Konten dari Pengguna

Gugatan Investasi Pascakrisis: Lessons Learned dari Pengalaman Argentina

Cahyo Purnomo
Seorang pembelajar. Belajar menulis, menulis untuk belajar. Views are my own
12 Agustus 2020 15:42 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cahyo Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi investasi masa tua. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi investasi masa tua. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Dalam tulisan terdahulu saya sudah bercerita secara ringkas bahwa pasca krisis ekonomi yang melanda suatu negara kerap memicu munculnya gugatan investasi. Penjelasan ringkasnya adalah krisis membuat banyak negara memfokuskan dan memprioritaskan berbagai kebijakan dan tindakan (measures) untuk menyelamatkan dan memulihkan ekonominya. Langkah riil yang diambil dapat berupa penerbitan suatu undang-undang atau peraturan perundangan lainnya untuk menyehatkan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Upaya penanganan krisis khususnya oleh negara yang menganut perekonomian terbuka yang misalnya menjadi pihak atau menandatangani berbagai perjanjian investasi internasional (PII) perlu memperhatikan apakah berbagai kebijakan dan tindakan yang diambil tersebut sejalan dan selaras dengan berbagai kewajiban negara sebagaimana diatur dalam PII dimaksud. Dengan kata lain apapun kebijakan dan tindakan yang diambil tidak boleh bertentangan atau melanggar kewajiban negara terhadap investor asing dan investasinya tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa berbagai investor asing yang berinvestasi di negara tersebut terlindungi atau mendapat perlindungan (proteksi) dari pemberlakuan kebijakan atau tindakan negara dalam mengatasi krisis tersebut khususnya yang bersifat diskriminatif dan harmful terhadap investasinya.
Mengapa Argentina?
Mengapa Argentina dijadikan contoh? Pelajaran apa yang bisa diambil dari pengalaman mereka? Setidaknya ada tiga alasan atau pelajaran utama (lessons learned) yang perlu dicatat. Indonesia dan banyak capital importing countries perlu belajar dari pengalaman Argentina yang tak ada duanya agar dapat mengambil banyak pelajaran berharga. Pertama, adanya Argentine Paradox yaitu fenomena unik sebagai negara yang dulu termasuk kelompok negara kaya yang kemudian mengalami kemerosotan ekonomi cukup parah. Tak banyak yang menyangka bila negara ini pernah menjadi sepuluh besar negara kaya pada tahun 1913 atau sekitar satu tahun sebelum meletus Perang Dunia Pertama. Jose Ignacio Garcia Hamilton dalam artikelnya yang berjudul “Historical Reflections on The Splendor and Decline or Argentina” mengutip A. Maizels dalam bukunya “Industrial Growth and World Trade” yang diterbitkan Cambridge University Press menyebut saat itu PDB perkapita negara tersebut mencapai US$ 470. Angka ini jauh melebihi beberapa negara Eropa seperti Perancis (US$ 400) dan Italia (US$ 225), bahkan lima kali lipat di atas Jepang (US$ 90). Terus terang saya dibuat geleng-geleng kepala dan nyaris tak percaya dengan fakta tersebut. Tentu saja kalau saat itu sudah ada Bank Dunia yang kemudian membagi kategori negara berdasar pendapatan menjadi empat yaitu berpendapatan rendah (low income, pendapatan perkapita <US$ 1.036), menengah bawah (lower middle income, pendapatan perkapita US$ 1.036-4.045), menengah atas (upper middle income, pendapatan perkapita US$4.046-12.535) dan tinggi (high income, pendapatan perkapita >US$ 12.535), maka pendapatan perkapita mereka saat itu tidak mengesankan.
ADVERTISEMENT
Juga tak mengherankan bila negara yang pernah dua kali menjuarai sepakbola piala dunia (World Cup) tersebut menjadi salah satu lumbung pangan dunia pada masa keemasannya. Perekonomian terbuka mereka memungkinkan beberapa jenis bahan pangan seperti gandum dan daging sapi menjadi komoditas ekspor andalan. Bahkan armada kapal laut mereka sudah memiliki lemari pendingin pada akhir abad 19 hingga mampu menyuplai daging beku ke Inggris, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Sebagai negara dengan luas wilayah terbesar kedelapan di dunia, keunggulan kompetitifnya memang terletak pada pertanian. Pampas, dataran rendah nan subur yang membentang luas hingga Brasil dan Uruguay menjadi ladang gembalaan ideal bagi ternak terutama sapi yang menghasilkan daging kualitas tinggi. Para penggembala yang terkenal dengan nama Gauchos, mirip cowboy di AS ini memang menggembalakan ternak sambil berkuda. Tak mengherankan bila negara asal pesepakbola top dunia Lionel Messi bahkan hingga kini menjadi satu dari lima negara eksportir daging sapi beku dunia.
