Konten dari Pengguna

Hukuman Mati Bukan Solusi untuk Mencapai Indonesia Tanpa Korupsi

Callysta Khansa
Undergraduate Law Student at Universitas Indonesia. Callysta is passionate about political communication, criminal law, and international relation. Three words to describe Callysta are determined, resilient, and considerate.
13 Desember 2022 23:00 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Callysta Khansa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by cottonbro studio from Pexels: https://www.pexels.com/photo/person-holding-fan-of-us-dollar-bill-5909814/
zoom-in-whitePerbesar
Photo by cottonbro studio from Pexels: https://www.pexels.com/photo/person-holding-fan-of-us-dollar-bill-5909814/
ADVERTISEMENT
Hukuman mati bukanlah jawaban bagi pengurangan angka korupsi di Indonesia. Pada artikel ini, Penulis akan meyakinkan Anda bahwa hukuman mati bukanlah hukuman yang tepat bagi koruptor. Berita korupsi sudah menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah bukannya hanya berpangku tangan. Upaya demi upaya sudah dilakukan untuk menanggulangi korupsi. Pada tahun 2021, pemerintah membuat berbagai kebijakan, seperti kewajiban penyampaian laporan harta kekayaan, penguatan sistem integritas internal pemerintah, dan pengendalian tindak korupsi di level unit kerja pelayanan. Akan tetapi, upaya tersebut seakan-akan tak ada hasilnya.
ADVERTISEMENT
Angka korupsi di Indonesia sayangnya masih mengecewakan. Berdasarkan survey yang dilakukan Transparency Internasional, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2021 sebesar 38. Angka ini dibawah rata-rata IPK dunia, yakni sebesar 43. Skor di bawah 50, seperti Indonesia, mengindikasikan negara tersebut memiliki masalah korupsi serius. Angka IPK Indonesia yang masih di bawah rata-rata mencerminkan upaya pemerintah yang masih gagal dalam menanggulangi korupsi. Hal ini menggiring pendapat mengenai perlunya hukuman mati bagi koruptor di Indonesia. Apabila banyaknya upaya tidak dapat menanggulangi korupsi, apakah hukuman mati dapat memberikan efek jera bagi para koruptor?
Hukuman mati bagi koruptor sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 Ayat (2) yang berbunyi, “Apabila tindak pidana korupsi dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Ayat tersebut membuat hukuman mati bagi koruptor sah secara undang-undang. Akan tetapi, pada praktiknya, tidak pernah ada koruptor yang divonis hukuman mati. Hingga kini, Presiden dan DPR belum menemui kata sepakat dengan penerapan hukuman mati bagi koruptor. Nyatanya, peraturan ini hanya sebatas wacana.
ADVERTISEMENT
Menurut Penulis, belum adanya titik terang dari penyelesaian hukuman mati bagi koruptor salah satunya karena hukuman mati sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Hukuman mati adalah wujud hukuman yang amat berat, tegas, dan tanpa pandang bulu. Hukumannya sudah berat, tetapi manfaat yang dihasilkan belum jelas. Hal ini dapat dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Fariduddin dan Tetono mengenai hubungan antara penerapan hukuman mati dan kontribusi kenaikan CPI.
Menurut Fariduddin dan Tetono, tidak ada hubungan antara penerapan hukuman mati dan kontribusi kenaikan CPI. CPI (Corruption Perceptions Index) adalah indeks persepsi korupsi yang mengurutkan negara-negara di dunia berdasarkan persepsi publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis. Fariduddin dan Tetono mencoba mengambil data CPI dari negara yang pernah menerapkan hukuman mati bagi koruptor, seperti Iran, Kuba, Vietnam, Korea Utara, dan Cina. Setelah itu, data ini dianalisis hubungannya sehingga dapat menghasilkan kesimpulan mengenai efektif atau tidaknya hukuman mati bagi koruptor dengan penanggulangan korupsi.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2018, Iran menghukum mati Vahid Mazloumin dan Mohammad Esmail Ghasemi karena tindak pidana korupsi. Namun, angka CPI Iran dari tahun 2017 sampai dengan 2021 justru menurun. Berbeda dengan Kuba, setelah menjatuhkan pidana mati bagi Arnaldo Ochoa Sanchez dan empat pejabat negara lainnya, angka CPI Kuba dari tahun 2019 sampai dengan 2021 naik turun secara tidak stabil. Dapat disimpulkan, penjatuhan pidana mati tidak terbukti efektivitasnya dalam menekan kasus korupsi. Hal ini karena tidak ada bukti konkret berupa angka CPI yang membaik di negara yang menjatuhkan pidana mati bagi koruptor.
