Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pekebun dan Dampak Perkebunan Sawit dalam Skema Dana Bagi Hasil Sawit
14 Maret 2024 12:42 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38/2023 tentang Dana Bagi Hasil Sawit (PP DBH Sawit), dapat melakukan transfer keuangan ke Pemda penghasil sawit yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan dari bea keluar dan pungutan ekspor atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya.
ADVERTISEMENT
Meskipun PP tersebut berlandaskan pada UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, namun dalam pelaksanaanya harus diharmoniskan dengan UU No. UU 39/2014 tentang Perkebunan dan aturan-aturan pelaksananya terutama yang terkait dengan perkebunan sawit, dan perlunya pembaruan hukum penilaian usaha perkebunan sawit. Hal tersebut diperlukan karena data dan indikator yang dipergunakan untuk penentuan rincian alokasi DBH bersumber dengan kementerian/lembaga pemerintah terkait perkebunan sawit.
Prioritas untuk Pekebun
Di dalam PP DBH Sawit disebutkan bahwa DBH Sawit bersumber dari penerimaan negara atas bea keluar dan pungutan ekspor yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya.
Sebelumnya pungutan ekspor sawit sebagaimana tersebut di atas telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 24/2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan, dan Perpres No. 66/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres No. 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Berdasarkan aturan tersebut, penghimpunan dana dari pungutan ekspor sawit, prioritas penggunaannya tidak untuk petani pekebun sawit.
ADVERTISEMENT
Demikian halnya kini dengan PP DBH Sawit, prioritas penggunaanya bukan untuk petani pekebun sawit, melainkan digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan dan/atau kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Padahal petani pekebun sawit adalah pelaku usaha perkebunan yang juga terkena pungutan ekspor dengan cara dimasukan di dalam harga tunas buah segar sawit produksi petani. Dan seharusnya petani pekebun sawit mendapat prioritas penggunaan dana perkebunan sawit, karena berdasarkan UU No. 12/2003 tentang Keuangan Negara, pungutan adalah penerimaan negara yang masuk dalam mekanisme APBN dan APBD, yang mana berdasarkan Pasal 93 ayat (1) dan (2), serta Pasal 94 ayat (2) UU Perkebunan, pembiayaan usaha perkebunan yang dilakukan pemerintah dan Pemda yang bersumber dari APBN dan APBD, penggunaanya diprioritaskan untuk pekebun.
ADVERTISEMENT
Karena PP DBH Sawit masih membuka peluang pembiayan selain infrastruktur, Menteri Keuangan perlu menetapkan pembiayaan untuk kegiatan pemberdayaan petani pekebun sawit.
Kinerja Pemda
Di dalam PP DBH Sawit telah diatur cara menghitung Alokasi DBH Sawit, yaitu dihitung berdasarkan pembobotan kinerja Pemerintah Daerah dalam menurunkan tingkat kemiskinan, pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, dan/ atau kinerja lainnya.
Sesungguhnya pemerintah telah memiliki produk hukum dan kebijakan dalam rangka penurunan tingkat kemiskinan dan pengembangan perkebunan sawit berkelanjutan, oleh karenanya dalam konteks DBH Sawit kedua hal tersebutkan harus disingkronkan dengan cara menilai dampak perkebunan sawit berkelanjutan bagi pengentasan kemiskinan sebagai dasar pembobotan Kinerja Pemerintah.
Dalam kerangka sebagaimana tersebut di atas, diperlukan pembaruan hukum penilaian usaha perkebunan. Dengan alasan, pertama, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunanan berlandaskan pada UU No.18/2004 tentang Perkebunan yang tidak lagi berlaku karena telah diganti dengan UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, dampaknya tidak hanya landasanya hukumnya saja yang tidak lagi berlaku, tetapi juga pada pada prinsip dan kriteria yang dinilai dalam mewujudkan perkebunan sawit berkelanjutan; Dan yang kedua, agar perkebunan sawit berkelanjutan membawa sumbangsih bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan, maka penilaian usaha perkebunan selain memasukan prinsip dan kriteria perkebunan sawit berkelanjutan Indonesia, juga menjadikan prinsip dan kriteria layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan perkebunan sawit berkelanjutan selaras dengan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan khusunya dalam target mengatasi kelaparan, mengatasi kemiskinan, dan kelestarian lingkungan hidup di daerah serta di kawasan perdesaan.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka mendukung kinerja Pemda dalam pengembangan perkebunan sawit berkelanjutan yang mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di daerah, Pemda dapat melibatkan partisipasi Desa. Karena di kawasan perdesaanlah perkebunan sawit itu berada, sehingga dampaknya kepada petani pekebun, maupun kepada permasalahan kemiskinan, pangan, infrastruktur, dan kelestarian lingkungan hidup dapat langsung dinilai secara faktual, sekaligus juga mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Desa (SDGs Desa).
Kemakmuran Rakyat
Dana Bagi Hasil Sawit hendaknya dimaknai sebagai perwujudan penguasaan negara atas perkebunan sawit bisa dipertanggungjawabkan dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam menjadi salah satu tolok ukur sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan berdasarkan putusan MK tersebut disebutkan bahwa agar tidak melanggar hak-hak konstitusional, masyarakat harus dilibatkan dalam musyawarah perencanaan.
ADVERTISEMENT
Kemudian putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU Cipta Kerja telah memberikan indikator partisipasi rakyat secara lebih bermakna, yaitu hak rakyat untuk didengar pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Untuk itu penyusunan indikator, aturan turunan, dan perencanaan DBH Sawit hendaknya melibatkan partisipasi secara lebih bermakna dari kelembagaan petani pekebun sawit dan kelembagaan ekonomi petani pekebun sawit.