ADVERTISEMENT
Kedua, Argentina adalah negara yang paling banyak digugat (respondent states) dalam kasus sengketa investasi atau dikenal dengan nama investor-state dispute settlement (ISDS). UNCTAD mencatat dalam kurun waktu tiga puluh satu tahun tepatnya sejak tahun 1987-2018, negara tersebut setidaknya menghadapi 60 kasus gugatan investasi atau berada di peringkat satu dunia. Sebagai perbandingan, Spanyol berada di peringkat kedua dengan jumlah gugatan sebanyak 49 kasus dan Venezuela di peringkat ketiga dengan 47 kasus. Sekitar 83% atau 50 kasus gugatan investasi terhadap Argentina dimaksud dilakukan pasca krisis ekonomi yang melanda negara terbesar kedua di Amerika Selatan sesudah Brasil tersebut pada tahun 2001/2002. Gugatan investasi oleh berbagai investor asing yang berinvestasi di Argentina tersebut didasarkan atas BIT yang ditandatanganinya bersama dengan negara mitra. Sebagai catatan tambahan, negara tersebut yang juga menjadi anggota G20 tersebut masih memiliki enam BIT yang belum berlaku dan enam BIT lainnya yang sudah diakhiri pemberlakuannya termasuk dengan Indonesia. Ada juga Bab Investasi (investment chapter) dalam perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) antara Argentina dan Chile dan sejumlah perjanjian lainnya yang mengandung ketentuan mengenai investasi (Treaties with Investment Provisions/TIPs).
ADVERTISEMENT
Ketiga, Argentina menjadi salah satu contoh klasik hubungan yang saling mempengaruhi dan sulit dipisahkan antara politik dan ekonomi. Puncak krisis ekonomi yang terjadi di Argentina pada tahun 2001/2002 tersebut diantaranya menjadi jalan bagi terjadinya pergantian lima presiden hanya dalam 10 hari atau 12 hari menurut sumber lain! Institusi ekonomi inklusif, meminjam istilah Daron Acemoglu dan James Robinson dalam bukunya yang menjadi best seller “Why Nations Fail”, akan membuat ekonomi tumbuh pesat namun tak bertahan lama bila diikuti oleh institusi politik ekstraktif. Dengan kata lain pembangunan institusi ekonomi dan politik inklusif secara bersama dan paralel akan menjadi faktor penentu kemakmuran suatu negara yang berkelanjutan. Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah dalam konteks negara yang pernah menjadi koloni Spanyol selama lebih dari tiga ratus tahun tersebut adalah perebutan kekuasaan alias kudeta sipil oleh militer. Sejarah mencatat terjadinya enam kali kudeta dan munculnya 14 diktator selama 25 tahun militer berkuasa. Tanpa peristiwa “Dirty War” atau yang disebut dengan “El Proceso” dalam bahasa Spanyol yang dimulai pada tahun 1976 dimana 30.000 warga sipil “menghilang” dan kekalahan Argentina di Perang Malvinas tahun 1982 (Pulau Falkland menurut versi Inggris) besar kemungkinan junta militer masih terus bertahan. Kembalinya demokrasi pada tahun 1983 melalui pemilihan umum memang menandakan kembalinya pemerintahan sipil dan berakhirnya era junta militer, namun proses peradilan terhadap ratusan personel militer yang terlibat kudeta membuat pemulihan ekonomi berjalan lambat.
