Konten dari Pengguna

Wacana Kerusakan Berkelanjutan : Analisis Destruksi Lingkungan di Ghana

Matthew Natanael Gideon Nainggolan
Seorang Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Kristen Indonesia yang suka mengeksplorasi pengetahuan baru.
22 Oktober 2024 14:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Matthew Natanael Gideon Nainggolan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Sejarah SDGs dan Dinamikanya

ADVERTISEMENT
Pada September 2015 lalu di New York, negara-negara anggota PBB menyatakan setuju sekaligus mengadopsi agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan atau biasa disebut Sustainable Development Goals (SDGs). Singkatnya agenda pembangunan ini merupakan komitmen seluruh negara di dunia untuk bekerjasama membangun peradaban yang damai sejatera bagi seluruh umat sekaligus planet tempat kita tinggal.
Sumber : Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Freepik
Untuk bisa terbentuk, Sustainable Development Goals telah melalui proses riset dan forum yang cukup panjang mulai dari Earth Summit pada Juni 1992 di Rio de Janeiro, hingga terbentuknya prototype SDGs yang disebut Millenium Development Goals pada September 2000 di New York. Dalam mencapai visi yang mulia, SDGs memiliki 17 goals atau tujuan yang perlu dirampungkan sebelum atau saat tahun 2030. Jika kita mengklasifikasikannya, maka poin-poin ini memiliki fokus pada tiga aspek, yaitu pembangunan di bidang ekonomi sosial, polhukam (politik, hukum, dan keamanan), serta lingkungan
ADVERTISEMENT
Tentu sebagai sebuah kebijakan, SDGs juga menuai kontroversi dan kritik dari berbagai pihak yang menganggap bahwa SDGs tidak realistis. Agenda ini dianggap sebagai sebuah hipokrit, karena apa yang digaungkan berbeda dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena beberapa negara bisa menunjukkan yang progresif dalam melaksanakan SDGs. Apabila teman-teman pembaca penasaran akan hal ini, maka kalian bisa mencari di platform searching manapun untuk bisa mengetahui negara mana saja yang progresif dalam SDGs.
Setelah kalian menemukannya, maka kalian akan melihat bahwa negara-negara peringkat teratas berasal dari Eropa. Dari titik inilah kita akan memulai analisis kerancuan poin-poin SDGs terhadap kenyataan yang sebenarnya terjadi. Analisis kerancuan akan dimulai dan terfokus pada poin lingkungan yang juga menjadi target utama pelaksanaan SDGs. Selain itu analisis ini akan difokuskan pada kondisi satu negara yang tentunya bukan negara di Eropa karena mereka sudah cukup "progresif".
ADVERTISEMENT

SDGs di Ghana dan Kerancuannya

Negara yang akan kita bahas adalah Ghana, salah satu negara di Benua Afrika. Negara dengan julukan Golden Coast atau Black Star ini memperoleh kemerdekaannya dari Inggris pada 6 Maret 1957 dan menjadi koloni Afrika pertama yang merdeka di masa itu. Setelahnya Ghana diterima sebagai anggota PBB pada 8 Maret 1957 sampai dengan hari ini. Sebagai negara anggota PBB, Ghana menyatakan setuju pada gagasan SDGs. Ghana bahkan mengadopsi tujuan-tujuan SDGs dalam implementasi pembangunan negaranya. Pemerintah Ghana bahkan cukup gencar melaksanakan SDGs di beberapa aspek seperti menjamin ketersediaan pangan dan kebutuhan, kualitas pendidikan, serta kesehatan.
Sumber : Freepik
Akan tetapi kenyataan tidak seindah yang digaungkan oleh agenda pembangunan SDGs ini. Pasti ada tantangan dan kesulitan yang perlu diatasi untuk bisa mencapai pembangunan yang optimal dan mensejahterakan. Khususnya dalam masalah lingkungan, Masyarakat Ghana harus menerima kenyataan pahit sebagi negara dunia ketiga. Ghana harus menghadapi tantangan eksternal yang berusaha merusak lingkungan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Sisi gelap destruksi lingkungan yang terjadi di Ghana bisa dilihat dari wilayah Agbogbloshie di ibukota Accra, Ghana. Agbogbloshie dianggap sebagai titik terakhir pembuangan sampah elektronik seluruh dunia. Ribuan sampah elektronik di wilayah ini dibakar dan asap hasil pembakaran ini membahayakan kehidupan masyarakat sekitar. Bagaimana tidak, asap hasil pembakaran ini mengakibatkan sensasi terbakar pada kulit manusia dan rasa berdenyut menyakitkan pada kepala. Selain itu anak-anak di wilayah ini mengalami berbagai penyakit kerusakan hati, sakit di ginjal, dan penyakit dalam lainnya. Sekitar 50.000 masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Agbogbloshie mengalami penderitaan semacam ini.
Pada 6 Maret 2023 kemarin, sebuah organisasi bernama Organisasi Pemuda Afrika Hijau di Ghana bersama dengan Serikat Mahasiswa Seluruh Afrika melakukan kampanye untuk menyuarakan masalah perubahan iklim. Tujuannya adalah untuk menyadarkan pemerintah bahwa ada urgensi terhadap masalah lingkungan dan bencana perubahan iklim. Para aktivis ini menyoroti bahwa bencana iklim ini bisa terjadi karena adanya "penjajahan" kerusakan lingkungan yang menghasilkan nestapa.
ADVERTISEMENT

