Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Potensi Gugatan Investasi Pasca Pandemi COVID-19
8 Juli 2020 10:01 WIB
Tulisan dari Cahyo Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Saat wawancara dengan Ustadz Abdul Somad (UAS) dalam channel YouTubenya pertengahan Juni lalu, Hotman Paris Hutapea, pengacara top Indonesia menyatakan bahwa pandemi COVID-19 akan menghasilkan banyak gugatan hukum. Sama seperti saat krisis tahun 1997/1998, pengacara yang bergelar ‘Raja Pailit’ ini yakin bahwa dirinya akan banyak menangani alias panen kasus. Sekitar dua pekan lalu, saya menyimak webinar gratis dari salah satu firma hukum nasional yang berafiliasi dengan firma hukum top asal Inggris yang secara tidak langsung mengirim pesan yang sama sambil menekankan pentingnya pemilihan forum penyelesaian sengketa yang tepat baik di dalam maupun luar negeri. Pandemi ini diduga kuat akan mengakibatkan banyak kewajiban salah satu pihak dalam perjanjian bisnis yang sulit dilaksanakan alias terjadi wanprestasi. Pihak yang dirugikan sebagaimana diatur dalam perjanjian atau kontrak tentu punya pilihan apakah sengketa tersebut akan diselesaikan melalui jalur litigasi (pengadilan) atau non-litigasi. Dalam konteks sengketa investasi antara investor asing dan pemerintah (Investor-State Dispute Settlement/ISDS), beberapa firma hukum internasional telah memprediksi munculnya gelombang gugatan investasi pasca pandemi. Peringatan senada juga disuarakan oleh Badan PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) dalam publikasi resminya yang berjudul “Investment Policy Responses to the COVID-19 Pandemic” yang dirilis bulan Mei lalu dan International Institute for Sustainable Development (IISD), sebuah lembaga think tank independen yang bermarkas di Kanada yang telah memenangkan sejumlah penghargaan, dalam publikasinya yang berjudul "Protecting Against Investor-State Claims Amids COVID-19: A call to action for governments".
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia untuk mengatasi pandemi ini memang nyaris seragam. Berbagai kebijakan dan tindakan (measures) guna mencegah penyebaran virus corona dikeluarkan seperti pembatasan pergerakan orang, penutupan batas wilayah, lock-downs, termasuk mengumumkan negara dalam keadaan bahaya (states of emergency) dan lainnya. Tindakan berikutnya terkait dengan penguatan fasilitas kesehatan publik sebagaimana dilakukan Spanyol dengan melakukan nasionalisasi rumah sakit dan sebagian negara lainnya yang memberlakukan compulsory licenses untuk memproduksi obat-obatan. Memastikan kecukupan dan ketersediaan pangan dan alat kesehatan diantaranya dengan melakukan larangan ekspor barang-barang tersebut guna pemenuhan kebutuhan dalam negeri juga dilakukan banyak negara. Tindakan terakhir yang dilakukan adalah untuk mengatasi dampak ekonomi pandemi misalnya pemberian stimulus fiskal, penundaan pembayaran hutang/cicilan dan pembatasan masuknya PMA pada sektor-sektor prioritas tertentu (FDI screening mechanism).
ADVERTISEMENT
Berbagai kebijakan tersebut ibarat pedang bermata dua. Diakui cukup efektif mengatasi pandemi sambil menunggu ditemukannya vaksin, namun langkah ini memiliki efek samping. Bandara, pusat perbelanjaan, hotel dan pabrik jadi sepi dari pergerakan manusia dan terutama aktivitas ekonomi. Berbagai perusahaan baik BUMN atau swasta nasional/asing mencoba bertahan dengan beragam cara: mencutikan karyawan tanpa gaji (unpaid leave), memotong gaji, merumahkan sebagian karyawan dan langkah penyelamatan lainnya.
