Pemerintahan Baru Presiden Biden dan Potensi Gugatan Investasi

Cahyo Purnomo
Seorang pembelajar. Belajar menulis, menulis untuk belajar. Views are my own
Konten dari Pengguna
21 Januari 2021 13:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cahyo Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pendahuluan
Beberapa jam lalu dunia baru saja menyaksikan inaugurasi Joe Biden sebagai Presiden AS ke-46 menggantikan Donald Trump. Negara adikuasa tersebut memang setiap empat tahun sekali pada tanggal 20 Januari selalu menyelenggarakan inaugurasi usai pemilihan presiden. Pengamanan ekstra ketat yang dilakukan pihak keamanan negara Paman Sam tersebut memang dapat dimaklumi sebagai buntut atas penyerangan gedung Capitol. Penyerangan yang tak terduga tersebut memang tidak hanya memalukan tetapi juga dianggap oleh banyak kalangan sebagai tantangan terbesar bagi demokrasi. 
Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah langkah Presiden Trump beberapa jam terakhir menjelang pergantian presiden. Salah satunya yang kontroversial adalah pemberian 143 ampunan dan keringanan hukuman kepada selebriti, politisi, dan warga AS lainnya  termasuk beberapa orang dekatnya saat kampanye presiden seperti Roger Stone, Michael Flynn, Paul Manafort dan lain-lain. Sebenarnya ini bukan pertama kali dilakukan oleh Presiden Trump. Masih segar dalam ingatan banyak orang, menjelang natal lalu, dirinya telah memberikan 45 pengampunan dan keringanan hukuman termasuk kepada Charles Kushner, besan dan ayah dari menantu lelaki sekaligus penasihatnya, Jared Kushner. 
ADVERTISEMENT
Banyak hal menarik lainnya untuk diulas, namun tulisan ini akan lebih banyak membahas mengenai salah satu keputusan strategis yang diambil oleh Presiden Biden usai inaugurasi yaitu penandatanganan 17 executive orders dan keputusan lainnya yang terkait dengan pandemi, imigrasi, ekonomi, perubahan iklim dan lainnya. Terkait perubahan iklim, Presiden Biden telah menandatangani surat yang menyatakan kembalinya AS menjadi anggota Perjanjian Paris (The Paris Agreement) dan membatalkan sejumlah keputusan yang diambil oleh Presiden Trump di bidang perubahan iklim termasuk kelanjutan Proyek Keystone XL Pipeline.
Pembatalan mega proyek ini cukup menarik dan banyak diberitakan oleh berbagai media mainstream international dengan berbagai alasan. Pertama, proyek tersebut melibatkan dua negara yang bertetangga dan bersekutu dekat (AS dan Kanada). Kedua, nilai proyek yang amat besar, yaitu tidak kurang dari US$ 9 milyar atau sekitar Rp 126 Triliun. Ketiga, proyek tersebut punya sejarah panjang, pernah dihentikan oleh Presiden Obama karena alasan perubahan iklim namun disetujui oleh Presiden Trump empat hari sesudah inaugurasi dirinya sebagai presiden tahun 2016 lalu. Keempat, implikasi panjang yang ditimbulkan bila proyek tersebut disetujui atau ditolak. Implikasi hukum bila proyek ini ditolak oleh Presiden Biden yang akan menjadi bahasan dari tulisan ini. 
ADVERTISEMENT
Potensi Gugatan Investasi
Jason Kenney, Premier negara bagian Alberta Kanada langsung bereaksi keras ketika mendengar rencana pembatalan proyek tersebut. Dirinya bahkan sudah menyiapkan penasihat hukum karena yakin bahwa proyek tersebut masuk dalam cakupan Bab Investasi (Investment Chapter) pada Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North America Free Trade Agreement/NAFTA) dimana kedua negara tersebut bersama Meksiko menjadi tiga negara anggota. Dalam kicauannya kemarin (19/1) disebutkan bahwa dirinya sudah berbicara melalui sambungan telepon dengan PM Trudeau sambil menegaskan bahwa pemerintah federal Kanada harus melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk mengirimkan pesan kepada Presiden Biden bahwa pembatalan proyek tersebut akan mengganggu hubungan bilateral antara kedua negara. Permintaan ini memang wajar mengingat negara bagian Alberta telah menginvestasikan tidak kurang dari US$ 783 juta yang berasal dari pembayar pajak. Menteri Sumber Daya Alam Seamus O’Reagan tak ketinggalan dalam pernyataan resminya bahwa pihaknya akan terus mendorong penyelesaian proyek dimaksud. 
