Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.3
19 Ramadhan 1446 HRabu, 19 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Menelisik Sebuah Pertautan: Energi, Kemiskinan, dan Lingkungan?
17 Agustus 2024 22:20 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Wahyu Candra Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penemuan api sebagai bentuk energi pertama dalam sejarah peradaban manusia telah membuka pintu kemajuan yang mengubah pola-pola kehidupan secara signifikan. Tidak hanya memainkan peranan penting sebagai tumpuan modernisasi, titik tersebut juga mengawali rantai dependensi yang sangat kuat antara manusia dengan bervariasi bentuk energi. Hingga kini, keberadaan energi menjadi krusial dalam memastikan kelangsungan hidup umat manusia. Lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan dasar dalam skala kecil, energi juga telah bertransformasi menjadi roda-roda penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Kebutuhan akan kuantitasnya semakin meningkat dari masa ke masa, seiring dengan meledaknya jumlah penduduk dunia. Situasi tersebut mendorong munculnya berbagai upaya diversifikasi energi guna memperluas pilihan manusia atas bentuk energi modern yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai hajatnya.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun dapat dikategorikan sebagai kebutuhan dasar untuk survival, berbagai bentuk ketimpangan akses terhadap energi dengan berupa-rupa bentuknya masihlah dapat ditemui di berbagai belahan dunia, utamanya di negara-negara berkembang. Energi dalam peranannya sebagai lokomotif ekonomi global, ternyata tidak hanya berdimensi teknis semata – permasalahan energi tidak terbatas pada jenis energi apa lagi yang bisa dikembangkan agar lokomotif tetap berjalan. Dalam kaitannya dengan penghidupan manusia, energi juga harus dilihat dari sisi sosial, bahwa keberadaanya kini telah disulap menjadi produk konsumsi dengan label kapitalis, dan karenanya menjadi langka untuk kelompok-kelompok dengan daya ekonomi lemah. Bagi Eckholm (1975), perluasan sudut pandang terhadap energi yang demikian ini sangatlah penting, terutama ketika dihadapkan pada tajuk krisis energi.
ADVERTISEMENT
Eckhlom (1975) menyebutnya sebagai the other crisis – sebuah frasa penting yang mengungkap bahwa darurat energi tidak hanya tentang persoalan jumlah, tetapi juga tentang kesenjangan akses yang harus dihadapi oleh kelompok masyarakat tepian dalam balutan kemiskinan. Gagasan Eckhlom yang muncul lebih dari empat dekade silam ini, ternyata masihlah releven untuk menggambarkan potret energi masa kini. Di tengah hiruk pikuk wacana krisis energi yang muncul dalam skala global dengan suara yang sangat lantang dan bagaimana moda-moda ekonomi negara terancam karena kurangnya pasokan, terdapat kelompok-kelompok pra-sejahtera yang bahkan tidak memiliki kapasitas untuk mengakses bentuk energi lain, selain biomassa. Lebih dari sekedar nirakses, interseksi energi dan kemiskinan semacam ini pun juga sering luput dari perhatian elit politik. Akibatnya, upaya penanganan problematika tersebut acap kali tidak terlihat dalam agenda-agenda kebijakan publik sehingga memungkinkan munculnya masalah sosial yang sifatnya struktural. Lebih jauh lagi, sebuah kajian menarik dari Masron dan Subramaniam (2019) juga mengungkap adanya hubungan penting antara energi dan kemiskinan – selain saling mempengaruhi, pertautan diantara keduanya berdampak pula pada aspek-aspek lingkungan. Bagaimana bisa demikian?
ADVERTISEMENT
Menyingkap Relasi Penting yang Terpinggirkan
Bahasan mengenai energi lebih seringkali didiskusikan dalam ranah makro, diwarnai dengan bahasa-bahasa teknis tinggi yang sering tidak terjamah oleh infrapolitik. Topik energi begitu kental dengan masalah kuantifikasi, pertumbuhan ekonomi, kerusakan ekologi, atau tantangan pemenuhan kebutuhan energi nasional. Sebagai konsekuensi, problematika mikro yang melibatkankan interseksi antara energi dan kemiskinan menjadi terpinggirkan. Padahal, relasi ini demikian krusial, utamanya dalam situasi saat ini ketika banyak negara dihadapkan pada prospek kemandegan pembangunan karena kurangnya pasokan energi dan degradasi lingkungan yang semakin parah akibat penggunaan energi konvensional dalam skala masif. Menyingkap relasi penting energi-kemiskinan berpotensi membuka keran yang selama ini tersumbat dalam upaya mencapai kemajuan yang tanpa mengorbankan lingkungan.
