Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pertempuran Surabaya dalam Catatan Ben Anderson
10 November 2022 20:08 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pertempuran Surabaya pada tahun 1945, yang sekarang kita peringati sebagai Hari Pahlawan, oleh seorang indonesian terkemuka, Ben Anderson, dalam karya tulisnya Java in A Time of Revolution, Occupation and Resistance 1944-1946, Cornel University Press,1972 (terjemahan Jiman Rumbo, Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Cetakan Pertama, 1988), diletakan dalam salah satu episode di dalam revolusinya para pemuda Indonesia.
Karya klasik tersebut, termasuk episode Pertempuran Surabaya, saya pergunakan dalam skripsi saya yang berjudul Strategi Melawan Imperialisme dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia; Studi Pemikiran Sutan Sjahrir dan Tan Malaka (2002), guna melihat konteks berunding atau perang untuk menegakan Proklamasi Indonesia dalam konteks hubungan internasional.
ADVERTISEMENT
Surabaya 1945, kesalahan Sekutu (yang diwakili Inggris)Belanda telah melakukan kebijaksanaan ilegal dengan mendaratkan pasukannya di Surabaya di bawah Kapten Huijer. Para tawanan Eropa, khususnya Belanda yang dibebaskan dari tawanan Jepang mulai bersitegang dengan rakyat Surabaya, insiden paling monumental adalah di Hotel Yamato, ketika terjadi pengibaran bendera Belanda. Massa rakyat Surabaya mengepung hotel itu, seorang pemuda naik dan merobek warna birunya.
Pertempuran mulai meletus semenjak tanggal 1 Oktober, pertempuran tidak hanya dilakukan oleh para anggota BKR - (kemudian menjadi TKR) para pemuda kota surabaya, tetapi juga dihadiri para kyai desa dengan diikuti para santrinya. Tanggal 4 Oktober, Surabaya sudah menjadi kamp bersenjata dengan kekuasaan total di tangan rakyat.
ADVERTISEMENT
25 Oktober 1945, 3 ribu tentara Inggris mendarat di Tanjung Perak di bawah Brigadir Jendral Malaby, Panglima Brigade ke-49 (India). Karena kamp interniran ada di pedalaman, untuk menghindari kesalahpahaman akibat lalu-lalangnya serdadu Sekutu, Malaby melakukan perundingan dengan pihak TKR, dan mendapat sambutan yang baik. Kesalahan yang segera dilakukan Malaby adalah ketika ia memerintahkan satu peleton pasukannya untuk menyelamatkan Kapten Huijer yang terkepung.
Citra buruk Malaby ini, meningkatkan kecurigaan kepada Inggris, dan situasi menjadi kian buruk ketika pesawat Inggris menyebarkan selebaran atas perintah Mayor Jenderal Hawthorn, Panglima Sekutu di Jakarta, selebaran itu menuntut penyerahan senjata Indonesia selama 48 jam dan meminta penghentian pemboikotan.
Pada tengah malam, setelah jatuh korban dari kedua belah pihak, situasi adalah sedemikian rupa sehingga “perlawanan heroik (dari Inggris) ini hanya dapat berakhir dengan lenyapnya Brigade ke-49 itu jika tidak ada seseorang yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada orang seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada Sukarno.
ADVERTISEMENT
29 Oktober, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Keamanan Amir Sjarifuddin tiba di Surabaya. Perdamaian terjadi, namun sorenya, setelah rombongan dari Jakarta pulang, pertempuran meletus kembali, dan tewaslah Brigjend Malaby. Letnaa Jenderal Sir Philip Christison Panglima AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) sangat mengutuk peristiwa itu karena jelas mengganggu kewibawaan Sekutu. Dia memberitahu Presiden Soekarno bahwa Mayjend Masergh berangkat ke Surabaya membawa Brigde ke-5.
Soekarno pun menyerukan dihentikannya serangan kepada pihak Sekutu karena tidak ingin dikatakan di luar negeri oleh NICA, Indonesia anti Sekutu dan Pemerintah tidak bisa mengontrol rakyatnya.
1 November 1945 pasukan Inggris dari Jakarta sudah merapat di Surabaya, selama satu minggu, akibat rakyat mematuhi seruan presidennya. Sekutu telah berhasil mengangkut ribuan orang Eropa dan mengkonsolidasikan pasukannya, dan kini tanggal 9 November Mansergh mengeluarkan ultimatum agar sebelum pukul 06.00 tanggal 10 November, senjata harus diserahkan dan penyerahan pelaku pembunuhan Malaby.
ADVERTISEMENT
Surabaya menelepon Jakarta, Soekarno dan Menlunya, Soebardjo bingung, akhirnya diputuskan bahwa hal itu merupakan tanggungjawab Surabaya. Perdebatan antara golongan tua dan golongan muda di Jakarta nampaknya dimenangkan oleh golongan muda sehingga keluar keputusan itu, namun tetap menunjukan betapa lemahnya Pemerintah Pusat. Maka Gubernur Soerjo mengumumkan bahwa Surabaya akan melawan sampai titik darah penghabisan .
10 November 1945 Inggris menyerbu kota tersebut dari darat, laut dan udara dengan kekuatan penuh dan peralatan terbaik dan modern kala itu. Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati, menyerbu tank-tank Sherman, dan kedua, dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang. Pertempuran ganas terus berlangsung selama lebih dari tiga minggu . Rakyat Indonesia terdesak, dan mengundurkan diri keluar Surabaya, namun Inggris juga tidak berani terus mengejar mereka. Perlawanan rakyat semesta ternyata sangat mempengaruhi sikap Inggris.
ADVERTISEMENT
Pertempuran Surabaya dimaksudkan sebagai suatu ekspedisi menghukum, tetapi ternyata perlawanan yang diperoleh pasukan-pasukan Inggris mengherankan dan menggemparkan mereka. David Wehl, seorang yang sama sekali tidak menyenangi cita-cita Indonesia, namun meringkaskan konsekuensi-konsekuensi pertempuran itu dengan baik sekali sebagaimana dikutip oleh Ben Anderson : “Jika seandainya pertempuran-pertempuran seperti itu berlangsung di seluruh Jawa, jutaan orang akan tewas dan baik Republik Indonesia maupun Hindia Timur Belanda akan tenggelam dalam lautan darah. Kemungkinan ini selalu terletak di hadapan mata para panglima Sekutu pada waktu itu, dan banyak sekali mempengaruhi jalan pikiran mereka, suatu pengaruh yang tidak selalu dapat diterima di negeri Belanda. Akan tetapi, fanatisme dan kemarahan Surabaya yang luar biasa itu tidak pernah terulang kembali, bahkan ketika perang terbuka mulai antara Belanda dan Republik Indonesia tidak ada pertempuran yang dilancarkan Republik yang dapat sebanding dengan pertempuran Surabaya itu, baik dalam keberanian maupun dalam kegigihannya.”
ADVERTISEMENT