ADVERTISEMENT
Awal Mula Gugatan Investasi
Bagaimana gugatan investasi itu bermula, berproses dan berbagai putusan (award) yang dikeluarkan akan cukup panjang untuk diceritakan secara lengkap, bahkan mungkin bisa jadi bahasan dalam satu buku tersendiri. Di sini, saya akan akan berusaha untuk meringkasnya dengan hanya menyajikan beberapa peristiwa kunci dan kejadian utama. Cerita dimulai dari seorang politisi karismatis bernama Carlos Saul Menem yang terpilih menjadi Presiden Argentina pada tahun 1989. Sosok ini menyebut dirinya sebagai seorang “Peronist” yang mengusung ideologi campuran antara nasionalisme, populisme dan pro-buruh dalam kampanye pencalonan presidennya. Tatkala mulai berkuasa, mengingat kondisi ekonomi yang terus merosot dan tingginya inflasi serta utang luar negeri yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya, Presiden Menem mulai mengambil berbagai kebijakan untuk mereformasi ekonomi Argentina. Praktek ekonomi merkantilis ditinjau kembali dan diganti dengan ekonomi terbuka. Penyederhanaan regulasi di bidang finansial segera dilakukan dan langkah privatisasi menyeluruh atas berbagai BUMN yang bergerak di bidang perkeretaapian, telepon, kelistrikan, pelabuhan, radio, televisi, bahan bakar, jalan dan industri militer.
ADVERTISEMENT
Langkah lanjutan yang dilakukan pemerintahannya sebagai bagian dari reformasi ekonomi adalah dengan dimulainya penandatanganan tiga BIT dengan Italia, Belgia-Luksemburg dan Inggris pada tahun 1990. Tahun berikutnya, tak kurang dari sembilan BIT ditandatangani dengan beberapa negara maju dari Eropa Barat dan Amerika Utara lainnya seperti dengan Jerman, Swis, Amerika Serikat, Kanada dan lainnya. Total hingga masa jabatan keduanya berakhir pada tahun 1999, pemerintahannya telah menandatangani 55 BIT termasuk dengan Indonesia. Langkah ini diambil guna memulihkan kepercayaan investor asing yang mengalami trauma saat pemerintahan sebelumnya melakukan serangkaian tindakan nasionalisasi terhadap berbagai perusahaan asing.
Tak lama kemudian, pemerintahannya menerbitkan Convertibility Law pada tanggal 1 April 1991 yang menetapkan nilai tukar resmi satu peso Argentina setara dengan satu dolar Amerika. Sepanjang tahun 1990-an, langkah reformasi yang dilakukan mulai nampak kelihatan hasilnya. Dukungan Bank Dunia dan IMF terhadap langkah reformasi yang dilakukan semakin memantapkan langkahnya. Ekonomi tumbuh rata-rata 6% per tahun. Tingkat inflasi kronis mulai terkendali dan stabil. Wajah Buenos Aires yang dijuluki “Paris dari Amerika Selatan” makin dipercantik menjadi ibukota yang makin menawan. Tindakan privatisasi pun dilakukan dengan melepas kepemilikan saham pemerintah pada beberapa BUMN di berbagai sektor tersebut di atas yang sebagian besar hasilnya kemudian digunakan untuk membayar utang luar negeri. Investor asing dari London, New York dan beberapa kota-kota besar dunia lainnya datang berkunjung silih berganti melakukan fact-finding investment mission. Pusat perbelanjaan, restoran, cafe dan tempat-tempat hiburan dipenuhi pengunjung. Saat pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF saat musim gugur tahun 1998 di Washington, Presiden Bill Clinton dan Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus sempat memuji dan memberi ucapan selamat kepada Presiden Menem atas langkah reformasi ekonomi yang dilakukannya. Sebagian kita mungkin masih ingat dengan Michel Camdessus. Tokoh inilah yang bersedekap menyilangkan kedua tangannya di dada dalam foto legendaris saat Presiden Soeharto membungkuk menandatangani Letter of Intent (LOI) berisi paket bantuan IMF senilai US$ 43 miliar kepada Indonesia pada pertengahan Januari 1998.
