Konten dari Pengguna

Refleksi Tragedi Trisakti 1998: Pilar Perjuangan Demokrasi yang Tak Boleh Dilupa

Casya Chaterina Baiduri Silaban
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
25 November 2024 12:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Casya Chaterina Baiduri Silaban tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Universitas Trisakti yang terletak di pusat kota Jakarta terkena dampak dari reaksi mayoritas perguruan tinggi di Jakarta yang menyuarakan pendapatnya dengan mengadakan demonstrasi beberapa hari sebelumnya. Mahasiswa Usakti biasanya dikategorikan sebagai anak-anak pejabat militer, sipil, dan parlemen yang tidak peduli dengan kondisi masyarakat, politik pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Menjadi hari yang penuh dengan sejarah Tidak mungkin tragedi Trisakti dilupakan oleh bangsa Indonesia, tragedi berdarah ini meninggalkan rasa yang sangat mendalam khususnya bagi saudara dan kerabat yang menjadi sasaran di insiden ini. Mereka pun menghendaki kebenaran dari kekuasaan negara agar menindak lanjuti terdakwa tindak pidana yang terlibat dalam kejadian ini.
Pemerintah tidak bisa patut membiarkan masalah ini tidak selesai besamaan dengan “sumpah politik” yang dikatakan Presiden Jokowi yang berjanji menyelesaikan insiden ketidak patuhan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
momen ini bermula dari aksi unjuk rasa yang diselenggarakan para mahasiswa yang meminta Soeharto turun dari kekuasaannya. Mereka juga ingin pemerintahan demokratis yang memberikan kedaulatan warga melalui total reformasi. Pada awal tahun 1998, anggaran Indonesia mulai tidak stabil karena mengalami penurunan tajam di Asia tahun 1997 sampai dengan 1999. Mahasiswa, termasuk mahasiswa Trisakti, menuju gedung DPR/MPR. Mereka pergi ke Nusantara Gedung di kawasan sia. Pada pukul 12.30 WIB, berkumpul mahasiswa UC untuk berangkat damai, tetapi aksi mahasiswa tersebut diblokade oleh pihak yang berwenang. mahasiswa kembali ke belakang dibuntuti oleh pihak berwajib yang bergerak ke depan. Kemudian, polisi mencoba menendang peluru pada mahaiswa. Sehingga mahasiswa panik dan ajapan. Kebanyakan korban bersembunyi di Universitas Trisakti, tetapi POLRI masih melakukan penembakan.ropolitan dan Sumber Waras.
ADVERTISEMENT
Ada 5 tewas yang ditemukan dalam kondisi mayoritas tertembak. Kelima korban itu diperkirakan dibunuh dengan tembakan. yang dilengkapi dengan tameng, gas air mata, terlibat dalam insiden malam ini. empat orang meninggal karena ditembak dan satu dalam keadaan kronis. Meskipun pihak perlindungan membantah bahwa kematian terjadi akibat senjata tajam, namun saat bedah mayat menunjukkan bahwa meninggal akibat peluru dan sentata tajam.
Kejadian menyedihkan terjadi malam 12 Mei 1998. Telah didokumentasikan dengan nyata penyimpangan Hak Asasi Manusia yang terjadi pada kejadian ini. Satu tindakan damai berubah menjadi kekacauan besar, bagaikan penembakan ‘membabi buta’. Delapan belas tahun lalu, Tragedi Trisakti
credit by pexels.com
12 Mei 1998 meninggalkan bekas kedukaan yang dalam terhadap sejarah pergerakan mahasiswa. Peristiwa berdarah itu tidak akan terlupakan oleh masyarakat Indonesia. Tragedi Trisakti sepertinya merupakan contoh nyata terjadinya pelanggaran HAM yang dibenarkan guna menggapai target dari pihak tertentu. Aparat perlindungan melupakan rasa kemanusiaan, demi perintah dari komandan, hal ini berlaku untuk kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Tidak mungkin berpikir secara logis dan sehat, yang menyatakan identitas rasa tidak mungkin, bahwa aparat keamanan bisa melakukan penembakan acak- acak apa saja terhadap mahasiswa. Menurut nalar dan kesadaran moral, penembakan itu harus dilakukan atas perintah seseorang. Dalam aksi ini, empat mahasiswa Universitas Trisakti ditambahkan mati karena penembakan brutal dari aparat keamanan. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana (mahasiswa Teknik Arsitektur), Hafidin Royan (mahasiswa Ekonomi(, Heri Hartanto (mahasiswa Ekonomi), Hendriawan Sie (mahasiswa Ekonomi). Mereka ditembak kepalan bagian atas ke kepala dan leher, ketiga di dada.
