Konten dari Pengguna
Logika Resign: Ketika Anda Mundur, Tapi Sebenarnya Didorong
1 Juni 2025 14:18 WIB
·
waktu baca 2 menit
Kiriman Pengguna
Logika Resign: Ketika Anda Mundur, Tapi Sebenarnya Didorong
Dipaksa resign itu bukan pengunduran diri, tapi pemaksaan berjubah sopan. Jangan mau ditipu daya korporat dengan senyum HRD yang menusuk dari belakang.Cahya Kurniawan
Tulisan dari Cahya Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Resign itu hak. Tapi kalau dipaksa resign, itu penipuan kelas korporat. Bedanya tipis, seperti antara cinta dan manipulasi. Sama-sama bikin baper, tapi yang satu mengandung jebakan batin.

ADVERTISEMENT
Resign atau Resign-nya Dipaksakan?
Di sebuah negeri bernama Republik UMR, ada sejenis makhluk yang disebut karyawan tetap. Tapi dalam praktiknya, 'ketetapan' itu seperti status hubungan di media sosial: “It’s complicated”.
Bayangkan ini:
HRD memanggil Anda ke ruangan yang AC-nya dingin tapi suasananya panas. Dengan senyum setengah sadar (dan setengah ancaman), mereka bilang:
“Kami tidak bisa melanjutkan kerja sama ini. Tapi tolong ya, kamu resign aja. Biar lebih baik untuk semua.”
Senyumnya manis, tapi rasanya seperti disuruh bunuh diri pakai kata-kata bijak. Ini seperti pacar bilang, “Kita putus ya, tapi jangan bilang aku yang ninggalin. Bilang kamu yang nggak kuat." Lah?
Kajian Hukum: Antara Resign Sukarela dan Resign Penuh Drama
ADVERTISEMENT
Menurut hukum Indonesia, yang kadang lebih banyak diabaikan daripada dijalankan, ada perbedaan jelas antara:
Pasal 1321 KUH Perdata dengan tegas menyatakan:
Artinya, kalau Anda resign karena dibujuk dengan kalimat "lebih baik kamu mundur daripada di-PHK," itu bukan resign. Itu pengunduran diri atas dasar tekanan batin yang bisa jadi bahan sinetron.
Menurut Hukumonline, ini bisa digugat. Tapi ya itu, siapa yang mau ribet ke pengadilan hubungan industrial, kalau makanan di warteg aja udah naik harganya?
Analoginya: Seperti Lompat dari Tebing Karena Dibilang Sunrise-nya Bagus
Anda tahu itu tebing, Anda tahu itu curam, tapi bos Anda bilang:
ADVERTISEMENT
“Kalau kamu lompat sendiri, lebih elegan. Kami anggap kamu pemberani.”
Padahal dalam hati, Anda tahu: ini bukan keberanian. Ini pemaksaan dengan estetik ala motivator kelas receh.
Kalau resign itu niat murni, ya mestinya muncul dari hati, bukan dari HRD yang dadanya sesak karena budget gaji.
Fakta Lapangan: Penuh Kehalusan yang Menyesatkan
Praktik ini sering terjadi di perusahaan yang katanya “peduli pada karyawan” tapi diam-diam lebih peduli sama cost efficiency. Pekerja disuruh resign agar perusahaan: tidak perlu membayar pesangon (karena resign bukan PHK), tidak ribet proses administrasi, dan bisa update status: “Kami mendukung keputusan karyawan secara penuh.” (Padahal pekerja keluar sambil nyumpahin HRD kantor.)
Solusi Filosofis: Jangan Resign dari Nalar
ADVERTISEMENT
Seorang pengamat politik pernah mengatakan, “Nalar itu subversif.” Dalam hal ini, nalar Anda harus aktif. Kalau dipaksa resign, jangan langsung tanda tangan. Tanya: Apa alasannya? Di mana surat peringatan? Apa pelanggaran saya? Dan yang terpenting:
“Apakah ini keputusan bersama atau hanya monolog HRD yang dibungkus retorika?”
Anda boleh mundur, tapi jangan sampai Anda tidak tahu kenapa Anda mundur.
Ingat ! : Resign Itu Hak, Tapi Jangan Mau Jadi Korban Drama Korporat
Kalau resign karena idealisme, itu keren. Tapi kalau resign karena “ditekan pelan-pelan” pakai kalimat manis, itu bukan resign, itu jebakan batin profesional.
Melawan bukan berarti kurang ajar. Melawan artinya masih pakai nalar. Dan di republik gaji bulanan ini, kadang satu-satunya perlawanan yang tersisa adalah: menolak ditipu dengan sopan.
ADVERTISEMENT
Referensi yang Bisa Dibaca Sebelum Anda Didorong Resign:

