Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Zaibatsu : Kekuatan Penggerak Kawasan Industri Di Jepang Berkembang Pesat
3 April 2024 11:06 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Calvin Ardianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jepang, sebuah negara yang telah mengalami transformasi luar biasa dalam sektor industri selama beberapa dekade terakhir, telah menjadi sorotan global sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama di dunia. Dari masa restorasi Meiji pada akhir abad ke-19 hingga era pasca-Perang Dunia II, Jepang telah menunjukkan kemampuannya untuk mengubah dan merekonstruksi industri secara efisien dan inovatif. Melalui kombinasi antara tradisi yang kaya dan kecanggihan modern, Jepang terus memainkan peran penting dalam menentukan arah globalisasi industri. Dalam esai ini, kita akan melihat secara mendalam perkembangan dan rekonstruksi industri yang telah membentuk peta jalan ekonomi Jepang. Dengan memahami sejarah dan perubahan dinamis yang telah terjadi, akan didapati rangkuman kontribusi Jepang dalam konteks global serta implikasi masa depannya dalam arus perdagangan internasional dan inovasi industri.
ADVERTISEMENT
Sejarah perubahan ekonomi Jepang dari agraris tradisional menjadi industri teknologi modern sangat menarik. Industrialisasi dimulai setelah kedatangan Komodor Perry di Teluk Edo pada tahun 1853. Didorong oleh ancaman militer dan industri dari Barat, Jepang memulai upaya bersama untuk mengubah sistem ekonomi kunonya. Transformasi ini dipandu oleh zaibatsu, kelompok bisnis yang dimiliki secara eksklusif oleh satu keluarga atau kelompok keluarga besar. Mereka memainkan peran penting dalam mendorong industrialisasi Jepang, dengan Mitsui dan Sumitomo sebagai contoh utama yang berasal dari era Keshogunan Tokugawa dan Meiji. Awalnya, pemerintah Meiji memimpin industrialisasi dengan mengelola langsung perusahaan, tetapi kemudian bekerja sama dengan pengusaha untuk memprivatisasi industri.
Beberapa negara, seperti Kanada, sangat bergantung pada modal asing untuk melakukan industrialisasi; namun para pemimpin Jepang memutuskan untuk menggunakan modal Jepang dan struktur ekonomi Jepang sebanyak mungkin. Mereka melakukan ini karena mereka tidak sekadar berupaya memodernisasi Jepang. Sebaliknya mereka bertekad untuk membangun basis ekonomi yang kuat, yang dimiliki dan dikendalikan oleh kepentingan swasta dan publik Jepang, untuk melindungi otonomi politik dan ekonomi negara tersebut. Demikianlah, meskipun para pemimpin Jepang pada abad kesembilan belas penuh semangat mengimpor teknologi Barat, mereka tidak mendorong perusahaan-perusahaan Barat untuk memasuki pasar domestik Jepang untuk membangun infrastruktur ekonomi baru Jepang.
ADVERTISEMENT
Apa sebenarnya zaibatsu itu, dan bagaimana kontribusinya terhadap modernisasi ekonomi Jepang? Zaibatsu tidak hanya berperan dalam mengimpor teknologi Barat, tetapi juga dalam mengembangkan infrastruktur ekonomi baru. Zaibatsu hadir dalam berbagai ukuran, mulai dari gabungan industri dan keuangan Mitsui, Mitsubishi, dan Sumitomo yang sangat besar hingga kelompok usaha menengah dan kecil. Bentuk zaibatsu tidak hanya terjadi di Jepang, namun skala besar dan jumlah zaibatsu yang terbentuk selama industrialisasi merupakan fenomena khas Jepang. Mereka menjadi sumber modal yang berkelanjutan untuk transfer teknologi industri modern, seperti bahan kimia, peralatan listrik, dan mesin industri listrik. Setelah Perang Dunia II, pendudukan AS membubarkan zaibatsu karena dianggap tidak demokratis, tetapi model ini tetap memiliki dampak signifikan pada masyarakat teknologi Jepang.
ADVERTISEMENT
Dari zaibatsu, Jepang beralih ke keiretsu setelah perang, di mana perusahaan-perusahaan besar membentuk kelompok dengan kepemilikan saham bersama dan konsultasi antara manajer puncak. Ini membantu mempertahankan model koordinasi ekonomi yang lebih longgar namun efektif. Keiretsu mewarisi keunggulan teknologi dan manajerial dari zaibatsu, meskipun strukturnya lebih longgar dan inklusif.
