Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Februari 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Alter Ego Perusahaan Superholding
3 Maret 2025 11:54 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ruslan Effendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pembentukan superholding BUMN melalui UU Nomor 1 Tahun 2025 membawa dampak besar terhadap tata kelola dan risiko hukum BUMN di Indonesia. Dalam konteks hukum internasional, ketentuan dalam undang-undang ini membuka kemungkinan penerapan doktrin alter ego, yang dapat mengancam kedaulatan ekonomi nasional dan meningkatkan risiko klaim terhadap aset BUMN di luar negeri. Studi kasus Citgo-PDVSA-Venezuela menunjukkan bagaimana alter ego dapat digunakan oleh kreditur untuk menembus tabir hukum BUMN yang dianggap sebagai perpanjangan tangan negara.
ADVERTISEMENT
2. Doktrin Alter Ego dalam Hukum Korporasi
Kasus Citgo berawal dari kebijakan ekspropriasi yang dilakukan oleh pemerintah Venezuela terhadap aset-aset perusahaan asing, termasuk perusahaan pertambangan dan energi, yang memicu gugatan hukum oleh para kreditor. Salah satu kreditur utama, Crystallex, mengajukan klaim atas kompensasi setelah pemerintah Venezuela menyita tambang emasnya tanpa kompensasi yang memadai. Pengadilan di AS kemudian mengabulkan tuntutan kreditur, termasuk ConocoPhillips, yang juga mengalami kerugian akibat tindakan serupa. Sebagai bagian dari upaya menegakkan keputusan pengadilan, aset Citgo—anak perusahaan milik negara Venezuela—menjadi target penyitaan untuk membayar utang yang dituntut oleh para kreditur. Proses hukum yang berlarut-larut akhirnya mengarah pada pelelangan saham perusahaan induk Citgo, yang disetujui oleh pengadilan AS sebagai cara untuk melunasi kewajiban finansial Venezuela. Setelah beberapa putaran lelang dengan berbagai penyesuaian aturan, pengadilan di Delaware mengesahkan persyaratan baru pada awal 2025 untuk memastikan proses yang lebih transparan dan kompetitif, dengan harapan dapat memberikan nilai yang lebih tinggi bagi para kreditur
ADVERTISEMENT
Doktrin alter ego adalah prinsip hukum yang memungkinkan pengadilan untuk mengabaikan pemisahan hukum antara suatu badan usaha dan pemiliknya jika ditemukan bahwa entitas tersebut hanya berfungsi sebagai perpanjangan dari pemiliknya.
Menurut thelawdictionary.org
A document that holds stockholders and directors responsible for loss. This is used when the company is a front. It is not the independent entity imagined by corporate law.
Sebuah dokumen yang menetapkan pemegang saham dan direktur sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kerugian. Ini digunakan ketika sebuah perusahaan hanya sebagai kedok (front). Dalam kasus ini, perusahaan tidak dianggap sebagai entitas yang independen sebagaimana yang dibayangkan dalam hukum perusahaan.
Menurut Merriam-WebsterLaw Dictionary
The concept of a legal alter ego is used primarily to hold the controlling parties of a corporation personally liable instead of limiting liability to the corporate entity.
ADVERTISEMENT
Konsep alter ego hukum digunakan terutama untuk menahan pihak pengendali suatu korporasi agar bertanggung jawab secara pribadi alih-alih membatasi tanggung jawab pada entitas korporasi.
Jika pengadilan memutuskan bahwa suatu BUMN adalah alter ego negara, asetnya dapat disita atau digunakan untuk membayar utang negara, sebagaimana terjadi pada kasus PDVSA di AS.
3. Implikasi UU Nomor 1 Tahun 2025 terhadap Risiko Alter Ego
Berdasarkan UU ini, terdapat beberapa ketentuan yang berpotensi memperkuat keterkaitan BUMN dengan negara, sehingga dapat meningkatkan risiko piercing the corporate veil:
a) Dominasi Negara dalam Pengelolaan BUMN
Pasal 3A ayat (1) dan (2), Presiden memegang kekuasaan atas pengelolaan BUMN sebagai bagian dari pemerintahan negara, termasuk atas kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara pada Pasal 3C ayat (1) dan (2). Menteri BUMN dan Badan Pengelola Investasi diberikan kewenangan luas dalam mengatur kebijakan BUMN, termasuk restrukturisasi dan pengelolaan investasi. Kemudian, Pasal 3E ayat (4): Badan Pengelola Investasi bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang mengindikasikan kontrol kuat dari pemerintah atas BUMN.
