Konten dari Pengguna

Laba Triliunan, Akal Sejengkal: Ketika PHK Jadi Strategi ‘Efisiensi Pikiran’

Cahya Kurniawan
Pekerja bank swasta - Pegiat Ketenagakerjaan
15 Mei 2025 8:05 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Laba Triliunan, Akal Sejengkal: Ketika PHK Jadi Strategi ‘Efisiensi Pikiran’
Perusahaan untung triliunan, tapi PHK diam-diam tanpa alasan jelas. Golden shake hand? Ogah, takut laba tergerus. Akal sehat dikorbankan demi angka.
Cahya Kurniawan
Tulisan dari Cahya Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam logika ekonomi modern, perusahaan yang untung besar sewajarnya (atau mungkin seharusnya?) membagi kemakmuran, bukan menyebar keresahan. Tapi di negeri yang penuh eufemisme ini, akal sehat sering kalah oleh laba bersih. Maka muncullah satu tren yang absurd tapi nyata: perusahaan dengan untung triliunan, justru makin rajin melakukan PHK, secara diam-diam, tanpa dasar hukum yang jelas, dan tanpa etika yang wajar.
ADVERTISEMENT
Ini bukan cerita fiksi. Ini realitas industri. Perusahaan publik yang rutin tampil di headline bursa sebagai top gainer, justru pelit memberi kejelasan pada pekerja yang digeser. Kalimat "efisiensi" jadi mantra suci, atau kalau mau jujur : efisiensi berkedok akal-akalan.
Setiap tahun perusahaan tersebut mengumumkan laba bersih bernilai fantastis yang bikin investor tepuk tangan dan pekerja tepuk jidat, ternyata tanpa malu mengusir pekerjanya secara sembunyi-sembunyi, mirip gebetan kena ghosting.
Tapi dalam praktiknya, efisiensi itu hanya berlaku pada tenaga kerja level bawah, bukan tenaga direksi.
Mereka tak mau repot bicara soal “golden shake hand”. Mungkin karena bagi mereka, kata "golden" lebih cocok untuk bonus direksi, bukan untuk penghargaan pengabdian puluhan tahun seorang karyawan. Padahal dalam etika korporasi global, golden shake hand bukan cuma soal uang, tapi soal penghormatan. Padahal kalau logikanya waras, perusahaan yang sehat dan kuat secara finansial seharusnya punya hati, bukan hanya neraca laba rugi.
Gambar : foto ilustrasi dari Getty Images
PHK Tanpa Dasar Hukum, Berhadapan dengan Konstitusi
ADVERTISEMENT
Kita hidup di negara hukum, bukan negara kebijakan internal. Maka sekeras apa pun target perusahaan, PHK harus tetap tunduk pada aturan. Pasal 151 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang diubah oleh UU No. 11 Tahun 2020 dan diperkuat lewat Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020) menegaskan:
Jika PHK tetap dilakukan, maka pengusaha wajib memberikan pesangon sesuai Pasal 156, termasuk:
Namun banyak perusahaan yang malah memilih “jalan sunyi”: tidak ada bipartit, tidak ada klarifikasi, hanya satu amplop putih dengan kalimat: “berakhir per tanggal sekian”.
ADVERTISEMENT
Dalam hukum, ini disebut PHK sepihak. Dan menurut Putusan Mahkamah Agung No. 152 K/Pdt.Sus-PHI/2016, PHK sepihak adalah perbuatan melawan hukum yang wajib dibatalkan.
Fakta Ekonomi: Tumbuh Tapi Buang Pekerja
Kalau alasan PHK adalah “performa perusahaan menurun”, mungkin masih bisa dicerna. Tapi kenyataannya? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2024:
Sektor keuangan dan asuransi tumbuh 6,21%, tertinggi keempat dari seluruh sektor ekonomi nasional.
Laba bersih beberapa bank besar di Indonesia mencapai Rp 30–60 triliun dalam setahun.
Namun menurut catatan dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri, laporan keluhan PHK sepihak di sektor keuangan justru meningkat lebih dari 40% sepanjang 2023–2024.
Ini menimbulkan pertanyaan moral: mengapa perusahaan yang tumbuh malah memangkas? Jawabannya ada di satu kata: efisiensi tanpa empati. Logika bisnis telah mengusir logika nurani.
ADVERTISEMENT
Efisiensi atau Eksploitasi Pikiran?
Pekerja yang sudah puluhan tahun mengabdi, tiba-tiba dianggap “tidak produktif”. Standar produktivitasnya? Tidak jelas. Mungkin karena mereka sudah mulai pakai kacamata untuk membaca, atau terlalu lambat membuka dan menjalankan aplikasi spreadsheet. Tapi anehnya, manajer-manajer yang kerjanya meeting lima kali sehari justru aman-aman saja. Rupanya, rapat dianggap sebagai kegiatan suci, walau hasilnya nihil, yang penting power point-nya keren. Presentasi-nya mendapat standing applause walau tidak jelas benefitnya bagi perusahaan.
Yang lebih ironis, ada perusahaan yang sering memasang iklan CSR soal keberlanjutan (sustainability) dan kesejahteraan. Tapi lupa, kesejahteraan itu seharusnya dimulai dari dalam, dari pekerjanya sendiri. Mereka bicara soal human capital, tapi memperlakukan manusia seperti capital yang bisa disusutkan dan ditulis sebagai kerugian di laporan keuangan.
ADVERTISEMENT
Pekerja dianggap "tidak produktif" bukan karena kinerjanya, tapi karena usianya. Mereka bukan tidak bisa bekerja, tapi tidak cocok dengan tren presentasi yang penuh buzzword: agile, lean, future-ready, digital mindset dan lain sebagainya. Padahal, banyak dari mereka yang pernah menyelamatkan perusahaan di masa-masa sulit.
Namun kini, justru mereka yang disingkirkan diam-diam. Seakan masa kerja bukanlah investasi, tapi beban. Maka jadilah PHK sebagai strategi efisiensi bukan biaya, tapi pikiran. Karena untuk menghargai pekerja, perusahaan perlu berpikir. Dan berpikir itu... rupanya melelahkan.
Akhirnya...
Kalau akal sehat terus dikebiri atas nama efisiensi, maka kita hanya sedang membangun perusahaan raksasa dengan hati sekecil mikroba. Laba boleh naik, saham boleh melonjak, tapi kepercayaan pekerja? Pelan-pelan runtuh. Eh, mungkin pula kepercayaan pekerja nggak penting buat para petinggi perusahaan, yang penting cuan....
ADVERTISEMENT
Kalau begini terus, yang harusnya diputus bukan hubungan kerja, tapi hubungan nalar dengan keserakahan.