ADVERTISEMENT
Kita kembali ke lanjutan cerita mengenai langkah Presiden Menem mereformasi ekonomi Argentina. Hanya beberapa bulan sesudah pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF di Washington tersebut ekonomi Argentina mengalami pelemahan. Ekspor turun tajam, pendapatan pajak jeblok dan utang luar negeri melonjak tak terkendali. Di belahan dunia yang lain terjadi Asian Financial Crisis 1998 yang juga menghantam Rusia dan Brasil, negara tetangga Argentina. Singkat cerita, ekonomi negara tersebut mengalami pendarahan hebat. Saat periode keduanya berakhir pada 2001 dan Fernando de la Rua sebagai pimpinan oposisi menjadi orang nomor satu, kondisi perekonomian Argentina terus memburuk. Penarikan uang besar-besaran (rush) tak terhindarkan. Nilai tukar peso melorot drastis. Dalam satu bulan di musim panas tahun tersebut, sekitar US$ 5 milyar atau setara dengan tujuh persen total tabungan ditarik dari berbagai bank. Kepanikan terus melanda tak terbendung. Di penghujung November, hanya dalam beberapa hari dilakukan penarikan lanjutan sebesar US$ 3,6 milyar lebih. Pembatasan jumlah penarikan sebagai langkah darurat malah mengundang kemarahan warga. Gelombang protes makin tak terkendali dan mulai memakan korban jiwa. Presiden de la Rua pun mengundurkan diri.
Rekor Sejarah: 5 Presiden Dalam 12 Hari. Sumber: DPA
Hari-hari berjalan cepat. Pekan berikutnya, the National Congress, MPR-nya Argentina mengangkat Ramon Puerta sebagai presiden. Dilanjutkan dengan Adolfo Rodriguez Saa, kemudian Eduardo Camano. Rakyat yang marah menyerbu gedung Congress, merusak meja kursi, membakar tirai dan menjarah supermarket. Mirip dengan kerusuhan yang melanda Indonesia pasca aksi reformasi, saat itu aparat penegak keamanan nyaris tak berdaya. Kondisi yang mencekam membuat banyak orang tidur dengan senjata di balik bantal. Tak ada yang berani mendekati jendela yang kerap menjadi sasaran lemparan batu. Pada akhir bulan itu sekitar 30 orang korban kekerasan meninggal dunia, pendapatan perkapita turun 50%, angka pengangguran naik 20%, tingkat kemiskinan naik 50% dan demonstrasi yang sering berujung kekerasan menjadi pemandangan sehari-hari. Argentina berada di titik nadir. Banyak orang kuatir negara tersebut menjadi negara gagal. .
ADVERTISEMENT
Tak lama kemudian, berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah Argentina dalam menyelamatkan ekonomi dilakukan guna menghindari ‘pendarahan’ lebih lanjut. Paket Penyelamatan Ekonomi Darurat yang berbentuk pembekuan sementara aktivitas perbankan, penghentian kebijakan nilai tukar tetap, penjadwalan kembali utang luar negeri, penghentian hak penyesuaian tarif public utility dalam mata uang dolar, kewajiban agar semua kontrak dalam mata uang dolar dialihkan ke dalam peso dan pembatasan transfer dana ke luar negeri langsung diberlakukan. Sejumlah undang-undang pun diterbitkan diantaranya UU Gas tahun 1992 yang menjadi payung hukum bagi tindakan privatisasi gas industri, transportasi dan distribusi gas alam. Tak lama berselang, investor asing yang beroperasi di Argentina mulai merasakan serangkaian dampak negatif dan pukulan dari paket kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Beberapa Kasus Gugatan Investasi
Gugatan pertama didaftarkan pada lembaga arbitrase ICSID pada tanggal 26 Juli 2001 oleh CMS atau sering disebut dengan CMS v. Argentina. Menurut UU Gas, monopoli BUMN gas dibagi dalam beberapa perusahaan untuk diprivatisasi diantaranya adalah Transportadora de Gas del Norte (TGN). Pada Desember 1992, TGN mendapatkan izin untuk distribusi gas di Argentina. CMS Gas Argentina, adalah anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh CMS Transmission Company (CMS), sebuah perusahaan AS, membeli hampir sebesar 30% saham TGN. CMS menilai undang-undang gas, regulasi lainnya, dan izin-izin yang mereka miliki telah mengatur dengan jelas mengenai penetapan tarif jasa mereka dalam mata uang dolar untuk kemudian dikonversikan dalam peso dan disesuaikan tiap enam bulan menurut United States Producer Price Index (US-PPI). Singkat cerita, CMS menggugat Pemerintah Argentina dengan menggunakan BIT AS-Argentina yang ditandatangani pada tahun 1991 sebagai basis gugatan dengan meminta kompensasi kerugian senilai US$ 261 juta. Argentina dianggap melanggar kewajibannya untuk memberikan perlakuan adil dan setara (Fair and Equitable Treatment/FET), pengambilalihan secara tidak langsung (indirect expropriation) dan kewajiban lainnya kepada para investor asing termasuk CMS sebagai diatur dalam BIT dimaksud.