ADVERTISEMENT
b) Risiko Penyitaan Aset BUMN oleh Kreditor Internasional
Pasal 3J ayat (2) menyatakan bahwa aset Badan Pengelola Investasi tidak dapat disita jika tidak dijaminkan. Namun, tidak ada perlindungan eksplisit untuk aset BUMN di luar negeri, yang membuka peluang bagi kreditur untuk mengajukan klaim terhadap aset tersebut.
c) Kurangnya Akuntabilitas dalam Pengelolaan BUMN
Pasal 3Y memberikan kekebalan hukum kepada Menteri dan pengurus BUMN dari pertanggungjawaban atas kerugian jika dapat membuktikan bahwa mereka bertindak dengan iktikad baik. Meskipun prinsip ini sejalan dengan business judgement rule, ketentuan tersebut berpotensi melemahkan akuntabilitas dan tata kelola jika tidak disertai mekanisme pengawasan yang ketat. Dalam konteks internasional, kelemahan akuntabilitas ini dapat memperkuat argumen bahwa BUMN bukan entitas independen, melainkan perpanjangan tangan negara (alter ego), sehingga meningkatkan risiko hukum terhadap aset BUMN di luar negeri.
ADVERTISEMENT
4. Dampak Internasional dan Potensi Gugatan terhadap Indonesia
Dengan ketentuan yang memberikan kontrol besar kepada negara atas BUMN, ada risiko bahwa pengadilan internasional dapat menetapkan bahwa BUMN Indonesia adalah alter ego dari pemerintah. Hal ini dapat terjadi jika:
a) Pemerintah secara langsung mengendalikan keputusan bisnis BUMN.
b) BUMN terlibat dalam kebijakan negara, termasuk proyek infrastruktur strategis atau utang negara.
c) Aset BUMN digunakan sebagai jaminan dalam kontrak internasional.
Jika terjadi sengketa internasional, pengadilan luar negeri dapat menggunakan doktrin alter ego untuk menyita aset BUMN di luar negeri sebagai pembayaran utang negara, sebagaimana yang terjadi dalam kasus PDVSA-Venezuela di AS.
5. Solusi dan Mitigasi Risiko
Untuk mengurangi risiko hukum dan ekonomi akibat penerapan UU Nomor 1 Tahun 2025, pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah berikut:
ADVERTISEMENT
a) Memperjelas Pemisahan antara Negara dan BUMN. Undang-undang harus menegaskan bahwa BUMN adalah entitas independen dalam operasional dan keuangan, serta membatasi keterlibatan langsung pemerintah dalam keputusan bisnis.
b) Perlindungan Aset BUMN di Luar Negeri. Pasal 3J ayat (2) harus diperluas untuk mencakup aset BUMN di luar negeri, sehingga tidak dapat dijadikan jaminan atau disita tanpa persetujuan khusus.
c) Meningkatkan Akuntabilitas Tata Kelola BUMN. Pasal 3Y perlu direvisi untuk menambahkan standar akuntabilitas yang lebih ketat, termasuk tanggung jawab individu dalam kasus penyalahgunaan wewenang.
Tanpa perbaikan dalam regulasi ini, Indonesia menghadapi risiko tinggi dalam sengketa hukum internasional yang melibatkan aset BUMN, terutama di negara-negara dengan sistem hukum yang mengadopsi piercing the corporate veil. UU Nomor 1 Tahun 2025 memberikan kontrol yang kuat kepada pemerintah atas BUMN, tetapi kurang memberikan batasan hukum yang tegas untuk memastikan bahwa BUMN tidak dianggap sebagai alter ego pemerintah. Jika tidak ada revisi atau mitigasi, Indonesia berisiko mengalami gugatan hukum di luar negeri, yang dapat mengancam stabilitas ekonomi dan aset BUMN di kancah internasional.
ADVERTISEMENT