Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Musim, Filosofi, dan Tradisi: Bagaimana Kisetsu Membentuk Jepang
11 Oktober 2024 11:51 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Calvin Ardianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak dahulu, alam selalu menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Jepang. Orang Jepang tidak hanya hidup berdampingan dengan alam, tetapi juga menjadikannya sebagai landasan filosofi yang mendasari budaya dan tradisi mereka. Musim, atau dalam bahasa Jepang dikenal sebagai kisetsu, bukan hanya sekadar perubahan cuaca. Setiap musim membawa serta pesan spiritual yang mengajarkan harmoni, kesederhanaan, dan penghargaan terhadap siklus kehidupan. Musim semi dengan sakura yang mekar, misalnya, dianggap sebagai simbol kelahiran kembali dan harapan baru, mengingatkan masyarakat Jepang akan pentingnya memulai hal-hal baru dengan semangat positif. Sebaliknya, musim gugur dengan dedaunan momiji yang berubah warna menjadi merah dan emas mengingatkan pada kefanaan hidup. Selain itu, musim panas penuh dengan festival meriah seperti Obon, sementara musim dingin menghadirkan ketenangan yang mengajak refleksi diri, terutama saat masyarakat berkumpul bersama keluarga di dalam rumah yang hangat. Dalam budaya Jepang, musim sering kali dirayakan dengan festival musiman yang penuh warna dan ritual, seperti Hanami di musim semi dan Momijigari di musim gugur. Perayaan-perayaan ini mengingatkan kita akan betapa pentingnya hubungan antara manusia dan alam di Jepang. Dalam esai ini, kita akan menjelajahi bagaimana kisetsu tidak hanya mempengaruhi kehidupan sehari-hari, tetapi juga seni, makanan, dan tradisi yang membentuk identitas budaya Jepang.
ADVERTISEMENT
Pengaruh Musim pada Gaya Hidup dan Budaya
Musim di Jepang terbagi menjadi empat yang sangat khas: musim semi (haru), musim panas (natsu), musim gugur (aki), dan musim dingin (fuyu). Setiap musim membawa tantangan, keindahan, dan kesempatan tersendiri, yang mempengaruhi cara hidup masyarakat Jepang dalam berbagai aspek.
1. Musim Semi (Haru)
Musim semi di Jepang dimulai sekitar bulan Maret hingga Mei, ketika suhu mulai hangat dan alam mulai hidup kembali setelah dinginnya musim dingin. Masyarakat Jepang menyambut musim semi dengan penuh antusiasme, terutama dengan perayaan Hanami, tradisi menikmati bunga sakura yang bermekaran. Hanami adalah momen kebersamaan yang menyatukan keluarga, teman, dan kolega di bawah pohon sakura yang berwarna merah muda cerah. Keindahan sakura yang hanya bertahan selama beberapa minggu ini mencerminkan filosofi mono no aware, yang mengajarkan untuk merasakan keindahan dalam kefanaan. Selain Hanami, banyak seni tradisional Jepang yang mengambil inspirasi dari musim semi, seperti haiku—puisi pendek yang sering kali menggambarkan keindahan alam. Misalnya, haiku oleh Matsuo Bashō: “Sakura mekar, dan sungai yang mengalir pelan, memperindah hari ini”. Selain itu, musim semi juga membawa kehidupan baru pada bidang seni dan arsitektur. Dalam arsitektur, desain taman Jepang sering mencerminkan harmoni dengan alam melalui elemen yang berubah sesuai musim. Taman-taman Jepang, seperti Taman Kenrokuen di Kanazawa atau Taman Ritsurin di Takamatsu, didesain untuk memperlihatkan keindahan sepanjang musim, dan di musim semi, taman-taman ini menjadi pusat perhatian dengan hamparan bunga sakura dan tumbuhan lainnya. Di bidang kuliner, masyarakat Jepang menikmati bahan makanan musiman seperti takenoko (rebung) dan sakura mochi, yang menjadi ciri khas musim ini.
