Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pekerja Pabrik Lebih Lantang, Pekerja Kantoran Terlalu Nyaman?
11 Mei 2025 14:05 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Cahya Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk-pikuk isu ketenagakerjaan yang makin kompleks, ada satu fenomena menarik yang penulis saksikan pada setiap perayaan Mayday 1 Mei seperti kemarin maupun saat terjadi perselisihan terkait hubungan industrial : mengapa para pekerja pabrik lebih berani bersuara, bahkan hingga mogok kerja, dibanding para pekerja kantoran yang cenderung diam meski hak-haknya tergerus?
ADVERTISEMENT
Mungkin kita bisa lihat dari sejarah. Gerakan buruh yang berhasil mempengaruhi kebijakan besar di negeri ini hampir selalu digerakkan oleh massa pekerja sektor manufaktur. Di berbagai momentum perjuangan ketenagakerjaan, para pekerja pabrik selalu berada di garis depan. Dari unjuk rasa upah minimum hingga penolakan sistem kerja kontrak atau outsourcing yang tak pasti dan semena-mena atau saat jaminan sosial dan pensiun mereka digerogoti, suara mereka terdengar nyaring. Sementara itu, di gedung-gedung perkantoran dengan lantai mengkilap dan ruang rapat yang wangi kopi, para pekerja kantoran, dengan dasi rapi dan kopi latte di tangan, lebih sibuk mengeluh di grup WhatsApp atau story media sosial, tanpa pernah benar-benar mengambil tindakan nyata walau beban kerja terus bertambah dan hak-hak normatif mulai kabur batasnya.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian?
Pertama, pekerja pabrik secara struktural lebih mudah membentuk solidaritas. Mereka bekerja dalam sistem yang kolektif, bergantian shift, berkumpul di pabrik, dan menghadapi tekanan kerja yang sama setiap hari. Ritme kerja kolektif menciptakan rasa senasib-sepenanggungan yang kuat. Mereka tahu, jika satu terkena dampak kebijakan sepihak, yang lain pun akan terdampak. Maka solidaritas bukanlah jargon, ia menjadi kebutuhan hidup bersama.
Di sisi lain, pekerja kantoran terjebak dalam ilusi individualisme: merasa lebih "berkelas", lebih "profesional", dan enggan terlihat seperti "tukang demo". Padahal, masalah yang dihadapi sering kali sama parahnya: target tidak realistis, penilaian kinerja yang tidak transparan dan diskriminatif, pemutusan hubungan kerja sepihak bahkan eksploitasi jam kerja lewat embel-embel "lembur suka rela", "extra mile" atau "dedikasi" namun tanpa kompensasi yang layak.
ADVERTISEMENT
Kedua, ada perbedaan dalam persepsi terhadap risiko. Bagi pekerja pabrik, bersuara adalah pilihan rasional karena diam justru bisa berarti kehilangan segalanya. Bagi pekerja kantoran, ketakutan akan "merusak citra", "dicap tidak loyal", atau "mengganggu jenjang karier" menjadi penghambat utama. Mereka lupa, bahwa karier yang dibangun di atas ketidakadilan hanyalah menara pasir yang siap runtuh kapan saja.
Ketiga, pekerja pabrik lebih terorganisir dalam serikat pekerja. Banyak serikat buruh industri yang aktif, militan, dan punya pemahaman hukum ketenagakerjaan yang kuat. Bahkan di beberapa kantor perusahaan jasa, keuangan, atau teknologi, keberadaan serikat pekerja justru dianggap aneh, bahkan dianggap "tidak sesuai budaya perusahaan". Lucu memang, ketika hak berserikat yang dijamin konstitusi justru dianggap tabu di tempat yang katanya "inovatif".
ADVERTISEMENT
Barangkali, para pekerja kantoran terlalu sibuk menjaga keharmonisan suasana kerja dan relasi profesional, hingga lupa bahwa harmoni tanpa keadilan sering kali hanya sebentuk ketenangan semu. Banyak dari mereka yang begitu anggun dalam menyusun laporan, piawai dalam presentasi strategi bisnis, dan mahir membaca tren pasar, namun sedikit kikuk dan gagap ketika harus membaca pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam suasana seperti itu, banyak pekerja kantoran yang memilih menyuarakan kelelahan dan kekhawatiran mereka secara pasif, lewat status media sosial, cerita di ruang makan siang, atau mungkin sekadar menghela napas dalam diam. Mereka berharap, entah bagaimana, sistem akan berubah dengan sendirinya.
Mungkin, ada semacam rasa enggan yang bisa dimaklumi, untuk dianggap “tidak kooperatif” jika mulai bertanya soal hak normatif atau bertanya mengapa jam kerja fleksibel atau "agile working" terasa semakin tak mengenal batas. Lagipula, siapa yang ingin dicap sebagai “pengganggu dinamika positif tim”, "provokator" atau "pembuat onar"?
ADVERTISEMENT
Perubahan tidak datang karena kita diam. Ia datang karena ada yang mulai bertanya, menyusun kekuatan, lalu bersuara. Dan suara itu bisa muncul lewat banyak cara: memperkuat serikat pekerja, menginisiasi forum internal, atau menyusun Perjanjian Kerja Bersama yang benar-benar berpihak pada keadilan.
Janganlah terlalu nyaman di balik kubikel dan pendingin ruangan. Dunia kerja yang tidak adil tidak akan berubah hanya karena kita rajin ikut webinar HR atau memberi like pada konten LinkedIn tentang "well-being". Jika hakmu dilanggar, bersuaralah. Kalau tidak bisa sendirian, bentuklah kekuatan bersama. Ingat, keberanian itu menular, begitu pula ketakutan.
Saatnya pekerja kantoran belajar dari keberanian para buruh pabrik. Tidak perlu merasa malu untuk membela hak sendiri. Bukan untuk menciptakan konfrontasi, tapi untuk membangun ekosistem kerja yang sehat, menghargai loyalitas, juga menjunjung hak pekerja yang terabaikan.
ADVERTISEMENT
Karena pada akhirnya, diam bukanlah emas, ia bisa menjadi jerat yang membuat kita semakin sulit melangkah maju.
Keberanian tak selalu harus keras. Tapi ia selalu jelas. Dan dalam dunia kerja hari ini, keberanian adalah syarat utama agar kita tak terus menjadi penonton dari kebijakan yang memengaruhi hidup kita.
Namun perlu diingat juga, tidak semua hal bisa diselesaikan lewat diplomasi sunyi dan senyum sopan dalam rapat. Ada saatnya volume suara perlu dinaikkan, bila perlu menendang tempat sampah di tengah malam yang menimbulkan suara keras menggelegar bisa menjadi opsi yang sah dilakukan..... bukan untuk membuat gaduh, tetapi agar eksistensi dan kontribusi kita tidak lagi diabaikan !