Konten dari Pengguna

Penggemar K-Pop sebagai Kelompok yang Rentan Mendapatkan Ujaran Kebencian

Cantika Rani
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
25 November 2024 13:16 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cantika Rani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Created by Bing-https://www.bing.com/images/create/hate-or-cyberbullying-towards-k-pop27s-fandom-in-so
zoom-in-whitePerbesar
Created by Bing-https://www.bing.com/images/create/hate-or-cyberbullying-towards-k-pop27s-fandom-in-so
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir ini, industri K-Pop telah semakin gencar dalam melakukan promosi yang menyasar audiens secara global, dan Indonesia menjadi salah satu pasar terbesar bagi industri K-Pop. Dilansir dari Goodstats, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan jumlah streaming K-Pop terbanyak di dunia (Prasastisiwi, 2024). Hal yang menjadi keunikan dari industri K-Pop adalah mereka tidak hanya menawarkan musik. Solois atau grup idola K-Pop debut dengan berbagai konsep yang berbeda-beda. Salah satu aspek yang menonjol dari para idola K-Pop ini adalah visual atau penampilan mereka yang menarik. Dengan standar kecantikan yang sangat ketat, mayoritas idola K-Pop memiliki visual diatas rata-rata yang sering kali dianggap sempurna oleh para penggemarnya. Popularitas K-Pop ini memicu terbentuknya fandom-fandom yang kemudian menghasilkan participatory culture, mulai dari budaya streaming, budaya voting, hingga mengoleksi album dari idola atau grup K-Pop favoritnya.
ADVERTISEMENT
Dalam media digital seperti media sosial, penggemar K-Pop sering kali bersemangat dalam merepresentasikan dirinya sebagai penggemar. Misalnya dengan menggunakan foto idola K-Pop favoritnya sebagai foto profil, memberi likes, comment, dan melakukan share pada unggahan dan konten mengenai idola atau grup K-Pop favoritnya, melakukan sing cover atau dance cover, dan bahkan membuat berbagai video edit mengenai K-Pop. Bagi mereka, idola K-Pop beserta berbagai kontennya dapat menjadi sumber inspirasi, hiburan, dan penyemangat dalam hidupnya. Akan tetapi, Penggemar K-Pop di Indonesia sering kali menjadi sasaran ujaran kebencian dari mereka yang tidak menyukai genre musik ini. Ujaran kebencian ini sering terlihat dalam berbagai media sosial. Contohnya dalam media sosial X (Twitter), penelitian oleh Qisti (2021) menemukan ada sekitar 60 unggahan bernada negatif yang ditujukan kepada penggemar K-Pop di X (Twitter) pada periode Januari hingga Maret 2021. Salah satu bentuk kebencian terhadap penggemar K-Pop yang sering ditemukan ini adalah penggunaan ejekan “Pemuja plastik” dan anggapan bahwa penggemar K-Pop tidak memiliki rasa nasionalisme terhadap negaranya sendiri.
ADVERTISEMENT
Anggapan negatif dan ujaran kebencian terhadap penggemar K-Pop dalam media sosial ini merupakan salah satu bentuk kekerasan komunikasi yang terjadi dalam konteks digital, yang tergolong sebagai kekerasan interpersonal. Upaya untuk merendahkan penggemar K-Pop melalui komentar yang sarat akan hinaan dalam media sosial juga dapat dikategorikan sebagai cyberbullying yang dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mental para penggemar K-Pop yang menjadi korban kekerasan verbal tersebut. Selain di media sosial X atau Twitter, kekerasan komunikasi yang berkaitan dengan penggemar K-Pop juga terlihat pada media sosial Instagram. Fitria (2022) menyatakan bahwa Instagram merupakan salah satu cyberspace yang menjadi arena perang antara fans K-Pop dengan haters K-Pop. Penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa perang antara fans dan haters K-Pop ini sarat akan perilaku flaming, dimana ekspresi kebencian terlihat dari sikap saling melontarkan kata kasar dan saling menghina ketika berdebat melalui fitur komentar atau fitur story dalam Instagram (Fitria, 2022). Perang antara fans dan haters K-Pop ini berpotensi memicu konflik yang berkepanjangan, dan bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental para individu yang terlibat di dalamnya. Dalam contoh kasus tersebut, kekerasan komunikasi yang terjadi dapat berupa kekerasan interpersonal dan kekerasan kolektif.