Konten dari Pengguna

Indonesia Darurat Parenting

Calcarina Septandari Nuraisah
Mahasiswi Universitas Airlangga
13 Mei 2023 10:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Calcarina Septandari Nuraisah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak broken home. Foto: CGN089/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak broken home. Foto: CGN089/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini muncul kasus pembunuhan anak oleh ayah kandung di Pati dan Gresik yang diramaikan salah satunya oleh pengguna twitter @mardiasih. Dalam cuitan tersebut, pengguna @mardiasih menjelaskan bahwa pada kasus pembunuhan di Gresik, sang bapak percaya bahwa istrinya tidak bisa masuk surga karena pekerjaan haram dan meyakini bahwa anaknya masih belum punya dosa dan jika mati bisa masuk surga.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, pada kasus di Pati, pengguna akun tersebut menjelaskan bahwa pasangan usia 20 tahun itu sudah memiliki dua anak. Bapak dan anak tersebut ditinggal istri berjualan. Lalu, sang bapak emosi akibat bayinya yang berusia tiga bulan terus rewel, hingga akhirnya dia membunuh bayi tersebut.
Selain itu, pada akun @tanyakanrl juga ramai perbincangan mengenai laki-laki yang menghamili dua pacarnya dan terlihat sedang frustrasi. Anehnya, laki-laki tersebut malah berusaha ditenangkan dengan kalimat, "tinggal dikawinin aja" oleh orang di dalam video.
Kedua kasus menunjukkan kurangnya kesiapan mental orang tua dalam menghadapi anak. Hal ini terlihat dari tindakan kekerasan terhadap anak dengan alasan tidak logis dan kurangnya kesadaran bahwa solusi yang harus dipikirkan dari kehamilan yang tidak direncanakan ialah persiapan parenting orang tua dan bukan hanya perubahan status orang tua menjadi sudah menikah.
Ilustrasi anak broken home. Foto: Tinnakorn jorruang/Shutterstock
Kedua kasus menunjukkan kegentingan di Indonesia mengenai kurangnya kesadaran calon orang tua untuk mempersiapkan diri dalam pengasuhan anak yang dinormalisasi. Sehingga, tidak mengherankan apabila prevalensi balita stunting di Indonesia, berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan, tercatat mencapai 21,6 persen pada 2022.
ADVERTISEMENT
Selain itu, prevalensi kekerasan emosional oleh orang tua pada anak juga masih tinggi, yaitu, berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021, dalam rumah tangga, tercatat 35,8 persen anak laki-laki dan 22,2 persen anak perempuan mengalami kekerasan emosional oleh sang ayah. Selain itu, setidaknya 36 persen anak perempuan mendapat kekerasan emosional dari sang ibu.
Seorang anak lahir di dunia ini karena pilihan orang tuanya. Sehingga, orang tua harus memiliki tanggung jawab untuk memberikan kehidupan terbaik bagi anaknya untuk dapat mengembangkan potensialnya. Hak anak untuk hidup sejahtera juga ditanggung oleh pemerintah.
Maka dari itu, perlu dipertanyakan, mengapa pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan pelanggan dalam satu bidang spesifik memiliki persyaratan lebih banyak daripada syarat untuk menjadi seorang orang tua yang bertanggung jawab menyokong anaknya dalam seluruh hal baik perkembangan kognitif, emosional, maupun fisiknya?
ADVERTISEMENT
Membangun kesadaran orang tua untuk mempersiapkan diri menimba ilmu dan berlatih sebelum mengasuh anak adalah jawaban dari hal ini. Mengapa begitu?
Ilustrasi anak terdampak broken home. Foto: Hananeko_Studio/Shutterstock
Di Indonesia, budaya memiliki anak sebelum persiapan yang matang masih kerap terjadi. Tidak jarang pasangan yang baru menikah dituntut secara tidak langsung oleh orang-orang terdekat dengan pertanyaan mengenai kapan mereka akan memiliki anak.
Padahal, pilihan memiliki anak harus disertai dengan persiapan yang baik terutama dalam hal pengetahuan mengenai pengasuhan anak yang benar. Selain itu, kurangnya persiapan parenting juga dapat disebabkan pernikahan dini yang kerap terjadi.
Ada juga beberapa masyarakat yang masih menolak menggunakan beberapa jenis kontrasepsi, sehingga mereka memiliki banyak anak yang diasuh secara kurang maksimal akibat kurangnya kesiapan keluarga tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, di Indonesia masih kerap terjadi miskonsepsi mengenai tugas ayah yang dianggap hanya mencari nafkah dan tidak berkewajiban untuk andil dalam mengurus anak. Bahkan, menurut Ashari (2017), salah satu isu negara ialah isu fatherless, di mana peran sebagai ayah masih ditelantarkan.
Hal ini menimbulkan beberapa masalah, seperti peran ayah yang tidak tahu cara menghadapi anaknya dan kurangnya komunikasi antara anak dan ayah yang dapat merusak hubungan, sehingga mengganggu perkembangan psikologis anak dan keharmonisan keluarga.
Ilustrasi keluarga broken home. Foto: anek.soowannaphoom/Shutterstock
Maka dari itu, permasalahan kurangnya kesadaran mengenai tata cara parenting yang benar ini juga melekat pada budaya. Sehingga, jawaban dari masalah ini adalah setidaknya harus ada pemberian kewajiban bagi seluruh calon orang tua untuk mengikuti bimbingan kepengurusan anak oleh ahli yang diadakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, setidaknya pemahaman umum mengenai tata cara parenting dan peran ayah dan ibu yang benar akan tertanam pada seluruh bagian masyarakat. Akibatnya, miskonsepsi parenting yang sudah tertanam akan semakin terbantahkan dan tidak diterapkan. Hal ini dapat menjamin kualitas hidup anak dan kualitas generasi penerus bangsa yang lebih baik.