Konten dari Pengguna
Tren Minum Matcha: Beneran Nikmat atau Cuma FOMO?
19 September 2025 12:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
Kiriman Pengguna
Tren Minum Matcha: Beneran Nikmat atau Cuma FOMO?
Artikel ini membahas bagaimana matcha jadi tren di kafe dan media sosial, bukan hanya karena rasanya tapi juga karena tampilannya yang estetik. Banyak orang membeli matcha demi foto atau ikut-ikutan, Cayleen Richella
Tulisan dari Cayleen Richella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir, tren minum matcha mendadak naik daun dan jadi salah satu minuman paling populer di kafe-kafe modern, mengikuti banyak tren minuman kekinian seperti dalgona coffee atau boba.
ADVERTISEMENT
Di media sosial, foto segelas matcha dengan es batu dan latte art hijau muda seakan wajib muncul di feed. Tapi pertanyaan yang menarik untuk kita renungkan: apakah semua orang benar-benar menikmati matcha? Ataukah sebagian dari kita hanya ikut-ikutan tren demi tidak ketinggalan?
Tren Minum Matcha dan Fenomena FOMO
Tidak bisa dipungkiri, kekuatan utama matcha ada pada warnanya. Hijau cerah yang khas itu berbeda dari kopi cokelat atau teh hitam yang sudah umum. Warnanya segar, unik, dan menarik perhatian. Begitu dituangkan di gelas bening, apalagi dengan tambahan es batu dan susu, matcha langsung terlihat Instagrammable.
Di era ketika estetika jadi salah satu faktor utama dalam konsumsi, warna hijau matcha punya daya jual luar biasa. Banyak orang membeli bukan karena ingin merasakan sensasi teh hijau bubuk khas Jepang, melainkan karena tampilannya membuat foto terlihat keren. Matcha tidak hanya jadi minuman, tapi juga aksesori gaya hidup.
ADVERTISEMENT
Nikmati Rasa Matcha, atau Nikmati Sorotan?
Kalau kita jujur, matcha bukan minuman yang otomatis disukai semua orang. Rasanya agak pahit, ada aroma tanah atau rumput yang cukup kuat. Bagi lidah yang terbiasa dengan minuman manis seperti caramel latte, boba brown sugar, atau bahkan minuman kekinian lain, rasa matcha bisa terasa aneh.
Namun, anehnya, banyak orang tetap membelinya. Sebagian memang benar-benar suka, tapi tidak sedikit juga yang hanya pura-pura menikmatinya. Bagi sebagian orang, segelas matcha bukan soal rasa, melainkan soal status: terlihat keren, estetik, atau “masuk” dengan lingkaran sosialnya. Bahkan, ada yang hanya memesan matcha supaya bisa difoto lalu diunggah ke media sosial padahal minumannya sendiri mungkin tidak dihabiskan.
Di sinilah pertanyaan muncul: apakah kita minum matcha karena lidah kita benar-benar jatuh cinta, atau karena takut terlihat berbeda ketika semua orang di sekitar kita sedang meminumnya?
ADVERTISEMENT
FOMO dan Tren Minum Matcha
Fenomena matcha adalah cerminan budaya FOMO (fear of missing out) di era digital. Kita sering membeli sesuatu bukan karena benar-benar menginginkannya, melainkan karena takut merasa “tertinggal.”
Matcha jadi semacam simbol sosial. Dengan segelas matcha di tangan, seseorang merasa lebih “up to date,” lebih nyambung dengan percakapan teman, bahkan lebih aesthetic di foto.
Fenomena serupa bisa kita lihat pada tren padel, minuman kombucha, atau skincare viral. Kadang-kadang, kita lebih sibuk mengikuti arus tren dibanding benar-benar memikirkan apakah hal itu cocok untuk kita. Matcha hanyalah salah satu contoh paling jelas. Minuman yang sederhana, tapi dibungkus dengan nilai status sosial.
Matcha: Sehat atau Sekadar Status?
Salah satu alasan populer orang membeli matcha adalah manfaat kesehatannya. Matcha mengandung antioksidan tinggi, bisa meningkatkan fokus, dan punya efek menenangkan. Banyak artikel kesehatan menuliskan manfaatnya, sehingga matcha terlihat jauh lebih “positif” dibanding kopi.
ADVERTISEMENT
Namun, ada sisi lain yang jarang dibicarakan. Matcha yang kita beli di kafe sering kali sudah dicampur dengan susu full cream, gula, sirup manis, atau bahkan topping boba. Alih-alih jadi minuman sehat, jadinya justru lebih mirip dessert cair. Tapi karena label “matcha” sudah melekat, orang tetap merasa minumannya lebih sehat daripada minum cokelat atau kopi manis.
Dengan kata lain, alasan kesehatan sering kali jadi pembenaran. Sebenarnya bukan benar-benar untuk kesehatan, tapi supaya kita merasa tidak bersalah saat mengikuti tren.
Estetika Matcha di Era Digital
Di zaman sekarang, minuman bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang bagaimana ia terlihat di kamera. Matcha berhasil jadi bintang karena warnanya yang hijau cerah begitu cocok dengan estetika media sosial. Segelas matcha latte dengan busa halus bisa langsung mempercantik feed Instagram atau TikTok, bahkan tanpa perlu filter.
ADVERTISEMENT
Influencer ikut mendorong tren ini lewat konten harian: rutinitas pagi dengan matcha, tutorial bikin matcha dalgona, atau sekadar story saat nongkrong di kafe. Perlahan-lahan, matcha berubah dari minuman biasa menjadi simbol gaya hidup tertentu yaitu sehat, produktif, modern, dan estetik.
Tapi yang menarik, tidak semua orang sebenarnya peduli dengan matcha. Ada yang memesan hanya untuk difoto, lalu minum setengah atau bahkan tidak disentuh sama sekali. Dalam kasus ini, segelas matcha lebih berfungsi sebagai properti foto ketimbang minuman yang benar-benar dinikmati.
Matcha: Ngikuti Tren Doang atau Selera Pribadi?
Akhirnya, semua kembali pada pertanyaan sederhana: apakah kita minum matcha karena lidah kita suka, atau karena tren memaksa kita untuk terlihat suka? Tidak salah kalau memang kita menikmatinya, rasanya yang pahit ringan bisa jadi menyegarkan, dan manfaat sehatnya memang ada. Tapi tidak perlu juga berpura-pura hanya karena takut terlihat berbeda.
ADVERTISEMENT
Tren selalu datang dan pergi. Hari ini matcha, besok mungkin ada minuman lain yang naik daun. Kalau kita terus minum hanya untuk FOMO, kita akan terus dikejar arus tren baru. Tapi kalau kita tahu selera pribadi kita, segelas matcha bisa dinikmati tanpa tekanan—sebagai minuman yang benar-benar kita pilih, bukan sekadar simbol status di media sosial.

