Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Victimologi

Calista Dewi
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang
Konten dari Pengguna
18 Maret 2024 14:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Calista Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kekerasan Seksual. (Design by Calista Dewi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kekerasan Seksual. (Design by Calista Dewi)

Upaya Perlindungan Korban Pada Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Perspektif Victimologi

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Korban kejahatan pidana sering kali menjadi fokus yang terlupakan dalam sistem peradilan pidana. Korban kejahatan sering dibiarkan menghadapi konsekuensi fisik, emosional, dan finansial dari tindak kejahatan tanpa mendapatkan perlindungan yang memadai. Dalam hal ini, penting untuk memahami peran victimologi dan relevansinya dalam mengatasi kebutuhan dan hak korban kejahatan. Selaras dengan upaya ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (atau yang dapat disebut UU PSK) diciptakan sebagai undang-undang yang mengatur kepentingan korban telah menjadi instrumen penting dalam menegakkan hak-hak saksi dan korban.
ADVERTISEMENT
Victimologi adalah bidang ilmu yang mempelajari korban kejahatan, termasuk dampak kejahatan terhadap korban serta tanggapan sistem hukum terhadap korban kejahatan. Ini membantu mengidentifikasi kebutuhan korban dan menyediakan pedoman bagi para penegak hukum yang lebih berorientasi pada kesejahteraan korban. Dalam hal ini, undang-undang yang mengatur kepentingan dan perlindungan korban menjadi landasan penting untuk memberikan perlindungan yang layak.
Sebagaimana dalam Pasal 2 UU PSK, dijelaskan bahwa saksi dan korban kejahatan harus mendapatkan perlindungan dalam semua tahap proses peradilan pidana. Di mana juga harus berpatokan pada asas yang diatur pada Pasal 3 UU PSK, yakni penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. Setiap korban kejahatan sangatlah berhak mendapatkan perlindungan atas dirinya dengan tetap menerima penghargaan atas harkat dan martabatnya, selain itu, komponen utama yang perlu timbul dari adanya perlindungan adalah rasa aman yang dirasakan oleh korban kejahatan selama proses peradilan pidana. Namun, sebagai korban kejahatan juga pasti mengharapkan pengembalian hak-haknya yang telah terenggut atas kejahatan yang telah terjadi, sehingga keadilan dalam melindungi korban juga merupakan aspek penting yang perlu dijadikan pedoman dalam melakukan perlindungan terhadap korban. Selain itu, adanya upaya pemerataan dalam melakukan perlindungan kepada korban kejahatan juga harus diiringi dengan sikap yang tidak diskriminatif sehingga adanya persamaan dihadapan hukum, serta terciptanya kepastian hukum pada korban kejahatan.
ADVERTISEMENT

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai Upaya Perlindungan Korban Kejahatan

Dalam upaya perlindungan terhadap korban kejahatan, UU PSK telah mengatur dan menciptakan adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk berdasarkan Pasal 11 sampai dengan Pasal 27 UU PSK. Lembaga ini memiliki peran yang sangat vital dalam upaya penegakan hukum dan penanganan ataupun perlindungan saksi dan korban kejahatan pidana. Di tengah perkembangan sistem peradilan pidana yang semakin matang, orientasi keadilan tidak lagi semata berpusat pada pelaku kejahatan, melainkan juga memperhatikan kepentingan saksi dan korban. LPSK menjadi garda terdepan dalam memastikan bahwa saksi dan korban mendapatkan perlindungan yang layak serta hak-haknya diakui dan dihormati sepenuhnya. Tidak hanya sekadar memberikan perlindungan fisik, LPSK juga bertanggung jawab untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada saksi dan korban dalam menghadapi proses peradilan yang penuh dengan tekanan dan ketegangan.
ADVERTISEMENT

Korban Kasus Kekerasan Seksual Banyak yang Membutuhkan Perlindungan

Banyak sekali berbagai contoh kasus kejahatan yang dimana korban kejahatannya sangatlah membutuhkan perlindungan dan penanganan yang cukup serius. Salah satu contohnya adalah kasus kekerasan seksual, di mana tingkat kekerasan seksual, di Indonesia menunjukkan angka yang signifikan setiap tahunnya, dengan korban yang tidak jarang adalah anak-anak di bawah usia dewasa. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat peningkatan permohonan perlindungan terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Data statistik LPSK pada tahun 2021 menunjukkan bahwa terdapat 486 kasus kekerasan seksual yang diantaranya 426 kasus kekerasan seksual anak dan 60 kasus kekerasan seksual pada orang dewasa yang telah tercatat permohonan perlindungannya oleh LPSK.
Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, korban sering kali berinteraksi dengan individu yang lebih tua atau dewasa, termasuk orang asing, saudara kandung, atau bahkan orang tuanya, di mana anak tersebut dimanfaatkan sebagai objek seksual. Tindakan tersebut biasanya melibatkan penggunaan paksaan, ancaman, suap, manipulasi, atau tekanan. Dinamika hubungan antara pelaku dan korban semakin memperumit penanganan kasus kejahatan seksual pada anak. Diperlukan berbagai bentuk dukungan khusus untuk membantu anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Dengan hadirnya UU PSK menegaskan bahwa kehadiran Negara bagi korban kejahatan meliputi pemberian perlindungan dan bantuan berupa rehabilitasi bagi pihak korban, termasuk dalam kasus anak korban eksploitasi seksual. Bantuan yang dimaksud adalah berupa bantuan medis psikologis dan psikososial.
ADVERTISEMENT

Nilai Penting dari Upaya Perlindungan Korban Kejahatan

Hal tersebut menjadi salah satu implementasi dengan nilai yang sangat penting dari UU PSK tersebut yakni memberikan hak-hak yang jelas kepada korban. Ini termasuk hak untuk diberitahu tentang perkembangan dalam proses peradilan, hak untuk memberikan pernyataan korban, dan hak untuk mendapatkan kompensasi yang layak atas kerugian yang diderita. Dengan menegakkan hak-hak ini, undang-undang memastikan bahwa korban tidak lagi menjadi pihak yang terpinggirkan dalam sistem hukum. Selain memberikan hak-hak, undang-undang juga memperkuat mekanisme perlindungan bagi korban. Ini termasuk penyediaan layanan dukungan korban yang meliputi konseling, bantuan hukum, dan akses ke sumber daya lain yang dibutuhkan. Dengan menyediakan akses yang mudah dan terjangkau ke layanan ini, undang-undang membantu korban dalam proses pemulihan dan mencegah reviktimisasi.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun UU PSK yang mengatur kepentingan dan perlindungan korban telah maju dalam banyak yurisdiksi, masih ada tantangan yang harus dihadapi dalam penerapan dan penegakannya. Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa hak-hak korban dihormati dan dilaksanakan dengan benar di semua tingkat sistem peradilan pidana. Ini memerlukan pelatihan yang tepat bagi para profesional hukum atau penegak hukum untuk memahami pentingnya perspektif korban dalam proses peradilan.
Dalam rangka mencapai keadilan yang komprehensif, perlindungan korban kejahatan pidana harus menjadi prioritas bagi setiap sistem penegakan hukum. Ini memerlukan komitmen kuat dari pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga hukum, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan memperkuat perspektif victimologi dan menerapkan undang-undang yang memadai, maka dapat dipastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan yang pantas dan hak-nya diakui sepenuhnya dalam sistem hukum yang adil dan berempati.
ADVERTISEMENT