Mengenang Pak Yani dari Pembentukan Batalyon Raiders dan Jejak Spymaster

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2022 17:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bandara Udara Achmad Yani Semarang Jawa Tengah Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Bandara Udara Achmad Yani Semarang Jawa Tengah Indonesia
ADVERTISEMENT
Ada dua tempat yang pernah saya singgah yang mengabadikan nama Jenderal Yani. Pertama, Masjid Ahmad Yani di Menteng Jakarta. Lokasinya memang dekat dengan rumah almarhum Jenderal Ahmad Yani sewaktu menjabat Menpangad (Menteri Panglima Angkatan Darat), sekarang dijadikan museum; Dan kedua, adalah bandara udara di Semarang.
ADVERTISEMENT
Dua tempat tersebut, Jakarta dan Jawa Tengah, mewakili karir militer Pak Yani, sewaktu menjadi Menpangad (Menteri/Panglima Angkatan Darat-sekarang Kepala Staf Angkatan Darat), dan sebelumnya sebagai perwira militer di lingkungan teritorium Diponegoro (Sekarang KODAM IV Diponegoro).
Raiders
Guna menghadapi gerilya DI/TTI (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), Pak Yani menginisiasi pembentukan kesatuan infanteri yang memiliki kualifikasi Raiders di Teritorium Diponegoro, yang kemudian melahirkan Batalyon legendaris : Banteng Raiders. Dalam konteks yang sama, A.E Kawilarang, selaku Panglima Tentara dan Teritorium membentuk Kesatuan Komando (Kesko) di Teritorium Siliwangi.
Bagi Kawilarang, inisiatif pembentukan kesatuan infanteri berkualifikasi komando, juga disebabkan pengalamannya bersama Letkol Slamet Riyadi sewaktu bertugas menumpas RMS (Republik Maluku Selatan), di mana RMS sulit ditaklukan karena memiliki pasukan dengan kemampuan komando, mereka adalah bekas Pasukan Khusus) KNIL (tentara kolonial Hindia Belanda). Pasukan khusus ini terkenal karena kekejamannya sewaktu dipimpin Westerling, dan diandalkan untuk merebut bandara Maguwo Yogyakarta sewaktu agresi militer II Belanda.
ADVERTISEMENT
Namun nasibnya beda, kesatuan Raiders sempat dibekukan, sedangkan Kesko Siliwangi, yang ditarik ke level Mabes TNI AD dan berkembang menjadi RPKAD (Resimen Pasukan Komando AD lalu menjadi Resimen Parakomando AD), menjadi Puspassus (Pusat Pasukan Pasukan Khusus), menjadi Kopasandha (Komando Pasukan Sandiyudha) kemudian menjadi Kopassus (Komando Pasukan Khusus).
Baru kemudian di masa Jenderal Ryamizard Ryacudu menjadi Kepala Staf TNI AD, Raiders dihidupkan kembali. Sekarang setiap Kodam memiliki satu Batalion Raider. Di Kostrad juga ada Batalion Para Raiders. Kualifikasi Raiders adalah pasukan komando dengan kemampuan perang berlarut, gerilya, lawan gerilya, dan penanggulangan teror, sesuai dengan niatan waktu dibentuk oleh Yani.
Spymaster
Sewaktu Pak Yani memimpin operasi melawan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), Ali Murtopo - yang pernah berdinas di batalyon Banteng Raiders - juga turut serta dengan memimpin Resimen Tim Pertempuran Teritorium Diponegoro bersama Sujono Humardani dan Yoga Soegama. Panglima Tentara dan Teritorium Diponegoro kala itu adalah Suharto. Ketiga orang ini kemudian ikut Pak Harto ke Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), dan lalu, ketika Jenderal Suharto menjadi Presiden, mereka bertiga menjadi Aspri (Asisten Pribadi) Presiden. Meski berlatar belakang militer. Para Aspri inilah yang mendukung pendirian lembaga think tank, CSIS (Center of Study and Information Strategis).
ADVERTISEMENT
Kostrad di masa konfrontasi dengan Malaysia, membentuk lembaga intelijen Opsus (Operasi Khusus) yang dipimpin oleh Ali Moertopo, di masa awal Orde Baru, Opsus menjadi lembaga intelijen yang super power - dari mulai masalah integrasi Papua hingga penanganan Parpol - hingga akhirnya dimasukan ke Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara, sekarang menjadi BIN -Badan Intelijen Nasional-), selanjutnya bubar ketika Ali Moertopo sang spymaster dijadikan Menteri Penerangan.
LB Moerdani (Beni Moerdani) dipindah ke Kostrad oleh Pak Yani, karena mengkritik kebijakan Kolonel Mung, Komandan RPKAD, sehingga Beni dipanggil Pak Yani, setelah perbincangan yang menunjukan kemarahan Pak Yani, Beni diminta menghadap Pak Harto di Kostrad.
Di Kostrad, Beni bertemu dengan Ali Moertopo yang lalu mengajaknya ke Opsus. Dari Opsuslah karir intelijen Beni terbangun sehingga pasca Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), dirinya dipanggil pulang ke Indonesia oleh Ali Moertopo, untuk kemudian merangkap sejumlah jabatan intelijen sehingga Beni menjadi spymaster menggantikan Ali Moertopo.
ADVERTISEMENT
Jabatan yang dirangkap Beni adalah Asisten Intelijen Hankam, Kepala Pusintelsrat (Pusat Intelijen Strategis, kemudian menjadi BAIS - Badan Intelijen Strategis), Komandan Satgas Intel Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), dan Wakil Kepala Bakin.
Sebagai Komandan Satgas Intel Kopkamtib, praktis Beni menangani permasalahan keamanan dalam negeri, dan sebagai kepala BAIS, Beni bisa mengggerakan Kopasandha, misalnya untuk menangani pembajakan pesawat Woyla di Bangkok Thailand, dan untuk operasi intelijen militer di Timor Portugis (kemudian berubah menjadi Timor Timur lalu menjadi Republik DemokrasiTimor Leste).
Sejarah Pemikiran Tentara
Dari nukilan kisah di atas, pelajarannya adalah pertemuan tentara dengan kemelut sejarah, menghasilkan pembentukan kualifikasi tentara, dan pertemuan antara tentara dengan tentara dalam kemelut sejarah, akan membawa operasi apa yang perlu diambil oleh tentara.
ADVERTISEMENT