Konten dari Pengguna

Victim Blaming pada Kasus Kekerasan Seksual dengan Relevansi Pengesahan RUU PKS

Candya Upavata
Undergraduate student of law at UPN Veteran Jakatarta
16 Desember 2020 9:32 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Candya Upavata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Budaya victim blaming yang sering terjadi di masyarakat terhadap korban kekerasan seksual.
zoom-in-whitePerbesar
Budaya victim blaming yang sering terjadi di masyarakat terhadap korban kekerasan seksual.
Victim blaming adalah sikap yang menunjukkan bahwa korban dan bukan pelaku lah yang seharusnya bertanggung jawab atas sesuatu yang terjadi. Dalam hal kasus kekerasan seksual, budaya menyalahkan korban atau victim blaming sering terjadi di masyarakat. Hal tersebut karena banyak masyarakat yang masih mengasumsikan bahwa korban lah yang bertanggung jawab atas terjadinya tindak kekerasan seksual tersebut seperti berpakaian minim, tindakan yang menggoda lawan jenis, hingga kata-kata rayuan yang dianggap memprovokasi terjadinya pelecehan seksual bahkan berujung kekerasan seksual. Budaya tersebut dijadikan alasan utama para penyintas kekerasan seksual untuk tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib atas tindakan yang terjadi kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Menurut data Komnas Perempuan, dalam kurun waktu selama 12 tahun, yaitu antara tahun 2008 hingga 2019, mencatatkan kasus kekerasan seksual meningkat sebanyak 792%, yang artinya selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Budaya normalisasi kekerasan seksual atau yang sering disebut dengan rape culture juga menjadi penyebab tingginya kasus kekerasan seksual. Hal tersebut menandakan hukum positif di Indonesia yang kurang responsif untuk mengakomodasi permasalahan kasus kekerasan seksual. Oleh karena itu, dibutuhkan pembaruan hukum untuk merespon kedaruratan kekerasan seksual yang mengatur secara spesifik dan memberikan jaminan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual agar tidak terjadinya stigmatisasi korban oleh masyarakat berupa adanya victim blaming.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini belum mengatur pengertian dan penjelasan secara khusus terkait dengan tindak pidana kekerasan seksual. Sementara itu, perkembangan dinamika sosial menimbulkan banyaknya jenis kekerasan seksual yang belum diatur dalam undang-undang. Komnas Perempuan melalui risetnya selama 15 tahun menyimpulkan bahwa terdapat 15 bentuk kekerasan seksual. Maka dibuatlah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai upaya untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan perlindungan dan kepastian hukum terhadap tindak kekerasan seksual. Akan tetapi, pada awal tahun 2020, DPR mencabut 16 RUU dari PROLEGNAS yang salah satunya adalah RUU PKS.
ADVERTISEMENT
Urgensi pembahasan RUU PKS untuk disahkan adalah salah satunya karena RUU PKS juga mengakomodasi perlindungan korban kekerasan seksual dari budaya victim blaming yaitu terkait adanya regulasi berupa hak penanganan, hak perlindungan, dan hak pemulihan korban dengan banyaknya pengaturan tentang usaha untuk tidak memberikan stigma kepada korban, seperti pengaturan tentang larangan-larangan bagi aparat penegak hukum menyalahkan korban, menggali riwayat seksual korban dan mempublikasikan identitas korban.
Pada RUU PKS juga terdapat pembaruan yaitu pada Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Keterangan seorang Korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya". Hal tersebut menjadikan korban kekerasan seksual dapat melaporkan kasus yg dialami dengan keterangan dirinya sebagai saksi kejadian tanpa memerlukan orang lain sebagai saksi dengan satu alat bukti lain yang menguatkan seperti hasil visum. Oleh karena itu, diperlukan pengesahan RUU PKS sebagai payung hukum bagi korban kekerasan seksual agar dapat membela hak nya dan menjadi salah solusi terhadap budaya victim blaming yang sering terjadi.
ADVERTISEMENT