Rasa Malu 'Berpakaian' Idulfitri

caknundotcom
Dekonstruksi pemahaman nilai, pola komunikasi, pendidikan cara berpikir serta pengupayaan solusi masalah masyarakat.
Konten dari Pengguna
12 Juni 2019 10:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari caknundotcom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi baju Lebaran. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi baju Lebaran. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Idulfitri hampir 100 persen merupakan konsep dan keputusan kemurahan Allah atas ketidakberdayaan umat manusia hamba sahaya-Nya di hadapan ide dan formula Idulfitri.
ADVERTISEMENT
Allah SWT sangat menghormati dan memuliakan manusia ‘ahsanu taqwim’-Nya dengan memberi mereka legitimasi dengan semacam sertifikasi tahunan “Telah Kembali Sejati”—suatu tahap kualitas rohaniah yang sebenarnya amat sangat jarang dicapai oleh kebanyakan manusia.
Karena Allah Maha Rahman dan Maha Rahim, Maha Pecinta Yang Maha Menyayangi makhluk manusia yang diunggulkan-Nya, maka dikenakan pada mereka pakaian mewah Idulfitri. Allah amat sangat merayakan cinta-Nya kepada manusia, selalu menghiburnya, sangat bersabar dan mengalah, amat arif bijaksana dan Maha Memaklumi sampai batas waktu tertentu.
Padahal sejatinya kalau menyaksikan, mendalami, meluasi, menghayati, dan menilai sekian abad kehidupan umat manusia sejak Baginda Nabi Adam kakek moyang cikal bakal mereka—sangatlah banyak ketidakpantasan pada manusia untuk dikostumi kemewahan Idulfitri.
Premis dasar pernyataan ini adalah fakta ketidaktahudirian manusia yang sangat melewati batas terhadap peran dan jasa-jasa Allah SWT kepada mereka—hampir di semua era dan kurun sejarah mereka.
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan horizontal di antara sesama manusia sendiri peta salah-benar dan baik-buruk di antara mereka belum pernah sungguh-sungguh ter-cover secara ilmu oleh peradaban manusia. Apalagi oleh aplikasi kebudayaan dan pengejawantahan peradabannya.
Masa keemasan kecerdasan dan cahaya peradaban masyarakat manusia pernah berlangsung di bawah kepemimpinan Raja Agung Bijaksana Sulaiman Alaihis Salam, yang oleh Allah SWT sendiri usia beliau dibatasi hanya 62 tahun. Kemudian tak sampai dua dekade Masyarakat Madinah puncak akal budi kemanusiaan dicapai di penghujung usia Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang juga hanya 63 tahun.
Terlebih lagi ketika pola hubungan struktural dan sistemik dalam kehidupan umat manusia—yang mayoritas penduduk bumi tidak sanggup mengidentifikasi dan menghitungnya—mustahil mereka memenuhi kriteria Idulfitri.
Ilustrasi lebaran Foto: Shutterstock
Khalifah Umar bin Khattab membentur-benturkan kepalanya di tembok karena merasa bersalah sebagai pemimpin karena seekor unta terpeleset di jalanan yang merupakan tanggung jawab kepemimpinannya dan itu mencerminkan kegagalan pembangunannya. Di kurun sejarah lain ketika Idulfitri, sang pemimpin malah “open house” duduk manis menunggu rakyatnya berdatangan untuk minta maaf kepadanya.
ADVERTISEMENT
Para aktivis universitas-universitas ilmu, akhlak, budaya, dan peradaban manusia di abad 21 ini silakan berseminar sepanjang-panjangnya untuk membuktikan bahwa kehidupan umat manusia abad ini bukanlah kurun peradaban paling nadir, paling busuk, paling rendah, dan paling berjarak terjauh dari rapor Idulfitri.
Abad 21 bukan Abad kekufuran. Umat manusia sangat berhias diri dengan simbol-simbol ketuhanan, demi memunafiki Allah SWT dan dirinya sendiri. Abad 21 peradaban manusia adalah abad kemunafikan dan kemusyrikan.
Manusia abad 21 bergelimang materialisme agama, berlepotan lambang-lambang hampa religiusitas, slogan-slogan kosong peribadatan, serta berkilau-kilau dengan tipu daya jasadiyah kepada Allah SWT, sekaligus penipuan besar-besaran kepada diri manusia sendiri.
(Emha Ainun Nadjib)