Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tanah Liat Tiga Gunung
1 Maret 2018 8:19 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari caknundotcom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Perbincangan mereka terpotong juga oleh perkembangan di telaga kaca.
ADVERTISEMENT
Semua yang melingkar itu mengakhiri lantunan-lantunannya, kemudian diam, senyap. Tiga orang berdiri. Satu di tengah, dia agak di belakangnya, sebelah kanan dan kiri. Mereka berjalan ke tengah telaga kaca. Berhenti tepat di tengah-tengahnya. Mereka bertiga menghadapkan wajahnya ke atas, dengan tangan yang juga diangkat naik. Kemudian yang di tengah bersuara.
Ternyata mengaji. Dengan cara atau bentuk, yang kalau di dunia manusia: merupakan campuran antara Qiro`ah, Murottal dan Deklamasi. Haha, semacam Deklangaji.
Tarmihim, Sundusin, dan Brakodin seperti runtuh dadanya. Subhanallah walhamdulillah wa lailaha illallahu Allahu Akbar: yang mengaji itu adalah Markesot. Badan mereka bertiga seperti demam tinggi dan berat. Jiwa mereka seperti disapu oleh badai.
“Menurut kamu, ia atau bukan?”, Sundusin berbisik ke Brakodin.
ADVERTISEMENT
“Ia atau bukan apanya…”, Brakodin tidak paham.
“Coba dengarkan baik-baik”, Tarmihim menyahut, “yang mengaji itu suaranya Cak Sot atau bukan…”
Sundusin tersenyum. “Cak Sot tidak dikenal oleh siapapun sebagai Qari` atau pelantun Al-Qur`an”, katanya, “tapi selama di Patangpuluhan saya diam-diam sering sengaja mendengarkan Cak Sot pas nderes mengaji di kamarnya. Tidak keras, hanya rengeng-rengeng, tapi jelas saya bisa mendengarkannya”
Sesuatu bergolak di dada Tarmihim. Sejak lama diam-diam ia mempelajari peta ke mana kira-kira Markesot menghilang. Dengan mengaji itu seakan-akan muncul cicilan jawaban atas pertanyaannya.
Dan kalau saatnya tiba dan dirasakan tepat, ia akan mengajak rekan-rekannya untuk menyusuri dan menggerebek Markesot di hutan persembunyiannya. Tak apa kalau para Junit, Jitul, Seger, Toling, dan siapapun ikut bersama mereka. Baguslah kalau cucu-cucu itu bisa berjumpa wajah, berwawancara dan bercengkerama dengan Mbah mereka.
ADVERTISEMENT
Mungkin karena persambungan batin, Seger dihinggapi perasaan yang sama. “Mohon izin”, katanya suatu saat, “apapun yang Pakde rencanakan saya diperkenankan untuk ikut mengalaminya. Saya mencatat semua yang kita alami dan bicarakan. Tidak saya lewatkan setiap tahap, sisi, sudut, dan detail apapun. Saya tidak tahu apakah kerajinan saya mencatat ini ada gunanya di dunia dan ada manfaatnya di akhirat. Yang penting saya tidak boleh tidak mencatat. Saya selalu merasa kurang bersyukur kepada Tuhan kalau tidak mencatat. Ilmu dan pengetahuan berseliweran, hikmah dan rezeki pikiran serta rohani bertaburan dianugerahkan oleh Tuhan”
“Bagus, Seger”, Pakde Tarmihim merespons.
“Kesanggupan saya pasti amat kecil untuk melaksanakannya dalam kehidupan saya, tetapi saya sudah mencatat untuk mensyukurinya. Mbah Markesot adalah mata air ilmu dan saya akan bikin Kendi untuk menadahinya, meskipun untuk itu diperlukan tanah liat tiga gunung”
ADVERTISEMENT
Pakde Sundusin meresponsnya juga. “Luqman berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada suatu perbuatan seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkan balasan atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.
Yogya, 1 Maret 2018