ADVERTISEMENT
Gugatan investasi kedua dilayangkan oleh LG&E (LG&E v. Argentina) dan diputus pada Oktober 2006. Kasus kedua ini banyak kemiripan dengan kasus pertama. BIT yang dijadikan basis gugatan pun sama yaitu AS-Argentina. Tuduhan atas pelanggaran kewajiban-kewajiban Argentina dalam perjanjian tersebut juga sama.
Bidang usaha yang dijalankan oleh perusahaan ini juga sama dengan jumlah kompensasi yang diminta sedikit lebih tinggi yaitu sebesar US$ 268. Kasus ketiga yaitu Enron v. Argentina diputus oleh majelis arbitrase pada pertengahan 2007 atau hanya berselang tujuh bulan dengan kasus kedua.
Kasus ini juga memiliki banyak kemiripan dengan dua kasus sebelumnya namun dengan jumlah gugatan yang jauh lebih besar yaitu US$ 582 juta. Kasus keempat, Sempra v. Argentina, diputus oleh majelis arbitrase ICSID empat bulan sesudahnya yang juga amat mirip dengan tiga kasus sebelumnya dengan jumlah klaim gugatan sebesar US$ 209 juta.
ADVERTISEMENT
Kasus kelima yang juga melibatkan investor AS yaitu Continental Casualty v. Argentina. Juga mirip dengan empat kasus sebelumnya namun dengan bidang usaha yang berbeda yaitu industri keuangan khususnya asuransi. Nilai gugatannya sebesar US$ 114 juta. Kasus keenam, BG v. Argentina diajukan oleh investor Inggris dengan basis gugatan BIT Inggris-Argentina yang ditandatangani tahun 1990.
Gugatan investasi perusahaan Inggris senilai US$ 228 juta di bidang distribusi gas alam ini diajukan dengan menggunakan aturan arbitrase yang berasal dari UNCITRAL. Kasus ketujuh juga melibatkan investor Inggris yaitu National Grid v. Argentina, sehingga BIT yang digunakan pun sama.
Gugatan senilai US$ 59 juta ini diajukan juga menggunakan aturan arbitrase UNCITRAL dengan bidang usaha di bidang kelistrikan. Analisis lebih lanjut mengenai ketujuh kasus di atas termasuk kasus-kasus lainnya akan dilanjutkan pada tulisan berikutnya, insyaAllah.
ADVERTISEMENT
Penutup
Pengalaman pahit Argentina pasca krisis berhadapan dengan 50 gugatan investasi menimbulkan banyak pertanyaan dan debat berkepanjangan dari berbagai pihak mengenai pentingnya upaya mereformasi PII.
Banyak negara terutama capital importing countries seperti Afrika Selatan dan India mulai melihat kembali dan mengevaluasi perjanjian investasi internasional mereka guna menyeimbangkan kewajiban perlindungan investor dan hak pemerintah untuk mengatur (governments’ right to regulate).
Kebijakan dan pendekatan baru pun mulai dilakukan termasuk oleh Indonesia ketika beberapa tahun lalu memutuskan untuk melakukan penghentian sekitar 25 BIT guna menghasilkan template baru/BIT model yang mengedepankan kepentingan nasional dan mencerminkan keseimbangan antara dua hal di atas.
Tiga negara Amerika Selatan yaitu Bolivia, Ekuador dan Venezuela bahkan menarik dari dari badan arbitrase ICSID. Bagi banyak negara berkembang termasuk Indonesia, memang koordinasi antara berbagai kementerian/lembaga baik di pusat dan daerah menjadi salah satu kata kunci.
ADVERTISEMENT
Pelibatan seluruh pemangku kepentingan atau yang dikenal dengan stakeholder engagement sebelum, selama dan sesudah perundingan harus terus didorong. Kebijakan dan langkah pemerintah Indonesia dalam mengatasi pandemi harus dipastikan agar tetap sejalan dengan berbagai kewajiban sebagaimana tercantum dalam berbagai PII dan komitmen mengikat lainnya.
Ini bukti bahwa kita sudah belajar banyak dari pengalaman pahit Argentina dan tidak jatuh di lubang yang sama. Semoga!
Pondok Gede, Bekasi, 12 Agustus 2020