Konten dari Pengguna
Serikat Pekerja: Akal Sehat dalam Sistem yang Tak Sehat
14 Juni 2025 23:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
Kiriman Pengguna
Serikat Pekerja: Akal Sehat dalam Sistem yang Tak Sehat
Serikat pekerja bukan penghambat investasi, tapi penjamin keadilan di dunia kerja. Dalam sistem yang makin brutal, serikat adalah akal sehat terakhir bagi pekerja.Cahya Kurniawan
Tulisan dari Cahya Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekitar dua-tiga bulan lalu, lini masa salah satu media sosial penulis dipenuhi video-video pendek terkait penutupan sebuah pabrik di Cirebon. Narasinya berfokus pada aksi demonstrasi pekerja yang dituding diprovokasi oleh serikat pekerja. Tapi yang menarik perhatian penulis bukan sekadar aksinya, melainkan respons warganet terhadap peristiwa itu.
ADVERTISEMENT
Hampir 99,9% komentar yang saya baca mencibir aksi tersebut. Mereka mencapnya sebagai tindakan anarkis, tidak tahu diri, dan pembangkangan. Sisanya, 0,1% memilih bersikap netral atau mendukung aksi tersebut. Ironisnya, sebagian besar komentar tersebut jelas-jelas tidak memahami akar masalah sebenarnya. Inilah yang memicu penulis membuat artikel ini.
Bukan untuk menggurui atau berpihak, tetapi untuk mengingatkan bahwa di negeri ini, ada satu hubungan krusial yang seringkali terlupakan: hubungan industrial antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Sebuah hubungan yang idealnya adil, namun dalam praktiknya lebih sering menjadi arena pertarungan kekuasaan.
Mari kita bedah secara lebih mendalam.
Dari Mana Semua Ini Dimulai?
Ketika buruh menuntut haknya, media menyebutnya "ribut". Ketika pengusaha melobi pemerintah, disebut "ikhtiar investasi". Ini bukan sekadar permainan kata, tetapi cerminan relasi kuasa yang timpang. Dalam sistem ketenagakerjaan yang terus-menerus menguntungkan pemodal, serikat pekerja adalah satu-satunya akal sehat yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Mengapa? Mari kita lanjutkan...
Sejarah Perlawanan yang Terlupakan
Serikat pekerja di Indonesia tidak lahir dari kemurahan hati penguasa. Ia lahir dari penderitaan panjang kelas pekerja. Dari zaman kolonial saat kerja paksa adalah bentuk perbudakan modern, hingga era Orde Baru ketika serikat pekerja dijinakkan di bawah kendali negara lewat SPSI.
Pada masa itu, hadir seorang Marsinah, seorang aktivis buruh yang dibunuh secara tragis pada 8 Mei 1993. Kematian Marsinah adalah pengingat akan ketidakadilan yang tetap lestari hingga kini. Pasca reformasi 1998, ruang demokrasi mulai terbuka. Melalui UU No. 21 Tahun 2000, kebebasan berserikat dijamin. Tapi jaminan itu lebih banyak tertulis di atas kertas.
Di lapangan, pekerja yang mencoba membentuk serikat masih diintimidasi, dikriminalisasi, bahkan dipecat. Tak jarang, pengusaha membentuk serikat tandingan untuk memecah solidaritas. Negara? Lebih sering diam..... atau malah menjadi bagian dari permainan kotor itu?
ADVERTISEMENT
Negara: Penengah atau Pemihak?
Dalam teori, pemerintah harus menjadi wasit yang adil dalam hubungan industrial. Namun praktiknya, negara lebih mirip makelar kebijakan. UU Cipta Kerja adalah buktinya. Disahkan tanpa partisipasi pekerja, dipaksakan meski dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan jelas-jelas berpihak pada investor.
Tapi, siapa sebenarnya yang diuntungkan? Dan siapa yang harus menanggung biayanya?
Data Ketimpangan yang Nyata
Menurut laporan ILO (2022), hanya sekitar 30% nilai tambah ekonomi Indonesia kembali ke pekerja. Di negara maju, angkanya bisa mencapai 50-60%. Sementara data dari Kemenaker menyebutkan, hanya 11% perusahaan yang memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Tanpa PKB, pekerja tunduk sepenuhnya pada aturan sepihak perusahaan. Dan tanpa serikat, mereka bahkan tidak punya ruang untuk menegosiasikan nasibnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Melawan Stereotip: Siapa Sebenarnya yang Membebani Ekonomi?
Mitos yang terus diulang-ulang adalah: "Serikat pekerja bikin investor kabur." Padahal faktanya, yang membuat iklim investasi Indonesia tidak menarik bukanlah buruh yang menuntut haknya, tetapi ekonomi biaya tinggi: korupsi, kolusi, nepotisme, pungutan liar, premanisme, dan ketidakpastian hukum.
Bank Dunia dan KPK berkali-kali menegaskan bahwa biaya siluman dalam proses perizinan dan hukum yang tidak konsisten adalah momok utama dunia usaha. Serikat pekerja justru menciptakan kepastian hukum dan kestabilan relasi kerja. PKB menjadi kontrak sosial yang mencegah konflik. Serikat yang kuat membuat pengusaha tahu batas dan pekerja tahu haknya. Yang takut pada serikat hanyalah pengusaha yang berniat mengeksploitasi.
Serikat sebagai Rasionalitas Perlawanan
Serikat pekerja bukan tempat keluh kesah. Ia adalah organisasi perjuangan. Manifestasi rasional dari kelas pekerja yang ingin hidup layak. Serikat bukan beban demokrasi, tapi pilar utamanya di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Tanpa serikat, tidak ada negosiasi. Tidak ada kontrol terhadap kesewenang-wenangan. Serikat adalah satu-satunya kekuatan yang mampu menandingi dominasi modal di tingkat perusahaan.
Harapan: Dari Bertahan ke Menyerang
Serikat pekerja tidak boleh hanya bertahan. Ia harus menyerang. Bukan dengan kekerasan, tetapi dengan akal, strategi, dan keberanian melawan narasi palsu.
Di tengah sistem yang makin liberal, relasi kerja makin cair, dan negara makin berpihak pada pemodal, hanya serikat yang sadar sejarahnya yang bisa bertahan dan menang. Serikat pekerja bukan masalah. Ia adalah solusi. Bukan penghambat investasi, tetapi penjamin keadilan.
Di dunia kerja yang brutal, serikat adalah akal sehat yang paling masuk akal.