ADVERTISEMENT
2. Musim Panas (Natsu)
Musim panas di Jepang berlangsung dari Juni hingga Agustus, dengan suhu yang panas dan lembap. Namun, panasnya musim ini tidak menghalangi masyarakat Jepang untuk merayakan berbagai festival tradisional. Salah satu festival terbesar adalah Obon, yang dirayakan pada pertengahan Agustus. Obon adalah waktu bagi keluarga untuk berkumpul dan menghormati arwah leluhur yang diyakini kembali ke dunia selama periode ini.
Festival ini juga identik dengan tarian tradisional Bon Odori dan kembang api, yang menghiasi malam musim panas Jepang. Selain Obon, ada juga Tanabata, yang diadakan pada bulan Juli dan dirayakan dengan menghias pohon bambu dengan kertas warna-warni berisi harapan.
Dalam hal makanan, musim panas adalah waktu untuk menikmati hidangan yang menyegarkan seperti somen (mi dingin) dan kakigori (es serut). Masyarakat Jepang juga menyesuaikan gaya hidup mereka dengan berpakaian lebih ringan dan menggunakan uchiwa (kipas tangan) serta sensu (kipas lipat) untuk bertahan dari panas. Di bidang seni, lukisan dan kerajinan tangan musim panas sering kali menggambarkan alam yang sedang mekar dan penuh warna, seperti gambar bunga teratai atau ikan koi di kolam yang tenang.
ADVERTISEMENT
3. Musim Gugur (Aki)
Musim gugur di Jepang berlangsung dari September hingga November, dan dikenal dengan suhu yang sejuk serta dedaunan yang berubah warna menjadi merah, kuning, dan oranye. Musim ini sering kali dianggap sebagai musim yang paling indah di Jepang, dan masyarakat Jepang merayakannya dengan kegiatan Momijigari, atau menikmati keindahan daun yang berguguran. Seperti halnya Hanami, Momijigari adalah bentuk apresiasi terhadap alam yang menyoroti filosofi mono no aware, kesadaran akan keindahan yang sementara dan kefanaan.
Selain menikmati pemandangan alam, musim gugur juga membawa beragam bahan makanan musiman seperti kuri (kastanye), matsutake (jamur), dan satsumaimo (ubi jalar). Festival panen, seperti Niiname-sai, merayakan berkah hasil bumi pada musim ini, di mana Kaisar Jepang secara simbolis mempersembahkan hasil panen pertama kepada para dewa sebagai tanda syukur. Di bidang seni, musim gugur sering digambarkan dalam haiku dan seni ikebana, yang menonjolkan keindahan dan kesederhanaan alam di tengah transisi ini.
ADVERTISEMENT
4. Musim Dingin (Fuyu)
Musim dingin di Jepang berlangsung dari Desember hingga Februari, dengan cuaca yang sangat dingin di wilayah utara seperti Hokkaido, di mana salju turun dengan lebat. Meskipun musim dingin membawa tantangan, masyarakat Jepang tetap menemukan cara untuk merayakan musim ini dengan kehangatan dan kebersamaan.
Salah satu festival terbesar di musim dingin adalah Sapporo Snow Festival, yang menampilkan patung-patung es raksasa dan pemandangan salju yang menakjubkan. Di seluruh negeri, masyarakat juga merayakan Oshogatsu atau Tahun Baru Jepang, dengan berbagai ritual tradisional seperti makan osechi ryori (hidangan Tahun Baru) dan menuliskan harapan pada kuil-kuil Shinto.
Di bidang kuliner, musim dingin identik dengan hidangan berkuah seperti nabe dan oden, yang memberikan kehangatan selama musim dingin. Masyarakat juga menikmati waktu di dalam rumah, berkumpul di bawah kotatsu (meja pemanas) sambil menikmati teh panas dan camilan tradisional seperti yokan (manisan kacang merah). Seni dan arsitektur musim dingin sering kali menampilkan kesederhanaan yang tercermin dalam taman-taman yang tertutup salju, seperti taman Kenrokuen yang berubah menjadi lanskap putih yang damai.
