Konten dari Pengguna

Efisiensi, Tanpa Seminar atau Sertifikat: Belajar dari Pedagang Nasi Uduk

Bunga Asyifa
Saya seorang mahasiswi Universitas Pamulang, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Ekonomi
14 Mei 2025 15:55 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Bunga Asyifa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar ini adalah ilustrasi pedagang nasi uduk yang sedang melayani pembeli di warung sederhana, menggambarkan kekuatan ekonomi mikro di kehidupan sehari-hari.
zoom-in-whitePerbesar
Gambar ini adalah ilustrasi pedagang nasi uduk yang sedang melayani pembeli di warung sederhana, menggambarkan kekuatan ekonomi mikro di kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk pikuk ekonomi digital, inflasi pangan global, dan seminar ekonomi inklusif, pedagang nasi uduk di pinggir jalan tetap membuka lapaknya sebelum matahari terbit. Mereka tak punya startup, tak paham big data, apalagi konsep circular economy. Tapi nyatanya, mereka paham betul apa itu efisiensi, segmentasi pasar, dan strategi bertahan dalam tekanan ekonomi harian.
ADVERTISEMENT
Pedagang nasi uduk mengajarkan kita banyak hal, lebih dari yang kita kira. Pertama, mereka menerapkan price bundling tanpa sadar. Dengan satu paket harga, konsumen mendapat nasi, bihun, orek tempe, sambal, dan telur. Ini adalah contoh sederhana dari strategi penetapan harga yang menciptakan persepsi nilai tinggi (perceived value), tanpa harus menurunkan margin secara drastis. Kedua, mereka melakukan analisis permintaan secara empiris. Lokasi dipilih berdasarkan arus lalu lintas pekerja pagi. Penambahan menu, penyesuaian porsi, hingga waktu operasional ditentukan bukan oleh software, tetapi oleh observasi lapangan dan pengalaman bertahun-tahun. Ketiga, mereka menjalankan cash flow management paling ketat. Setiap rupiah dihitung, bahan dibeli harian, dan keuntungan langsung diputar untuk kebutuhan berikutnya. Tidak ada sistem kas tertunda, tidak ada piutang, semua berbasis real-time economy. Namun, keberadaan mereka tidak pernah menjadi perhatian utama kebijakan. Padahal menurut data BPS, usaha makanan minuman skala mikro menyumbang sebagian besar kontribusi lapangan kerja di sektor informal. Dalam wacana ekonomi menengah, kita diajarkan soal elastisitas harga, efisiensi biaya, dan perencanaan produksi. Tapi seringkali, yang menghidupi semua teori itu bukan perusahaan besar, melainkan pedagang nasi uduk di ujung gang. Ekonomi kita berdiri bukan di atas layar presentasi, tapi di atas piring seng. Pelajaran terbaik justru datang dari mereka yang bekerja sebelum kita bangun, dan tetap berjualan meski tak pernah masuk grafik pertumbuhan nasional.
ADVERTISEMENT