Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Fitnah Sejarah terhadap Tokoh Sufi Syekh Siti Jenar
25 Maret 2021 20:07 WIB
Tulisan dari Muhammad Yasir (Cak Yasir) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Syekh Siti Jenar merupakan sosok yang menjadi kontoversi karena pemikirannya yang dianggap menyesatkan umat oleh para wali penyebar agama Islam di Nusantara pada zaman itu. Dalam banyak referensi nama dari Syekh Siti Jenar banyak sekali julukannya yaitu sampai 16 julukan yang melekat pada tokoh sufi ini. Makna dari nama Siti Jenar sendiri adalah tanah merah dan nama asli Syekh Siti Jenar yaitu Sayyid Hasan ‘Ali al-Husaini yang nantinnya pada saat dewasa bernama Sayyid Abdul Jalil , beliau juga dikenal sebagai Sunan Jepara, Syekh Lemah Abang, Syekh Sitibrit, Hasan Ali, dan Siti Jenar.
ADVERTISEMENT
Syekh Siti Jenar lahir di Persia (Iran) pada tahun 1404 M. beliau masih dipercaya keturunan Nabi Muhammad Saw. dari keturunan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Sejak kecil Syekh Siti Jenar berguru kepada ayahnya yaitu Sayyid Shalih di bidang Al-Qur’an dan tafsirnya, pada usia 12 tahun ia sudah hafal Al-Qur’an dan pada usia 17 tahun dia bersama ayahnya berdagang dan berdakwah di Malaka, kemudian ayahnya diangkat sebagai mufti oleh kesultanan Malaka di bawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah.
Pada tahun 1424 M. terjadi perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah sekaligus pergantian mufti baru kepada Syekh Samsudin Ahmad, lalu pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih bersama anak dan istrinya pindah ke Cirebon dan bertemu dengan sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad yang mempunyai kedudukan sebagai mursyid thariqah dari sanad Utsman bin Affan sekaligus penasehat agama Islam kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi mengajarkan ilmu makrifatullah kepada Syekh Siti Jenar yang usianya pada saat itu sekitar 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah ada empat orang yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq untuk wilayah Jawa Timur, Jawa tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi dari sanad Sayyidina Umar bin Khattab untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Utsman bin Affan untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatra, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilal, dari sanad Sayyidina Ali bin Abi Thalib untuk wilayah Makkah, Persia, Iraq, Pakistan, India, dan Yaman.
Kitab yang dipelajari Syekh Siti jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah kitab Fushulul Hikam karya Ibnu Arabi, kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jili, Ihya al-Ulumuddin karya al-Ghazali dan banyak lainnya. Sedangkan dalam ilmu fiqih Islam, Syekh Siti Jenar belajar kepada Sunan Ampel selama 8 tahun dan belajar ushuluddin kepada Sunan Gunung Djati selama 2 tahun. Setelah wafatnya guru Syekh Siti Jenar yaitu Sayyid Kahfi, Syekh Siti Jenar menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah sanad dari Utsman bin Affan dengan banyak murid yang belajar kepadanya.
ADVERTISEMENT
Kesalahan sejarah yang menjadi fitnah bagi Syekh Siti Jenar adalah:
Pertama, menganggap bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing, sejarah ini tentu sangat bertentangan dengan akal sehat manusia dan syariat Islam. tidak ada bukti referensi yang kuat tentang hal itu, dalam sebuah naskah klasik yang berbunyi: “ Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipon inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” Yang artinya: Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang.
Kedua, ajaran Manunggaling Kawula Gusti yang dikenal sebagai ajaran yang sesat. Cak Nun berkata: “Sebenarnya bukan ajarannya yang sesat tapi pemikiran kita yang tidak sampai pada pemikiran tersebut karena tingkat maqam yang berbeda”. Dari hal inilah para wali songo tidak setuju kepada Syekh Siti Jenar karena mengajarkan ilmu makrifat yang tidak bisa dikonsumsi oleh sembarangan orang karena bisa menimbulkan salah tafsir terhadap ajaran tersebut sehingga bisa merusak penyeberan agama Islam di Nusantara pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Ketiga, dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syekh Siti Jenar meninggalkan shalat, puasa rhamadan, sholat jum’at, haji dan sebagainya. Syekh Burhanpuri dalam risalah Buranpuri halaman 19 membatahnya, ia berkata “Saya berguru kepada Syekh Siti Jenar selama sembilan tahun dan saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa dia adalah pengamal syariat Islam sejati, bahkan shalat sunah yang dilakukannya lebih banyak dari manusia biasa, tidak pernah bibirnya berhenti dalam berdzikir menyebut nama Allah Swt. dan memabaca sholawat kepada nabi Muhammad Saw, tidak pernah putus puasa daud, puasa senin kamis, dan meninggalkan shalat jum’at”.
Keempat, meninggalnya Syekh Siti Jenar dengan hukuman mati oleh para wali songo merupakan cerita fiktif yang ditambahi agar menjadi dahsyat dan menarik ceritanya, karena tidak ada referensi yang primer dan kuat yang menyebutkan hukuman mati kepada Syekh Siti Jenar. Berdasarkan riwayat para Habaib, Ulama, Kyai dan Ajengan yang ilmunya terpercaya, mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar wafat di pengimaman Masjid Agung Cirebon dalam kedaan bersujud pada waktu melaksanakan sholat tajahud, dan para santri baru mengetahuianya saat akan melaksakan shalat subuh. Tidaklah mungkin sembilan wali Allah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh wali Allah dari keturunan yang sama, tidak bisa diterima oleh akal sehat.
ADVERTISEMENT
Penghancuran sejarah ini menurut ahli sejarah Islam Indonesia yaitu Azyumardi Azra adalah upaya Belanda dalam memecah umat Islam agar selalau bertikai antara sunni dan syi’ah antara ulama syariat dan ulama hakikat. Bahkan penjajah Belanda telah mengklasifikasikan hal ini dalam politik devide et impera yaitu politik pecah belah dengan tiga kelas, yaitu: kelas santri yang diidentikan dengan sembilan wali, kelas pyai yang diidentikan dengan Raden Fatah dan kesultanan Demak, dan kelas abangan yang diidentikan dengan Syekh Siti Jenar. Maka dari itu kita harus berhati-hati dalam memahami sejarah secara penuh, bukan hanya secara setengah-setengah sehingga tidak akan menimbulkan perpecahan antara umat Islam.