Tantangan Pelaksanaan Perpres Reforma Agraria

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
29 Oktober 2018 18:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tantangan Pelaksanaan Perpres Reforma Agraria
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Harus diapresiasi, Presiden Jokowi, mensahkan Peraturan Presiden Nomor 86 tentang Reforma Agraria. Karena Perpres ini boleh dibilang satu satunya peraturan pelaksanaan reforma agraria paska Presiden Soekarno. Meski demikian, selain mengapresiasi, dikarenakan Perpres ini dimaksudkan untuk operasional, diperlukan juga evaluasi terkait tantangan dan kendala yang ditimbulkan oleh Perpres ini. Jika tantangan dan kendala bisa diatasi, maka pelaksanannya diharapkan bisa sesuai target.
ADVERTISEMENT
Perpres Reforma Agraria sesungguhnya telah memberikan terobosan untuk mengatasi kendala target reforma agraria dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, yang targetnya adalah 9 juta ha, berupa redistribusi tanah Negara bekas tanah terlantar dan Hak Guna Usaha yang habis masa berlakunya sebesar 0, 4 juta ha, serta legalisasi aset berupa pemberian sertipikat hak atas tanah di area transmigrasi sebesar 0,6 juta ha dan sertipikasi tanah masyarakat sebesar 3,9 juta ha.
Kendala tersebut berupa, pertama, dilihat dari segi keterhubungan antara TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dengan subjek reforma agraria, yaitu petani kecil, buruh tani, petani penggarap, nelayan kecil, nelayan penggarap, pembudidaya ikan kecil, dan masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan, tidak semua obyek TORA terhubung dengan subjek reforma agraria. Karena praktis redistribusi tanah hanya akan terjadi di kawasan perkebunan dan kawasan hutan.
ADVERTISEMENT
Dengan Perpres Reforma Agraria mengacu pada Tap MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, maka sasaran reforma agraria bisa diperluas. Perluasan TORA dalam Perpres Reforma Agraria ditunjukan dengan ditambahnya sumber TORA yang berasal dari Tanah Timbul, Hak Guna Bangunan yang habis masa berlakunya, tanah bekas Erpacht dan bekas Eigendom, bekas tanah Partikelir, bekas tanah Swapraja, serta tanah kelebihan maksimum. Sumber TORA tersebut potensial untuk diakses subjek reforma agraria di masyarakat perdesaan pesisir dan perkotaan
Kedua, Target TORA dalam RPJMN Tahun 2015-2014 tidak bisa menjawab permasalahan ketimpangan, karena tidak menjadikan tanah kelebihan maksimum menjadi sumber TORA. Kini dalam Perpres RA telah menjadikannya sumber TORA.
ADVERTISEMENT
Batas Maksimum
Bagaimana menentukan batas maksimum kepemilikan tanah tentunya menimbulkan permasalahan sendiri. Solusinya bisa diketemukan di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA 1960). Pertanyaan ini layak diajukan agar tanah kelebihan maksimum tidak sekedar kelebihan luas tanah yang melebihi apa yang tercantum dalam sertifikat hak atas tanah.
Perintah untuk menyusun peraturan pelaksanaan reforma juga dimandatkan oleh UUPA 1960, utamanya dalam hal pembatasan maksimum dan minimum pemilikan penguasaan dan pemilikan tanah. UUPA 1960 memberikan mandat bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pengaturan batas maksimum seperti tersebut di atas kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Perpres Reforma Agraria bisa mempergunakan peraturan tersebut sebagai dasar hukum penetapan batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah. Karena pengaturannnya berdasarkan kepadatan penduduk di tiap daerah, daya dukung lingkungan dan ada rumusnya. Dari pada mempergunakan UU Perkebunan dan UU Minerba yang hanya mengatur batas maksimum luasan izin usaha. Pembaatasan batas maksimum dan minimum penguasaan dan pemilikan tanah memerlukan rencana tata ruang dan tata wilayah serta penetapan kawasan di daerah, oleh karenanya pembatasan dengan cara menentukan dari tingkat pusat atau nasional tidaklah tepat.
Kepastian Hukum
ADVERTISEMENT
Di dalam Perpres Reforma Agraria, disebutkan bahwa sumber TORA adalah HGU dan HGB yang sudah habis masa berlakunya serta tidak dimohonkan perpanjangan dan / atau pembaruan haknya dalam jangka waktu 1 (satu tahun) setelah haknya berakhir.
Di dalam PP No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, yang mengatur bahwa perpanjangan dan / atau pembaruan hak, paling lambat dua tahun sebelum masa berlaku habis.
Membandingkan Perpres dengan PP dan Permen sebagaimana tersebut di atas maka HGU dan HGB bisa menjadi TORA paling tidak menjadi tiga tahun, yaitu dua tahun sebelum HGU dan HGB berakhir dan satu tahun setelah berakhir.
ADVERTISEMENT
Sebaiknya satu tahun setelah HGU dan HGB tidak diperpanjang atau diperbarui, tidak diartikan sebagai masa menunggu lagi, akan tetapi masa persiapan menuju redistribusi tanah, yang meliputi kerja-kerja inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaaan dan pemanfaatan tanah; analisa data fisik dan yuridis tanah; dan penetapan subjek dan objek reforma agraria.
Penjadwalan ini penting agar memberikan jaminan kepastian hukum khususnya bagi Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional, maupun masyarakar sekitar HGU dan HGB, kaitannya dengan rencana peruntukan tanah, adminitrasi pertanahan dan ekstensifikasi tanah pertanian untuk petani.dan pemenuhan hak atas perumahan.
Kelembagaan
Tim Reforma Agraria di pusat, maupun Gugus Tugas Reforma Agraria di provinsi dan di kabupaten/kota, seharusnya melibatkan masyarakat subjek reforma agraria seperti perwakilan serikat petani, serikat nelayan, serikat buruh, organisasi guru, UMKM dan lain-lain, dalam kelembaggaan reforma agraria, bukan hanya bisa berpartisipasi dalam memberikan usulan dan masukan, agar reforma agraria benar- benar tepat sasaran dan tidak ada lagi praktek penggusuran atau perampasan tanah rakyat serta pelaksanaan reforma agraria sesuai dengan prinsip dari, oleh dan untuk rakyat.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya keterwakilan organisasi tani, nelayan, buruh, guru, UMKM, dan lain lain yang merupakan subjek reforma agraria semestinya diprioritaskan, bukan hanya dari akademisi dan tokoh masyarakat, untuk dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantaaun pengawasan dan dilibatkan dalam kelembagaan reforma agraria.