ADVERTISEMENT
Pengaruh Musim pada Seni dan Tradisi
Seni dan tradisi di Jepang sangat dipengaruhi oleh perubahan musim, dan ini dapat terlihat melalui berbagai medium artistik dan ritual budaya yang mencerminkan keselarasan antara manusia dan alam. Bagi orang Jepang, hubungan dengan musim tidak hanya bersifat fungsional, tetapi juga filosofis, di mana setiap musim membawa makna dan keindahannya sendiri yang diekspresikan melalui seni rupa, sastra, dan tradisi spiritual.
Salah satu seni yang paling terkenal dalam menangkap esensi musim adalah haiku, puisi pendek dengan struktur 5-7-5 suku kata yang sering kali menyertakan kata-kata yang merujuk pada musim tertentu (kigo). Haiku bukan hanya tentang menggambarkan alam, tetapi juga tentang menangkap momen efemeris, yang sesuai dengan konsep mono no aware, yakni kesadaran akan kefanaan dan keindahan yang datang darinya. Misalnya, haiku karya Matsuo Bashō yang menggambarkan bunga sakura yang berguguran pada musim semi, atau bulan purnama di malam musim gugur, mengundang pembaca untuk merasakan hubungan spiritual antara kehidupan manusia yang sementara dan keabadian alam.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada ikebana atau seni merangkai bunga, juga mencerminkan keindahan perubahan musim dengan menggunakan elemen-elemen flora yang relevan dengan musim saat itu. Dalam rangkaian ikebana, pemilihan bunga tidak hanya didasarkan pada estetika, tetapi juga pada makna simbolis yang mereka bawa pada setiap musim. Misalnya, di musim semi, bunga sakura atau bunga ume sering dipilih untuk mewakili kebangkitan alam setelah musim dingin, sedangkan pada musim gugur, ikebana akan lebih banyak menampilkan dedaunan yang berubah warna atau bunga krisan (kiku), yang melambangkan keabadian. Filosofi di balik ikebana tidak hanya menghargai keindahan bunga, tetapi juga memperlihatkan interaksi antara manusia dan alam yang melibatkan harmoni, keseimbangan, dan kehati-hatian dalam memilih elemen alam.
Upacara minum teh atau sadō, juga sangat terpengaruh oleh musim. Tuan rumah dalam upacara minum teh selalu mempertimbangkan musim ketika mempersiapkan ruang teh dan memilih perlengkapan yang akan digunakan. Di musim dingin, upacara sering diselenggarakan di ruang yang lebih hangat dengan furnitur dan dekorasi yang mencerminkan keheningan dan kehangatan, sementara di musim panas, upacara diadakan dengan tujuan menciptakan suasana yang sejuk dan menyegarkan. Ini mencerminkan filosofi harmoni (wa) dengan alam, di mana setiap elemen disesuaikan untuk menciptakan keseimbangan antara lingkungan dan pengalaman ritual.
ADVERTISEMENT
Memahami kisetsu dalam konteks budaya Jepang berarti menyadari bahwa musim tidak hanya tentang iklim, tetapi juga tentang hubungan mendalam antara manusia dan alam. Filosofi harmoni (wa) yang mendasari budaya Jepang sangat tergantung pada cara orang Jepang menghargai dan menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibawa oleh musim. Nilai mono no aware, yang menekankan kesadaran akan kefanaan dan keindahan yang sementara, dapat dilihat dalam setiap aspek kehidupan di Jepang, mulai dari seni, makanan, hingga festival.
Menghargai dan mengikuti siklus alami ini membantu orang Jepang menjalani hidup dengan seimbang, menyesuaikan diri dengan ritme alam yang selalu berubah. Dengan memahami kisetsu, kita tidak hanya belajar tentang budaya Jepang, tetapi juga belajar untuk menghargai perubahan dan keindahan dalam kehidupan kita sendiri.
ADVERTISEMENT