Tindakan Pemerintah Italia Mengatasi Pandemi
Apa efek samping tak dikehendaki dari berbagai tindakan tersebut? Mari kita ambil contoh Italia. Apakah tindakan pemerintah Italia dan pemerintah negara-negara lain dalam mengatasi pandemi tersebut sejalan dengan kewajiban mereka sebagaimana diatur dalam perjanjian investasi yang mereka tanda tangani? Tindakan pemerintah Italia menerbitkan Law Decree Nomor 18 tanggal 17 Maret 2020 untuk penguatan sektor kesehatan dan mitigasi risiko pandemi tersebut termasuk kewajiban menutup kegiatan industri dan komersial (lock-down) selain kegiatan-kegiatan strategis dapat berujung pada gugatan investasi. Massimo Benedettelli dan koleganya di firma hukum ArbLit memberi jawaban hipotetik sekaligus menarik atas pertanyaan ini. Dalam artikel berjudul “Could COVID-19 emergency measures give rise to investment claims? First reflections from Italy”, mereka menilai investor asing yang dirugikan dapat menuduh pemerintah Italia telah melanggar berbagai kewajibannya sebagaimana diatur dalam 70 perjanjian investasi yang ditandatanganinya. Salah satu kewajiban pemerintah Italia yang dilanggar adalah terutama yang terkait dengan ketentuan mengenai perlakuan adil dan setara (fair and equitable treatment) dan perlindungan penuh dan keamanan (full protection and security). Pelanggaran terhadap ketentuan ini paling banyak dijadikan sebagai basis gugatan oleh investor asing melalui mekanisme ISDS yang tercantum di berbagai perjanjian investasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Italia hanyalah satu dari sekian banyak negara yang tindakan pemerintahnya dapat berpotensi menuai gugatan investasi. Tindakan Pemerintah Spanyol mengatasi pandemi dengan menasionalisasi seluruh rumah sakit yang ada termasuk rumah sakit swasta milik investor asing juga berpotensi digugat. Investor asing dapat menuduh pemerintah Spanyol telah melakukan pengambilalihan tidak langsung (indirect expropriation) sebagaimana diatur dalam bab mengenai ekspropriasi. Tentu saja ini baru dimungkinkan apabila memenuhi beberapa syarat ketat yaitu pengambilalihan tersebut dilakukan secara memaksa dan penguasaan rumah sakit tersebut tidak dikembalikan ke investor pasca pandemi atau terjadi kerugian permanen terhadap investasi tersebut. Akankan tindakan Pemerintah Spanyol ini akan menambah jumlah gugatan investor asing terhadap negeri Matador ini? Menarik untuk dicatat bahwa Spanyol adalah negara di Uni Eropa yang paling banyak digugat di arbitrase internasional (sebagai termohon/respondent) dengan jumlah kasus sebanyak 52 meski pada sisi lain investor negara tersebut menjadi pemohon (claimant) bagi 57 kali klaim gugatan investasi.
ADVERTISEMENT
Munculnya Gugatan Investasi Pasca Krisis
Fakta menunjukkan beberapa krisis yang terjadi di berbagai belahan dunia memang kerap diikuti dengan naiknya gugatan investasi. Krisis ekonomi Argentina tahun 2001 membuat ekonomi negara tersebut nyaris runtuh ditandai dengan penurunan pendapatan per kapita secara drastis (50%), separuh penduduk mendadak jatuh miskin, demonstrasi menjadi pemandangan sehari-hari dengan belasan korban jiwa dan pergantian lima presiden dalam sepuluh hari. Berbagai tindakan penyelamatan oleh pemerintah Argentina berupa nasionalisasi aset, devaluasi pesos dan restrukturisasi surat hutang berujung pada lebih dari 50 kasus gugatan investasi dengan jumlah klaim yang harus dibayar lebih senilai milyaran dolar. Hal yang sama juga terjadi pasca Arab Spring tahun 2011-2012. Demonstrasi besar-besaran diikuti perubahan politik fundamental beserta kerusuhan sosial yang terjadi diantaranya membuat suplai gas domestik di Mesir turun drastis dan dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas dalam negeri. Keputusan Pemerintah Mesir yang memprioritaskan pemenuhan kebutuhan gas dalam negeri dengan menghentikan penjualan gas kepada pembangkit listrik yang dimiliki investor Spanyol berujung gugatan investasi dengan nilai kompensasi fantastis sebesar dua milyar dolar. Penghentian penjualan gas tersebut akhirnya memang melumpuhkan proyek pembangkit listrik tersebut. Masih ada 16 kasus sengketa investasi lainnya yang dihadapi Mesir pasca Arab Spring termasuk satu kasus yang mungkin melibatkan perusahaan Indonesia yang berinvestasi di Mesir melalui negara ketiga. Negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara lainnya seperti Suriah, Lebanon, Tunisia dan Libya juga menghadapi situasi serupa namun dengan jumlah kasus yang lebih sedikit.