Dari data di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukuman mati jelas tidak efektif dalam menekan kasus korupsi. Menurut Penulis, terdapat tiga poin penting mengapa pidana mati bagi koruptor bukanlah langkah yang tepat dalam menanggulangi korupsi di Indonesia. Pertama, hukuman mati tidak semerta-merta memperbaiki keuangan negara. Mengembalikan kondisi keuangan negara menjadi seperti sebelum korupsi dilakukan pun tidak. Kebahagiaan melihat koruptor dihukum mati hanya akan bertahan sesaat apabila tidak diikuti dengan kesejahteraan negara yang permanen. Untuk apa membunuh pencuri uang negara apabila hasilnya tidak dapat memperbaiki keuangan negara?
ADVERTISEMENT
Kedua, berdasarkan pengalaman di Indonesia sendiri, penjatuhan pidana mati bagi kejahatan non-korupsi, seperti narkotika dan terorisme, tidak efektif untuk memberantas kejahatan itu sendiri. Menurut studi yang dilakukan Insititute for Economic and Peace (IEP) 2020, terorisme menyebar lebih luas dari tahun-tahun sebelumnya. Hukuman mati nyatanya gagal mewujudkan rasa takut pada hukum. Padahal, inilah inti dari hukuman mati, untuk menyebarkan efek jera dan takut di masyarakat agar kesalahan yang sama tidak terulang. Apabila pada kasus sebelumnya dirasa tidak efektif, untuk apa kita mengulangi kesalahan yang sama?
Ketiga, hukuman mati tentunya menyalahi hak asasi manusia di mana kita sebagai sesama manusia tidak memiliki hak untuk mencabut nyawa orang lain dengan alasan apa pun. Pada hakikatnya, HAM adalah hak fundamental yang dimiliki oleh setiap individu dari lahir hingga akhir nyawanya. Hak asasi manusia berasal dan bersumber dari Tuhan. Keberadaannya sudah lebih dulu ada dan wewenangnya berada di atas seluruh peraturan di Indonesia, bahkan dunia. Oleh karena itu, HAM tidak bisa diganggu gugat dan harus terus ditegakkan. Maka dari itu, Penulis sangat mengecam hukuman mati bagi koruptor karena melanggar hak asasi manusia sebagai hukum paling dasar dari jati diri kita sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Hukuman yang layak bagi koruptor seharusnya adalah hukuman yang mampu mengembalikan keuangan negara dan tetap membuat efek jera bagi pelaku. Oleh karena itu, yang sewajarnya adalah koruptor wajib mendapat hukuman denda paling tidak sebesar apa yang telah ia ambil. Selain itu, koruptor juga perlu dilarang untuk menjabat lagi di jabatan publik. Koruptor seharusnya dilarang dengan tegas untuk mencalonkan diri menjadi wakil rakyat ataupun menjabat di instansi pemerintahan. Terakhir, koruptor perlu mendapat hukuman penjara yang adil dan tegas. Mengingat masih banyak koruptor di Indonesia yang lolos dengan nol masa penjara, hukuman penjara perlu dipertegas sehingga tidak ada oknum yang bisa “kabur” dari hukuman. Hal ini supaya dapat menimbulkan efek jera di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Artikel ini banyak menimbulkan pertanyaan “untuk apa”. Nyatanya, hukuman mati memang untuk apa? Manfaatnya nihil, tetapi resiko dan tanggung jawab yang diemban sangat besar karena menyangkut nyawa seseorang. Banyak jalan untuk memberantas korupsi tanpa mengorbankan nyawa manusia dalam prosesnya.