Dentuman Palu Keadilan yang Melemah, Atas Ketidakpercayaan Terhadap Wakil Tuhan
Konten dari Pengguna
20 September 2023 9:48
Tulisan dari Calvin Alexander tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus kajahatan berupa perbuatan penghinaan terhadap seorang hakim menjadi suatu persoalan genting yang patut untuk segera diselesaikan secara tuntas. Bukti nyatanya telah siap mosi ketidakpercayaan "Hukum Tajam Kebawah dan Tumpul Keatas" seakan menjadi pembenaran kadang kala hasil ketukan palu keadilan tidak memihak suara Tuhan.
ADVERTISEMENT
Mirisnya marwah penegakan hukum di Indonesia telah memperoleh cap atau label tebal dari bagaimana masyarakat memandang remeh para wakil Tuhan, dalam hal ini mereka yang menegakkan palu hukum dan keadilan. Setidaknya media massa pun telah mengamini bahwa cap atau label dari masyarakat terhadap aparat penegak hukum tersebut telah melekat dengan jelas dari segenap pemberitaan terkait melemahnya dentuman palu hukum dan keadilan yang minim akan prestasi untuk diberitakan di tengah khalayak.
Kendati demikian media massa tidak hanya berusaha untuk memberikan tamparan keras bagi aparat penegak hukum, tetapi juga berusaha untuk menjembatani segala keresahan yang dimiliki oleh rakyat terhadap pemerintah pusat melalui berbagai pemberitaan di media mereka.
Di satu sisi seorang hakim menjadi garda terdepan yang menempati singgasana utama dalam ruang peradilan. Tiap-tiap keputusan yang dihasilkan dalam satu perkara tentu memiliki pertimbangan hukum yang disertai nalar yuridis, untuk kemudian menetapkan putusan sebagai suatu produk hukum.
ADVERTISEMENT
Tidak sembarangan orang yang dapat menempati singgasana tersebut, dan tidak sembarangan tindakan pula yang dapat dilakukan dengan mengatasnamakan singgasana yang sudah berada dalam genggaman tangan.
Timbul kemudian satu pertanyaan, apakah adil ketika kita terus melayangkan cap atau label ketidakpercayaan tersebut, pada setiap putusan yang tidak bermuara pada kehendak suara kita? Tentu perspektif demikian amat rentang untuk menjadi alibi di tengah kekisruhan proses penegakan hukum dan keadilan yang begitu rumit.
Lalu siapa sepatutnya yang pantas dipertanyakan, akan kedilematikan tersebut? Apakah masyarakat yang rentang termakan isu-isu belaka, atau media massa yang turut ambil kendali dalam membentuk suatu perspektif di tengah masyarakat, atau bahkan aparat penegak hukum yang menjadi pioner utama dalam proses hukum yang ada.
ADVERTISEMENT
Tentu yang patut untuk di selesaikan bukanlah berbicara pada tataran siapa yang bersalah, melainkan kita semestinya berusaha untuk terus mewujudkan proses hukum yang sehat.
Telah nampak dengan sangat jelas bahwasannya sederet kasus-kasus penghinaan terhadap seorang hakim adalah benar berawal dari mosi ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia sekalipun.
Hal tersebut tentu bersinggungan langsung dengan teori kesadaran hukum yang dibawakan oleh Sudikno Mertokusumo, yang menegaskan bahwa ketidakpercayaan tersebut lahir karena ketidaktaatan akan hukum dan berujung pada stagnacy pembangunan masyarakat.
Lebih jauh lagi, ketika kita menapakkan telapak kaki ke dalam ruang peradilan sembari menonton jalannya proses persidang. Tergambar dengan jelas bahwa akan terdapat 2 kelompok masyarakat, kelompok yang pertama akan berpihak pada penggugat dan penuntut, sedangkan kelompok lainnya akan berpihak pada orang yang tergugat dan tertuntut. Dalam prosesnya masing-masing kelompok akan fokus pada upaya meyakinkan hakim saja.
ADVERTISEMENT
Sehingga ketika satu putusan keluar dan tidak seseuai dengan yang diinginkan satu pihak, maka akan memicu tindakan penghinaan terhadap hakim dan proses persidangan. Sementara kelompok masyarakat lainnya tidak peduli akan kelanjutan pascaputusan telah lahir, dan hanya fokus atas kemenangan dari proses persidangan yang telah berlangsung. Dari hal mendasar tersebut, dapat kemudian diamati bahwa dari tiap-tiap kelompok masyarakat yang berada dalam ruang persidangan tidak akan ada fokus untuk menanggapi segala bentuk perbuatan penghinaan terhadap Hakim pascaputusan telah dikeluarkan.
Lantas timbul satu pertanyaan tambahan, kira-kira Apa pentingnya kita menjaga Marwah seorang Hakim, ketika Hakim tersebut tidak dapat menjalankan fungsi memeriksa mengadili dan memutus suatu perkara dengan sebaik-baiknya?. Pertanyaan ini sebenarnya cukup sederhana, tetapi pada tataran untuk mempraktikkan pesan dari jawabannya adalah satu hal yang sulit. Ibarat kata kita semua mengharapkan suatu keadilan yang seadil-adilnya, namun di sisi lain Palu keadilan tidak dapat dibunyikan dengan lantang, lantaran wibawa dari seorang Hakim pemilik Palu tersebut telah direndahkan.
Pada tataran normanya, Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang berperan aktif untuk menjaga keluhuran dan martabat seorang Hakim. Palu merupakan lambang keadilan dan senjata utama dari seorang Hakim, sedangkan Komisi Yudisial berada sebagai tameng untuk melindungi para wakil Tuhan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi yang perlu ditekankan kembali adalah, Bagaimana posisi dari masyarakat dalam Singgasana mahkamah ruang peradilan, apakah akan menjadi tameng bersama dengan komisi yudisial, atau hanya sebatas pihak eksternal dari ruang peradilan yang memiliki potensi untuk menyerang keagungan dari proses peradilan.
Dari sanalah dapat ditekankan kembali bahwa diperlukan edukasi yang edukatif bagi masyarakat alam akan pentingnya terhindar dari mosi ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum di Indonesia. Dan bekerja sama serta meningkatkan elaborasi bersama dengan komisi yudisial dalam menjaga keluhuran dan martabat seorang Hakim dalam ranah peradilan mendentumkan Palu keadilan selain mungkin.