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri punya pengalaman pahit setidaknya harus menghadapi dua gugatan investasi pasca krisis finansial global pada tahun 2007-2008. Tindakan pemerintah menalangi (bail out) Bank Century di dalam negeri berujung pada penggunaan Hak Angket DPR, kasus Cicak-Buaya jilid 1 termasuk empat proses pengadilan atas Robert Tantular sebagai pendiri bank tersebut. Dua pemegang saham asing bank yang kemudian berganti nama menjadi Bank Mutiara yaitu Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Rizfi yang menjadi buronan kepolisian kemudian mengajukan gugatan investasi ke arbitrase internasional secara terpisah. Meski akhirnya Indonesia memenangkan kedua kasus tersebut, jelas bahwa kemungkinan munculnya sengketa investasi lain ke depan pasca Pandemi COVID-19 bukanlah merupakan kekhawatiran yang berlebihan.
Dalam bukunya yang banyak menuai pujian, “Shadow Courts: the Tribunals that Rule Global Trade”, Haley Sweetland Edwards mengemukan satu fakta menarik. Barry Appleton sang pendiri firma hukum Appleton & Associates menjanjikan stafnya yang berhasil mendapatkan satu kasus sengketa investasi dengan bonus pertama senilai $500. Bonus kedua dengan nilai yang sama akan dihadiahkan bagi siapa saja diantara stafnya yang berhasil buat janji pertemuan dan jumlah yang sama berikutnya bagi yang berhasil menggaet satu klien. Di sisi lain menarik untuk dicatat bahwa pandemi ini, sebagai sebuah ancaman terbesar terhadap kemanusian sejak perang dunia kedua, telah mendorong lebih dari 657 organisasi sipil dari berbagai negara telah membuat surat terbuka kepada pemerintah di berbagai negara untuk mencegah gugatan investasi di tengah-tengah pandemi. Seruan moratorium yang sama juga dilakukan oleh Center for Sustainable Development, Columbia University, dalam rilisnya yang berjudul "Call for ISDS Moratorium During COVID-19 Crisis and Response". Belum lagi adanya pihak ketiga yang menangguk di air keruh dengan menjadi penyandang dana (third party funding) bagi investor asing yang akan mengajukan gugatan investasi ke arbitrase internasional.
ADVERTISEMENT
Penutup
Berbagai langkah penyelamatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh berbagai negara dalam mengatasi dampak pandemi berpotensi dipersoalkan oleh para pelaku usaha khususnya investor asing. Investor asing yang memiliki keistimewaan sebagaimana diatur dalam perjanjian investasi internasional boleh jadi akan membawa sengketa investasi ke arbitrase internasional apabila berbagai langkah yang dilakukan pemerintah suatu negara mengakibatkan investasi mereka mengalami gangguan serius atau kerusakan/kerugian permanen. Negara-negara maju yang memiliki sumber daya memadai tentu lebih siap menghadapi sengketa investasi. Adapun negara-negara berkembang seperti Indonesia akan lebih rentan mengingat keterbatasan sumber daya. Meski terlalu dini untuk menyimpulkan ada tidaknya potensi gugatan investasi yang kemungkinan dihadapi Indonesia, langkah pencegahan selalu lebih baik dari pengobatan. Langkah invesment aftercare dan fasilitasi investasi sebagai bagian dari mekanisme peringatan dini perlu terus didorong agar semua kegiatan investasi yang ada dapat bertahan menghadapi pandemi. Satu langkah kecil yang perlu dilakukan adalah membuka saluran komunikasi selebar mungkin agar segala kesulitan dan keluhan yang dihadapi investor dapat sedini mungkin didengar untuk dicarikan solusinya. Semoga!
ADVERTISEMENT
Pondok Gede, Bekasi, 8 Juli 2020