Pertama, relasi energi-kemiskinan ini ternyata merupakan sebuah perangkap yang menghambat pengentasan masyarakat pra-sejahtera. Masud dkk. (2007) menyebutkan keberadaan energi memungkinkan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia: makanan yang dimasak, suhu yang sesuai untuk kelangsungan hidup, penerangan, sistem pipa dan pembuangan limbah, layanan kesehatan modern, serta pendidikan dan komunikasi. Tanpa akses yang luas terhadap energi, maka masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh sebagian layanan yang mendukung penghidupan mereka. Situasi inilah yang dihadapi oleh mayoritas kelompok kelas bawah di area pedesaan. Dengan daya ekonomi yang rendah, masyarakat miskin seringkali memiliki keterbatasn akses terhadap berbagai bentuk energi modern. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, kelompok-kelompok ini hanya bisa mengandalkan energi konvensional dari biomassa – sebuah proses pembakaran dengan bahan-bahan yang bisa didapat dari alam tanpa biaya.
ADVERTISEMENT
Selain terbatas, penggunaan biomassa juga mengharuskan kelompok ini untuk menghabiskan banyak waktu mereka guna mencari sumber-sumber input energi yang bisa dibakar, seperti kayu atau daun-daun kering. Proses pengumpulan bahan biomassa yang tidak efisien dan melelahkan, menghilangkan setengah potensi pendapatan yang bisa diperoleh oleh rumah tangga. Hal ini menimbulkan efek domino dan sirkular – lenyapnya potensi pendapatan berdampak pada terkikisnya akses terhadap pendidikan dan optimalisasi produktivitas yang penting bagi terbukanya jalan keluar dari kemiskinan. Akhirnya, sangat sulit bagi kelompok ini untuk mengurai simpul-simpul kerentanan yang menjebak mereka.
Kedua, ketergantungan yang kuat dari masyarakat miskin terhadap energi biomassa ternyata berdampak pula pada kualitas lingkungan. Bahan bakar biomassa bisa didapat dari alam dan menurut Aggrey dkk. (2010), produk-produk alam sering dianggap sebagai barang publik yang mempunyai aksesibilitas umum dan tidak memiliki hak milik. Karenanya, kelompok masyarakat ini bisa saja melakukan eksploitasi yang memicu degradasi lingkungan. Selain itu, biomassa sebagai energi memiliki kualitas yang sangat rendah. Proses pembakarannya tidak saja menghasilkan asap yang berbahaya bagi kesehatan, tetapi juga karbon yang berdampak negatif bagi biosfer.
ADVERTISEMENT
Keterpautan energi-kemiskinan-lingkungan dan bagaimana hubungan ketiganya melahirkan kembali siklus kerentanan ekonomi dan ekologi adalah sebuah kenyataan yang masih sering terlihat, terutama di belahan bumi Selatan. Namun, keberadaannya sering luput dari perhatian dan jebakan siklus ini menjelma menjadi misteri sumbatan bagi pembangunan berkelanjutan yang tak terselesaikan. Jika memang negara bertujuan untuk menciptakan harmonisasi sustainabilitas dan pertumbuhan ekonomi, maka mengangkat fenomena ini dalam agenda-agenda kebijakan menjadi penting untuk dilakukan. Menyegerakan transisi energi hijau yang lebih bersih dan terjangkau, misalnya, dapat menjadi pilihan kebijakan prioritas untuk mengurai lingkaran energi-kemiskinan-lingkungan. Namun, lebih dari itu, negara juga memiliki keharusan untuk memastikan adanya transisi yang adil dengan mengedepankan akses energi untuk semua tanpa ketimpangan.