Stigma Perempuan dalam Belenggu Patriarki pada Film “YUNI”

Bunga Aqila Weny Devita
Seorang Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta yang berasal dari D.I. Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
2 Juni 2022 20:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bunga Aqila Weny Devita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: https://www.youtube.com/watch?v=4BN63e5CnaQ&t=79s
zoom-in-whitePerbesar
Source: https://www.youtube.com/watch?v=4BN63e5CnaQ&t=79s
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Film yang digarap oleh Kamila Andini yang bertajukkan “Yuni” berhasil membawa pulang penghargaan kategori Platform Prize untuk Indonesia pada Toronto International Film Festival 2021. Film yang mengangkat nilai keperawanan wanita ini berhasil menguak isu-isu perempuan yang diyakini oleh masyarakat luas. Nilai keperawanan yang dianggap sebagai nilai jual wanita yang harus di jaga agar sebanding dengan harta yang kelak ditukarkan oleh calon pihak lelaki sebelum berlangsungnya sebuah pernikahan. Tokoh Yuni yang diperankan oleh Arawinda Kirana ini juga menunjukkan sisi lain kehidupan anak SMA di kota kecil yang penuh akan pengharapan dan impian.
ADVERTISEMENT
Mimpi-mimpi yang kian lama telah dibangun oleh mereka harus terhalang oleh sistem sosial masyarakat setempat. “Yuni” juga menampilkan sisi wanita di perkotaan kecil yang terlihat seakan tidak memiliki kendali akan hidupnya. Di bawah banyaknya tekanan yang didapatkan dari sistem patriarki, terdapat satu tokoh dengan karakter kuat yang kontra dengan nilai-nilai perempuan yang dipercaya. Sosok yang dikenal dengan nama Suci Cute merupakan tokoh yang memperjuangkan hak serta kebebasannya dalam menentukan pilihan kehidupannya. Representasi perempuan yang mencari kebebasan dan pilihan atas kendali hidupnya terdapat pada karakter Suci yang mendorong Yuni untuk melakukan hal yang serupa. Perjuangan Suci akan segala kebebasannya dikemas dalam dialog khasnya “Freedom abis!”
Sutanto dalam artikelnya yang berjudul Representasi Feminisme dalam Film “Spy”: Jurnal E-Komunikasi Vol. 5, No. 1 (2017) menyatakan bahwa dalam bidang sosial, kaum femini s menandai akan adanya keterbatasan pada hak-hak perempuan. Marak tradisi yang menghendaki perempuan untuk mengurus rumah tangga dan keluarga, sehingga sebagian besar wanita secara mau tidak mau harus menghabiskan banyak waktu di rumah untuk memberikan pelayanan. Perempuan juga tidak memiliki haknya untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan yang tinggi, dikarenakan pendidikan yang tinggi dinilai bukanlah hal yang diperlukan bagi seorang perempuan. Perempuan juga tidak dipercaya untuk berperan aktif atau bahkan memiliki jabatan-jabatan tinggi serta profesi tertentu. Adanya keterbatasan akan hal tersebut tentunya juga berpengaruh bagi kehidupan ekonomi mereka.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Suci dalam kehidupan Yuni pun tentu memberi dobrakan akan mimpi-mimpi Yuni yang tak pernah terbesit sebelumnya. Suci mengajarkan apa arti dari kebebasan kepada Yuni, dimana sebagai seorang wanita pun mereka memiliki kendali penuh atas kehidupan, penghidupan, serta mimpi-mimpinya. Yuni pun kian merasa pasti untuk giat melanjutkan pendidikan tingginya ketimbang harus mengambil pilihan untuk menikah di usia muda.
Perempuan ternyata terlanjur disosialisasikan perannya sebagai ibu rumah tangga, sesuai dengan yang diutarakan oleh Arief Budiman dalam bukunya yang berjudul “Pembagian Kerja secara Seksual (Sebuah pembahasan sosiologis tentang peran wanita dalam masyarakat” pada tahun 1985, dimana tujuan perempuan seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluatga. Setelahnya pula, hampir seluruh kehidupannya dilewatkan dalam keluarga. Pada keadaan tersebutpun keberadaan perempuan menjadi bergantung kepada laki-laki, mengingat secara ekonomis pekerjaan yang dilakukan perempuan di rumah untuk mengurus keluarga tidak menghasilkan gaji. Ditambah lagi, perempuan seakan -akan dipenjarakan di suatu dunia yang tidak merangsang kepribadiannya.
ADVERTISEMENT
Isu terkait perempuan juga terpampang dari penggambaran kisah teman-teman Yuni. Dimana salah satu temannya yang bernama Tika terpaksa menikah dan memiliki anak di usia yang belia, sedangkan salah satu teman lainnya yang bernama Sarah, yang dinikahkan paksa oleh masyarakat setempat dikarenakan adanya fitnah saat sedang berdua bersama pasangannya. Hal tersebut juga digambarkan pada kisah Suci yang turut menjadi korban kegagalan pernikahan, seperti menikah dan memiliki anak di usia muda, kemudian menjadi korban KDRT atas pasangannya, sampai akhirnya dirinya dianggap aib dikarenakan harus bercerai.
Hal menarik dari film Yuni ini adalah karena film ini dikemas secara apa adanya tanpa adanya bumbu-bumbu drama yang berlebihan. Sehingga film ini terkesan sangat dekat dan sesuai dengan keadaan sekitar remaja perempuan Indonesia, terlebih masyarakat Pulau Jawa. Kisah ini pun ditampilkan dengan alur yang ringan dan mudah dimengerti, namun tidak membosankan. Dimana hal tersebut yang justru akan memicu pergolakan batin di benak masyarakat yang menyaksikan.
ADVERTISEMENT