Industri di Jepang dapat dikelompokkan menjadi lima jenis berdasarkan formasi, jaringan, dan lokasi pemasok dan pelanggannya. Pertama, terdapat sejumlah besar industri yang berbasis lokal atau regional (jiba sangyo) yang terkenal di wilayah tertentu (Itakura 1981). Ini adalah perusahaan kecil yang mengkhususkan diri dalam pembuatan produk tertentu, menggunakan modal dan tenaga kerja lokal. Contoh produk yang dibuat oleh perusahaan tersebut adalah pernis (dibuat di Kyoto, Kanazawa, Wajima, Wakamatsu, Hirosaki, Takayama, dan Takamatsu); peralatan bambu (Odawara dan Beppu); ceret baja (Morioka); peralatan tembaga (Takaoka); barang keramik (Nagoya); kawat, kipas angin, dan tas (Toyooka); dan sarung tangan (Takeuchi dan Ide 1980). Industri-industri ini tersebar luas di banyak komunitas di Jepang. Kelompok industri kedua dikembangkan di kota-kota perusahaan (kigyo jokamachi) oleh perusahaan industri besar seperti Nippon Steel (Kamaishi dan Muroran), Toyota Motor Manufacturing (Toyota City), Hitachi Engineering (Hitachi), Asahi Chemicals (Nobeoka di Miyazaki), dan Matsushita (Kodama). Mereka biasanya menggunakan produksi massal dan memiliki pasar nasional dan internasional untuk produk mereka (Murata 1980a; Kawase dkk. 2000). Kelompok ketiga terdiri dari kawasan industri besar yang terletak di daerah reklamasi daratan pesisir di sepanjang Samudera Pasifik. Industri-industri ini mempunyai jaringan lokal yang relatif lemah, dan pemasok serta pelanggannya juga non-lokal (Sargent 1980). Jenis industri keempat dan kelima mengkhususkan diri pada produk-produk berteknologi tinggi dan berlokasi di pusat-pusat industri berteknologi tinggi, yang disebut teknopolis.
Sebagian besar kawasan industri utama Jepang berkembang di sekitar pelabuhan, terutama karena Sebab industri Jepang sangat bergantung pada bahan baku impor. Selain itu, sebagian besar barang produksi diekspor ke pasar luar negeri. Ada lima wilayah manufaktur besar di negara ini (Murata 1980b). Kajian yang dilakukan oleh Katsutaka Itakura (1988) mengungkapkan bahwa industri manufaktur di wilayah ini berpindah dari wilayah metropolitan ke wilayah pedesaan atau kota kecil. Tren ini berlanjut hingga saat ini. Kenkichi Nagao (1996) telah menganalisis perubahan regional dalam industri manufaktur Jepang antara tahun 1970 dan 1990. Pabrikan Jepang juga semakin banyak memindahkan produksinya ke lokasi luar negeri, untuk menghindari biaya input yang tinggi di Jepang. “Kekosongan” manufaktur ini semakin cepat pada tahun 1990an (Katz 2001), sehingga manufaktur luar negeri sebagai persentase dari total manufaktur oleh perusahaan-perusahaan Jepang meningkat dari 3 persen pada tahun 1985 menjadi 14 persen pada tahun 1999. Pada tahun 1990an pertumbuhan manufaktur di luar negeri mengerdilkan pertumbuhan domestik minimal di Jepang.
ADVERTISEMENT
Industri di Jepang telah mengalami perkembangan pesat sejak awal abad ke-20, dengan kawasan industri seperti Tokai, Setouchi, dan Kitakyushu menjadi pusat-pusat utama produksi. Seiring dengan itu, restrukturisasi industri menjadi suatu kebutuhan yang mendesak, terutama di sektor baja, kimia, dan manufaktur lainnya.
Pada tahun 1990-an, Jepang menghadapi tantangan berupa globalisasi ekonomi dan kemajuan teknologi informasi yang mengakibatkan penurunan daya saing industri baja. Perusahaan-perusahaan besar seperti Nippon Steel Corporation dan NEC terpaksa melakukan perubahan strategis, termasuk pengurangan biaya operasional dan pengembangan aliansi dengan pemasok luar negeri. Selain itu, industri otomotif Jepang juga mengalami transformasi, dengan produsen seperti Nissan Motor Company memindahkan sebagian besar produksinya ke luar negeri untuk meningkatkan efisiensi dan mengakses pasar global dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas dan utang, pemerintah Jepang membentuk Industrial Revitalization Corporation (IRC) yang bertujuan untuk membantu perusahaan-perusahaan yang sedang mengalami kesulitan finansial. Meskipun demikian, beberapa kota industri, seperti Kitakyushu dan Kamaishi, telah berhasil pulih melalui upaya restrukturisasi dan diversifikasi ekonomi, dengan fokus pada industri teknologi tinggi, usaha kecil, dan jasa.
Perjalanan ekonomi Jepang dari masa agraris tradisional hingga menjadi kekuatan industri teknologi modern adalah hasil dari upaya kolaboratif antara pemerintah, sektor bisnis, dan masyarakat. Peran utama zaibatsu dan kemudian keiretsu dalam mendorong industrialisasi dan mengimpor teknologi Barat menjadi kunci bagi transformasi ekonomi Jepang. Meskipun menghadapi tantangan seperti globalisasi dan kemajuan teknologi, Jepang berhasil mengatasi hambatan tersebut melalui restrukturisasi industri dan diversifikasi ekonomi. Perjalanan ekonomi Jepang dapat dilihat sebagai bukti kuat bahwa dengan visi, kolaborasi, dan adaptasi yang tepat, sebuah negara dapat mengatasi tantangan ekonomi dan terus berkembang menjadi kekuatan global yang relevan. Secara keseluruhan, perkembangan dan rekonstruksi industri di Jepang mencerminkan upaya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan global dan meningkatkan daya saing melalui strategi restrukturisasi dan diversifikasi.
ADVERTISEMENT