ADVERTISEMENT
Proyek Keystone Pipeline terdiri dari tahap I, II dan III yang masing-masing telah beroperasi menyalurkan minyak mentah melalui pipa yang melintasi perbatasan kedua negara. Tahap IV proyek ini yang dikenal dengan nama Keystone XL akan mengalirkan 830.000 barel minyak mentah dari Alberta, Kanada sepanjang 1.930 kilometer ke Nebraska, AS. TransCanada Corporation yang kemudian berganti nama menjadi TC Energy Corporation dan berkantor pusat di Calgary, Alberta, Kanada yang memelopori proyek tersebut pada tahun 2010 bermitra dengan pemerintah negara bagian Alberta. Pro kontra mengenai proyek tersebut sekaligus menjadi simbol perdebatan antara kelompok pro bahan bakar berbasis fosil dan kelompok kontra terjadinya perubahan iklim. Tahun 2016 lalu TransCanada memang pernah menggugat Pemerintahan Obama yang menolak izin pembangunan proyek tersebut ke International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Gugatan investasi ini senilai US$ 15 milyar tersebut dilakukan karena tindakan pemerintah AS yang menolak memberikan izin bagi proyek tersebut dianggap bertentangan dengan komitmen pemerintah AS sebagaimana tercantum pada NAFTA.
ADVERTISEMENT
Potensi gugatan milyaan dolar tersebut memang dimungkinkan dengan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa yang dikenal dengan nama Investor-State Dispute Settlement (ISDS) sebagai tercantum pada Bab Sebelas Investasi pada NAFTA. Dalam pemberitahuan arbitrasenya (notice of arbitration), perusahaan tersebut mengklaim bahwa tindakan AS tersebut telah melanggar pasal perlindungan investor dari pengambilalihan tidak langsung (Indirect Expropriation), pasal perlakuan nasional (National Treatment/NT) dan perlakuan yang sama (Most Favored Nation/MFN) dan pasal Minimum Standard of Treatment (MST). Secara paralel, TC Energy, nama baru perusahaan tersebut, mengajukan gugatan ke pengadilan federal AS dengan argumentasi bahwa tindakan penolakan tersebut merupakan tindakan inkonstsitusional mengingat hanya Kongres, bukan Presiden AS, yang memiliki kewenangan tersebut. Langkah Presiden Trump pada pekan pertama usai terpilih sebagai Presiden AS pada Januari 2017 yang menandatangani Executive Order yang kemudian meminta agar perusahaan tersebut mengajukan izin ulang untuk kemudian disetujui. TC Energy kemudian menyatakan membatalkan klaim gugatan dan melakukan settlement dengan menggunakan produk-produk baja AS pada proyek tersebut.
ADVERTISEMENT
Penutup
Presiden Trump memang sudah mengganti NAFTA dengan The United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA) dan ketiga negara Amerika Utara tersebut telah menyelesaikan proses ratifikasi perjanjian tersebut. Bahkan perjanjian yang juga sering disebut sebagai New NAFTA atau NAFTA 2.0 telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 2020. Salah satu perubahan penting pada perjanjian tersebut adalah penyempitan cakupan mekanisme ISDS khususnya antara investor Kanada dan AS. Pengaturan ISDS masih dimungkinkan antara investor AS dan Meksiko, namun dengan syarat ketat.
Tidak kurang dari 61 kasus gugatan investasi telah dilakukan berdasarkan NAFTA, dimana mayoritas kasus dilakukan oleh investor AS. Investor Paman Sam tersebut menggugat pemerintah Kanada sebanyak 26 kali dan menggugat pemerintah Meksiko sebanyak 17 kali. Ada 16 kasus dimana pemerintah AS digugat yaitu 15 kasus oleh investor Kanada dan satu kasus gugatan oleh investor Meksiko. Sejauh ini memang pemerintah AS tidak pernah kalah dalam kasus gugatan investasi di arbitrase internasional. Akan menjadi menarik apakah TC Energy akan menggugat pemerintah AS untuk yang kedua kalinya. USMCA hanya melindungi investor Kanada yang telah berinvestasi di AS dan sebaliknya. Ketentuan ini hanya dibatasi selama tiga tahun atau dengan kata lain akan hangus pada Juli 2023. Bila benar menggugat, apakah TC Energy akhirnya akan menang dan membuat rekor kemenangan pemerintah AS pada arbitrase internasional akan ternoda atau akan terjadi settlement untuk kedua kalinya? Time will tell!
ADVERTISEMENT
Gatot Subroto, Jakarta, 21 Januari 2020