualifikasi khusus pula untuk bisa melakukan kontra terorisme, kontra gerilya dan kontra insurgensi yang arah kebijakan dan strateginya tetap dalam koridor supremasi sipil dan kontrol demokratis.
Kedua, Persoalan terorisme, juga tidak lepas kebijakan politik luar negeri. Inspirasi gerakan terorisme dewasa ini muncul dari akibat konflik bersenjata di Afghanistan dan Timur Tengah. Maka pemerintah Indonesia hendaknya mendorong penyelesaian penyebab instabilitas di kawasan tersebut. Konflik bersenjata di Syiria adalah wujud aktual dari perang non kovensional/ non tradisional. Di sana ada pemberontakan, ada terorisme, dan ada perang proksi, melibatkan banyak negara termasuk negara-negara negara adidaya. Sehingga kebijakan melawan terorisme juga terkait dengan kebijakan tata ekonomi-politik global. Perlunya menciptakan tata dunia baru yang dalam Pembukaan UUD 1945 disebut sebagai ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
ADVERTISEMENT
Kebijakan Umum Pertahanan Negara dan Buku Putih Pertahanan dari era Presiden SBY hingga Presiden Jokowi sesungguhnya sudah mengenali perkembangan strategis dari ancaman non tradisional dan non konvensional tersebut.
Karena terorisme tidak saja menyangkut masalah keamanan dan ketertiban, tetapi juga pertahanan negara, maka wajar kalau di dalam UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan bahwa salah satu tugas TNI adalah melaksanakan operasi militer selain perang. Di dalam UU TNI disebutkan bahwa salah satu bentuk dari operasi militer selain perang yang dilakukan TNI adalah mengatasi aksi terorisme.
Oleh karenanya UU Antiterorisme memberi mandat pengaturan pelibatan TNI dalam Pemberantasan Aksti Terorisme melalui Perpres sudah tepat, dalam pengertian Perpres harusnya lebih mengatur permasalahan teknis dan taktis karena Tupoksi TNI dalam Pemberantasan Aksi Terorisme merupakan perintah undang-undang.
ADVERTISEMENT
Mengacu kepada UU TNI, maka yang perlu diatur dalam Perpres Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Aksi Terorisme meliputi, pertama, dalam kondisi apa Presiden menggerakan TNI dan bagaimana koordinasinya dengan DPR; Kedua, bagaimana bentuk dari fungsi penangkalan, fungsi penindakan, dan fungsi pemulihan yang dilakukan oleh TNI; Ketiga, bagaimana bentuk koordinasinya ketika di-BKO-kan ke Polri dan koordinasinya dari langsung ditangani TNI ke pemidanaanya oleh Polri.
Dalam hal penangkalan, sebelum lahir Densus 88 AT Polri, TNI telah mengembangkan satuan-satuan elit dan khusus Gultor (Penanggulangan Terorisme). Ada Sat 81 Gultor Kopassus TNI AD, Sat Bravo 90 Paskhas TNI AU, Denjaka Marinir TNI AL, Kopaska TNI AL dan kini masih ditaambah dengan Raider TNI AD. Memang Pasaca Orde Baru, peranan Gultor lebih mengemuka dilakukan oleh Densus 88 AT Mabes Polri, baru belakangan ada operasi gabungan ketika aksi terorisme itu telah menjelma menjadi perang hutan, kontra gerilya dan perang berlarut..
ADVERTISEMENT
Keberadaan satuan-satuan elit dan khusus tersebut, dapat menimbulkan efek penggentaran sehingga pelaku teror mengurungkan niatnya. Namun yang paling penting dalam penangkalan adalah pencegahan dini yang harusnya dilakukan oleh badan-badan intelijen. Dalam hal pencegahan, UU Antiterorisme menyebutnya sebagai kesiapsiagaan nasional, namun dalam UU Antiterorisme dalam hal kesiapsiagaan nasional tidak menyebut soal koordinasi antar badan-badan intelijen dan memberi “PR” berupa penyusunan Peraturan Pemerintah untuk mengatur kesiapsiagaan nasional ini.
Dalam hal pelibatan TNI dalam penindakan tentu saja harus bisa dibedakan dengan aturan pelibatan Densus 88 AT Polri. Yang membedakan satuan khusus Polri dan satuan khusus TNI adalah dalam kualifikasi perang khusus, terlebih dalam hal pertempuran jarak dekat dan cepat untuk pembebasan sandera dan mengatasi pembajakan.
ADVERTISEMENT
Dalam hal pemulihan, jika aksi terorisme sudah berbentuk perang gerilya di hutan dan lawan gerilya tersebut menimbulkan perang berlarut atau konflik bersenjata tahan lama, praktis akan mempengaruhi dinamika sosial-ekonomi masyarakat. Dalam kontek pemulihan, TNI mengenal istilah operasi territorial, akan tetapi lebih dari itu, satuan tentara yang memiliki kualifikasi kontra insurgensi dan kontra gerilya seharusnya memiliki kemampuan menangani permasalahan masyarakat (humanitarian) yang terkena dampak konflik bersenjata.
Perpres pelibatan TNI dalam pemberantasan aksi terorisme, seharusnya menjawab kekhawatiran bahwa Gultor sebagai dalih memunculkan politik keamanan nasional yang represif atau kebijakan hukum darurat militer. Oleh karenanya Perpres yang mengatur pelibatan TNI dalam pemberantasan aksi terorisme harus sebagai wujud supremasi sipil dan kontrol demokratik atas militer serta tujuan dari menjaga pertahanan negara, keamanan nasional, dan ketertiban umum adalah untuk melindungi keamanan kemanusiaan warga negara Indonesia.
ADVERTISEMENT