Mau tau penjajahan dan penderitaan semacam ini datangnya darimana?

Penderitaan semacam ini datang dari negara-negara "progresif" yang saya sebut sebelumnya. Seorang aktivis lingkungan Ghana bernama Mike Anane telah mengumpulkan bukti bahwa kedatangan berton-ton sampah elektronik ini berasal dari negara-negara Eropa. Salah dua dari negara itu adalah Jerman dan Denmark, yang tentunya berada di jajaran teratas negara-negara "progresif".
Bengisnya lagi sampah elektronik ini masuk dari perdagangan internasional yang dilakukan oleh Ghana. Untuk mengatasi masalah ini, dibentuklah sebuah konvensi yang disebut Konvensi Basel untuk melarang ekspor sampah elektronik dari Eropa. Namun konvensi yang ditandatangani 170 negara ini seakan-akan tidak berarti, karena setiap bulannya 500 kontainer berisi sampah elektronik tetap sampai di Agbogbloshie.
Sumber : Freepik (Lingkungan Rusak)
Selain sampah elektronik, "penjajahan" kerusakan lingkungan lain yang terjadi adalah ekspor limbah bahan kimia beracun, dan sampah plastik. Bahkan pada tahun 2018, data menunjukkan sekitar 13.000 ton sampah plastik datang di Ghana lalu dibakar secara illegal. Kondisi lain yang mempengaruhi bencana perubahan iklim yaitu adanya pengeboran minyak bumi karena kedatangan investor yang mencari keuntungan.
ADVERTISEMENT
Seperti tujuannya yang hanya mencari keuntungan, maka orientasi tindakannya adalah keuntungan pribadi dan eksploitasi alam, tanpa memikirkan kehidupan masyarakat pribumi. Dampak dari kerusakan lingkungan dan perubahan iklim seperti kekeringan, curah hujan yang tidak pasti, suhu yang meningkat, serta peningkatan permukaan air laut secara perlahan tapi pasti terjadi di Ghana.
Jika berorientasi pada SDGs poin ke-13 yaitu Penanganan Perubahan Iklim, maka apa yang terjadi ini belum sesuai dengan indikator-indikator pencapaian poin ini. Mirisnya lagi negara-negara "progresif" ini malah menghambat perkembangan negara dunia ketiga. Apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa ini tentunya tidak sesuai dengan salah satu prinsip SDGs yaitu "no one left behind". Jika mereka memang gencar untuk menerapkan SDGs, maka seharusnya mereka sadar bahwa SDGs adalah agenda universal dan bukan agenda mereka sendiri. Bukannya sama-sama membangun dunia yang lebih baik, mereka malah merusak tempat yang seharusnya perlu bantuan lebih terhadap pembangunanannya, kalau begitu apa gunanya bicara HAM?.
ADVERTISEMENT
Jika sikap banalitas ini terus menerus dipelihara maka bukan hal yang salah apabila ada pihak-pihak yang pesimis dengan SDGs. Rezim yang seharusnya mempersatukan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, malah melestarikan budaya kolonialisme yang merugikan bangsa lainnya. Apabila tindakan destruksi lingkungan ini terus berlanjut, maka masa depan kehidupan di planet bumi patut dipertanyakan. Hanya memikirkan keuntungan diri sendiri dan mengesampingkan visi untuk masa depan yang lebih baik, bahkan sampai mengorbankan kehidupan manusia, bukankah lebih pantas disebut sebagai Wacana Kerusakan Berkelanjutan?.