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi dan kekerasan terhadap penggemar K-Pop juga bisa terlihat dari bagaimana sebuah media merepresentasikan penggemar K-Pop. Artinya, media di Indonesia bisa berperan dalam membentuk stigma dan stereotip negatif mengenai penggemar K-Pop. Misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh Silvia dan Kurniawan (2022) yang bertujuan untuk menganalisis stigmatisasi fandom perempuan penggemar K-Pop di salah satu kanal media berita Indonesia, mereka menemukan bahwa terdapat indikasi diskriminasi terhadap penggemar K-Pop, khususnya penggemar perempuan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berita-berita yang dirilis oleh media tersebut cenderung memperkuat stigma terhadap penggemar K-Pop perempuan melalui penggunaan gaya bahasa yang cenderung menampilkan penggemar K-Pop perempuan sebagai individu yang gila atau fanatik terhadap idola mereka, seolah-olah mereka memiliki permasalahan psikologis, dan bersifat irasional atau bertindak tanpa mempertimbangkan akal sehat (Silfia & Kurniawan, 2022). Di Indonesia, ada anggapan bahwa penggemar K-Pop didominasi oleh perempuan. Oleh karena itu, stereotip yang melekat pada penggemar K-Pop di Indonesia tidak lepas dari pengaruh unsur budaya patriarki dan misogini, dimana perempuan dilihat sebagai makhluk yang rasionalitasnya lebih rendah dari laki-laki. Padahal, perilaku fandom K-Pop sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fandom olahraga sepak bola yang didominasi oleh laki-laki. Namun karena fandom K-Pop dianggap sebagai ranahnya perempuan, maka aktivitas yang dilakukan oleh fandom K-Pop sering kali dianggap lebih rendah, remeh, dan tidak rasional. Hal ini bisa terlihat dari adanya anggapan bahwa perempuan yang menyukai sepak bola dianggap keren, namun laki-laki yang menyukai K-Pop sering dilekatkan dengan label negatif, bahkan terkadang diasosiasikan dengan LGBT karena laki-laki yang menyukai K-Pop sering kali dianggap sebagai laki-laki feminin yang tidak sesuai dengan standar maskulin di negara Indonesia. Lagi-lagi ini menunjukkan besarnya pengaruh budaya patriarki yang membuat toxic masculinity begitu mengakar di Indonesia. Ketimpangan fandom ini juga dapat dilihat sebagai bentuk seksisme terhadap perempuan, karena seolah menempatkan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Oleh karena itu, keberanian penggemar laki-laki terhadap K-Pop juga bisa dianggap sebagai perlawanan atas dominasi toxic masculinity yang ada di Indonesia. Laki-laki yang terbelenggu oleh norma maskulinitas di Indonesia umumnya menganggap bahwa ketertarikan pada K-Pop adalah hal yang memalukan. Hal ini karena K-Pop sering kali direpresentasikan sebagai hal yang feminin. Namun, beberapa penggemar K-Pop laki-laki melihat bahwa dengan menjadi penggemar K-Pop, mereka bisa mengekspresikan diri dengan cara yang lebih bebas dan autentik. Dari sini kita bisa melihat bahwa fandom K-Pop dapat berkontribusi pada perubahan persepsi tentang maskulinitas di kalangan penggemar laki-laki (Ummi, Zahra, & Sazali, 2023).
ADVERTISEMENT
Meskipun penggemar K-Pop rentan menjadi korban kekerasan komunikasi dalam konteks digital, sebenarnya idola K-Pop itu sendiri pun juga rentan menjadi sasaran kebencian. Contohnya pada piala dunia 2022 ketika Jungkook BTS menerima ujaran kebencian karena ia mengisi opening ceremony Fifa World Cup 2022. Penelitian yang dilakukan Annisa pada tahun 2023 menemukan bahwa terdapat komentar jahat di beberapa unggahan media sosial Instagram dan Twitter yang bermunculan dalam kurun waktu empat minggu, terhitung sejak 13 November 2022 hingga 18 Desember 2022. Ujaran kebencian itu berupa komentar diskriminatif yang bernada kasar, menyinggung, menghina, hingga penggunaan kalimat provokatif dengan menggunakan dalih kebebasan berpendapat dalam media sosial (Annisa, 2023). Dari kasus-kasus ini seharusnya dapat dipahami bahwa kebebasan berpendapat dalam media sosial tidak semerta-merta memperbolehkan kita untuk melakukan kekerasan komunikasi dalam platform digital. Penggemar atau fandom K-Pop sejatinya memiliki kesetaraan yang sama dengan fandom-fandom lainnya, yang artinya tidak lebih baik dan tidak lebih buruk. Maka dari itu, kekerasan komunikasi dalam konteks digital perlu dihindari karena dapat berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang-orang lain yang terlibat di dalamnya.
ADVERTISEMENT