news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jabatan Fungsional dan Dwi Fungsi TNI

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
4 Juli 2019 12:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pos Perbatasan Indonesia-Papua Nugini
Salah satu peristiwa politik yang menyertai Pemilu 2019 diwarnai dengan munculnya ide tentang perwira aktif TNI bisa menduduki jabatan di kementerian/lembaga yang merupakan jabatan sipil. Ide ini menimbulkan kekhawatiran akan bangkitnya Dwi fungsi ABRI. Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia kemudian dianggap merealisasikan ide tersebut.
ADVERTISEMENT
Kembali atau tidak ke Dwi Fungsi ABRI ? ide dan regulasi seperti tersebut di atas dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, dari sisi sejarah pemikiran awal dan berakhirnya Dwi Fungsi ABRI. Dan yang kedua, dari sisi peraturan perundang-undangan, sejauhmana hukum mengatur menutup peluang hadirnya kembali Dwi Fungsi ABRI.
Sejarah dan Doktrin
Di masa lalu, peranan prajurit TNI di jabatan-jabatan sipil disebut dengan Kekaryaan. Kekaryaan lahir dari upaya politik tentara untuk mengisi dan kemudian merebut posisi dominan secara politik sebagai pelaksanaan dari Dwi Fungsi ABRI, yaitu fungsi Hankam dan fungsi Sospol.
Dari sisi sejarahnya, perang revolusi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 hingga tahun 1949, telah membentuk tentara yang memiliki kecenderungan untuk berpolitik. Hal tersebut menjadikan tentara terlibat dalam konflik poltik dalam negeri. Meski demikian tentara secara umum tetap menghormati supremasi sipil. Hal ini ditunjukan secara fenomenal ketika Belanda menyerbu Yogya tahun 1948. Dalam situasi genting Panglima Besar Jenderal Soedirman menunggu di luar ruangan ketika sidang darurat kabinet berlangsung.
ADVERTISEMENT
Pasca perang kemerdekaan, tentara tetap melakukan kerja politk, memperluas peranan politiknya hingga ke adminitrasi sipil dan ekonomi, hingga akhirnya menjadi kekuatan politik yang paling dominan yang mengantar berdirinya rezim militer Orde Baru.
Namun penting untuk diingat bahwa perluasan politik tentara juga terjadi akibat faktor kelemahan sistem politik yang dikelola politisi sipil, adanya dukungan atau ajakan dari kekuatan politik sipil dan adanya peluang hukum berupa UU No. 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya
Secara konsep dan doktrin, peran politik tentara terlihat dari konsepsi Jalan Tengah yang disampaikan almarhum Jenderal Besar AH Nasution pada tahun 1958, yang menyatakan bahwa pihak tentara tidak akan mencari kesempatan untuk mengambilalih pemerintahan, namun juga tidak akan bersikap acuh tak acuh terhadap politik, dan menuntut hak tentara duduk di pemerintahan dan DPR. Lalu konsepsi politik tentara diperluas sebagai aktor politik yang dominan dalam Seminar II TNI AD tahun 1966 (Harold Crouch; 1986). Kemudian berlanjut dengan Makalah Hankam, Pejuang dan Prajurit : Konsepsi dan Implementasi Dwi Fungsi ABRI, tahun 1981, sebagai analisis pembenaran implementasi Dwi Fungsi ABRI (David Jenkins; 2010).
ADVERTISEMENT
Kehendak mengakhiri Dwi Fungsi ABRI dan menjalankan reformasi internal TNI, doktrinya dikenal dengan Paradigma Baru Peran TNI, Konsepnya berjudul “Redefinisi Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI Dalam Kehidupan Bangsa” yang ditandatangani Jenderal Wiranto pada tanggal 5 Oktober 1998 dan TNI Abad XXI, Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa: Langkah-langkah Reformasi Internal Lanjutan TNI (Tahap II) yang ditandatangani oleh Panglima TNI Laksamana Widodo AS pada tanggal 5 Oktober 2001.
Dari sejarah dan doktrin tersebut terlihat bahwa penugasan prajurit aktif TNI ke kementerian dan lembaga, tidaklah akan menjelma menjadi dominasi politik tentara sepanjang tidak ada doktrin yang melegitimasi perluasan peran politik TNI dan sepanjangnya kuatnya pelembagaan demokrasi. Kini secara doktrin dan hukum, tidak ada yang mendukung Dwi Fungsi TNI
ADVERTISEMENT
Kontrol Demokratis
Hukum sebagai produk politik, telah mengatur reformasi TNI, melalui UU No. 34 Tahun 2004, dinyatakan bahwa TNI dibangun dan dikembangkan mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia.
UU TNI juga telah melakukan pembatasan, bahwa Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
Dari pembatasan tersebut terlihat bahwa jabatan-jabat sipil yang bisa diduduki prajurit afktif TNI selain dalam bidang pertahanan negara, juga yang terkait dengan keamanan dan kebencanaan, serta terkait dengan keberadaan. Perihal inilah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan PP No. 39 Tahun 2010 tentang Adminitrasi Prajurit TNI dan Perpres No. 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, meskipun Peraturan Presiden No 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2015-2019 dan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun 2015, menyebutkan adanya potensi ancaman terhadap pertahanan Negara berupa ancaman non militer, seperti perubahan iklim, krisis pangan, krisis air dan lain-lain, namun di sana juga tidak disebutkan tentang perlunnya peran TNI diperluas untuk menjawab potensi ancaman tersebut.
Berdasar Jati Diri
Dari jati diri TNI di dalam UU TNI, terlihat upaya untuk menjaga nilai-nilai TNI sebagai anak kandung revolusi 45, yaitu tentara rakyat, Tentara Pejuang dan Tentara Nasional. Ada juga sebagai upaya untuk terus memodernisasi tentara, yaitu Tentara Profesional.
ADVERTISEMENT
Oleh karennya upaya pembangunan TNI semestinya tetap ditujukan agar tidak terpisahnya antara TNI dengan kesatuan tanah-air-rakyat sebagai bangsa Indonesia.
Upaya terus memodernisasi TNI, terus penting dilakukan, apakah untuk mengejar revolution in military affairs, atau memenuhi minimum required essential force, sehingga ke depan tidak ada lagi istilah perwira non job, Alusista yang ketinggalan zaman, dan rendahnya kesejahteraan prajurit, oleh karenanya butuh dukungan anggaran dari Pemerintah dan DPR dalam pengembangan postur dan organisasi TNI serta Alutsista.
Pelembagaan demokrasi di Indonesia memerlukan politisi sipil memahami perihal tersebut di atas, agar tidak secara serampangan memanggil keterlibatan TNI di urusan nonmiliter yang akan memunculkan tuduhan klise : intervensi militer di politik dan intervensi politik di militer.
ADVERTISEMENT