Kemudian meninggal perebutan mahasiswa Trisakti sejumlah 9 orang dan saudara Elang waktu 11. Perdamaian civitas akademika berlokasi di pelataran parkir depan gedung Syarif Thayeb dimulai dengan kumpulan seluruh civitas Trisakti. Banyak orang berada di depan mimbar. Aksi mimbar bebas dimulai dengan acara penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya sebagai simbol mimbar bebas, dilanjutkan dengan Hening Cipta serupa ungkapan kekhawatiran terhadap situasi bangsa dan rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Terjadi aksi berpidato dan mimbar bebas oleh berbagai pembicara seperti pengajar perguruan tinggi, pegawai, dan mahasiswa. Tindakan tersebut berlangsung lancar. suasana memanas ketika beberapa anggota aparat keamanan muncul di lokasi mimbar bebas menyebabkan massa mendesak turun ke jalan dalam aksi long march untuk menyuarakan aspirasi ke anggota MPR/DPR. Tim perundingan kembali dan menjelaskan bahwa Longmarch tidak diizinkan karena risiko kemacetan lalu lintas dan potensi kerusuhan. Dari pukul 14.00, perundingan terus dilakukan oleh Dandim dan pimpinan yang bertanggung jawab upaya mensisir cara untuk menghubungi lembaga legislatif bikameral. Karena menunggu lama, jumlah massa secara perlahan mulai menurun dan bergerak ke arah kampus.
Pada pukul 5 kurang 5 menit, Kemudian hasil tersebut diumumkan oleh wakil mahasiswa kepada massa bahwa hasil perundingan baik aparat ataupun mahasiswa harus mundur. semua mulai bergerak mundur secara perlahan. Akan tetapi, tiba-tiba seorang oknum yang mengaku alumnus SLTA Na I 7, Mashud yang tidak lulus itu, mulai berteriak ke arah massa rum yang sangat kotor-kotoran. Kelakuan Mashud itu membuat massa menjadi ragu dan bergerak karena mereka menyangka kotor-kotoran tersebut adalah oknum pegawai pemerintah yang berpura pura.
ADVERTISEMENT
Waktu kejadian jam 5, Seseorang diikuti oleh kerumunan, mencoba meninggalkan kerumunan tersebut lari ke arah barisan petugas, yang menyulutkan kebingungan yang membuat kerumunan ikut berlari ke arah kepada barisan aparat,” memicu ketegangan antara kerumunan dan petugas keamanan. Negosiasi antara Kepala Kamtibpus dengan Dandim serta Kapolres menghasilkan kesepakatan agar kedua pihak segera mundur. Merka kemudian mulai bergerak mundur. Ada anggota barisan petugas yang mengejek, lantas mengucilkan mahasiswa menggunakan kata-kata kotor, sehingga gara-gara situasi ini sebagian massa mahasiswa mencabut jalur dan berbalik arah. Sementara itu, barisan aparat memulai menyerbu ke arah massa mahasiswa menggunakan tembakan dan gas air mata, yang menimbulkan kepanikan diantara massa mahasiswa yang lari ke arah kampus.