Konten dari Pengguna

Ambiguitas Joint Development Dalam Kerja Sama Maritim Indonesia-China 2024

Cantika Angeliana Sherly Margaretta
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Sebelas Maret
12 Mei 2025 14:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cantika Angeliana Sherly Margaretta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.shutterstock.com/id/image-vector/south-china-sea-islands-political-map-1112926487
zoom-in-whitePerbesar
https://www.shutterstock.com/id/image-vector/south-china-sea-islands-political-map-1112926487
ADVERTISEMENT
Hubungan antara Indonesia dengan China secara historis telah berlangsung sejak lama, terutama sebagai mitra perdagangan dan sumber investasi bagi Indonesia, yang mana lebih dari USD 7 miliar dolar dialokasikan untuk pengolahan komoditas dan infrastruktur. Hingga saat ini kedekatan kedua negara ini semakin berkembang dengan terlaksananya beberapa kerja sama di berbagai sektor.
ADVERTISEMENT
Pada 9 November 2024, dalam perjalanan perdana nya ke luar negeri setelah resmi terpilih menjadi presiden Indonesia ke-8, Presiden Prabowo Subianto menyempatkan untuk melakukan sebuah perundingan kerja sama bilateral di bidang maritim bersama dengan pemimpin negara China, Presiden Xi Jinping, di Great Hall of the People, Beijing. Terpilihnya China sebagai negara pertama yang dikunjungi oleh Presiden Prabowo membuktikan bahwa China merupakan mitra yang penting bagi Indonesia. Pengakuan Prabowo menyatakan bahwa China bukan hanya sebuah negara yang kuat, namun juga peradaban yang besar.
Kesempatan pertemuan antara kedua pemimpin negara tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan untuk membentuk kerja sama di bidang maritim yang ditandatangani melalui Memorandum of Understanding (MoU). Cakupan dalam kerja sama ini difokuskan pada sektor ekonomi, terutama perikanan dan konservasi ikan yang nantinya diharapkan dapat menjadi model untuk menjaga perdamaian dan hubungan persahabatan. Selain itu, dalam Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemlu), juga menyampaikan bahwa kerja sama ini juga berkaitan dengan aturan kewilayahan, yang meliputi: (1) Undang-undang ratifikasi perjanjian laut internasional (UNCLOS 1982), (2) Ratifikasi perjanjian bilateral terkait status hukum perairan maupun delimitasi batas maritim, (3) Peraturan tentang tata ruang dan konservasi laut, pengelolaan perikanan, perpajakan, dan lainnya. Namun, dari berbagai kesepakatan dan dokumen-dokumen yang telah ditandatangani, terdapat Pernyataan Bersama (Joint Development) yang menarik perhatian para akademisi Indonesia. Dalam Joint Development tersebut berisi tentang pengembangan perikanan, minyak, dan gas bersama di wilayah maritim yang klaimnya tumpang tindih antara kedua negara, keselamatan maritim, dan memperdalam kerja sama bilateral di sektor ekonomi biru, sumber daya air, mineral, dan mineral hijau.
ADVERTISEMENT
Pernyataan "klaim tumpang tindih" atau overlapping claims yang ada dalam isi Joint Development tepatnya pada paragraf 2 poin 9 inilah yang kemudian dianggap cukup ambigu, sebab Indonesia sejak dulu tidak memiliki klaim tumpang tindih dengan klaim nine-dash-line milik China di kawasan Laut China Selatan. Wilayah kekuasaan Indonesia di kawasan tersebut sudah jelas dan tidak mengakui adanya klaim sepihak oleh China yang juga tidak sah berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), yang mengatur tentang hukum laut dalam perjanjian internasional.
Pandangan Para Pakar Mengenai Kesepakatan Joint Development
Aristyo Rizka Darmawan, seorang akademisi dan pengamat Hubungan Internasional di Universitas Indonesia, menjadi salah satu tokoh yang cukup vokal dalam memberikan pandangan kritisnya terkait kesepakatan Indonesia dan China dalam joint development. Aristyo menganggap dengan ditandatanganinya join t development yang didalamnya terkandung kesepakatan tentang pengembangan bersama wilayah maritim yang berada dalam situasi klaim tumpang tindih, maka Indonesia secara tidak langsung dan terbuka telah mengakui adanya nine-dash-line China. Di sisi lain, Aristyo juga merasa janggal dengan kesepakatan "joint development", di mana artinya Indonesia akan berbagi sumber daya yang merupakan hak berdaulat milik Indonesia namun akhirnya harus berbagi dengan China yang notabene tidak memiliki hak sama sekali. Hal ini tentunya akan sangat merugikan Indonesia, sedangkan dalam konsep kerja sama bilateral sudah jelas bahwa kesepakatan kerja sama yang dijalin harus menguntungkan kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Respon serupa juga disampaikan oleh Merisa Dwi Juanita, seorang peneliti di SETARA Institute. Merisa menilai keputusan yang diambil pemerintah Indonesia tentang joint development dengan China sangat bersiko dan mengancam kedaulatan wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Bahkan sebelum adanya kesepakatan ini, beberapa kali para penjaga pantai dan nelayan-nelayan asal China telah berulang kali ditemukan melakukan penangkapan ikan ilegal di Laut Natuna Utara.
Dalam hubungan kerja sama bilateral antara dua negara, pada umumnya kerja sama yang dijalin dilakukan untuk meraih tujuan bersama melalui proses saling membantu dan memahami satu sama lain, serta memberikan keuntungan yang setara bagi kedua pihak yang terlibat. Meski begitu, kelemahan dalam kerja sama bilateral juga tidak bisa diabaikan. Salah satunya yaitu terkadang ada kalanya ketika kerja sama bilateral antara kedua negara bukan lagi terhadap perbaikan dan manfaat lingkungan, namun beralih fokus ke ekonomi. Akibatnya, pergeseran semacam ini akan secara signifikan akan mengurangi efektivitas kerja sama dalam hubungan kerja sama bilateral. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran para pakar terkait kesepakatan joint development Indonesai dengan China. Mereka khawatir akan adanya celah yang dapat merugikan Indonesia akibat adanya pernyataan bersama yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara dan pengakuan terhadap nine-dash-line China secara tersirat.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Pers Kementerian Luar Negeri Indonesia
Menanggapi berbagai kritikan dan keresahan dari para pakar, Kemlu pada 11 November 2024 mengeluarkan keterangan pers resmi terkait kesepakatan yang dibuat Indonesia dengan China dalam joint development. Mereka menegaskan bahwa kerja sama ini tidak akan memengaruhi kewajiban internasional dan kontrak yang telah berlaku, serta bukan merupakan bentuk pengakua atas klaim nine-dash-line China. Untuk kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia sendiri di Laut Natuna Utara juga tidak akan terpengaruh. Pemerintah percaya bahwa kerja sama ini sekaligus mendukung penyelesaian Code of Conduct di Laut Cina Selatan demi stabilitas kawasan.
Meskipun Kemlu telah mengeluarkan keterangan pers dan menyatakan bahwa joint development yang telah disepakati tidak berarti mengakui klaim nine-dash-line milik China, namun pernyataan ini tetap bertolak belakang dengan dokumen joint development yang tertulis. Di sisi lain, tindakan Indonesia ini juga dimengerti sebagai salah satu langkah untuk menggaet para investor, namun pemerintah Indonesia kedepannya sangat perlu untuk meninjau kembali setiap kesepakatan kerja sama yang akan dijalin supaya tidak ada celah yang dapat merugikan Indonesia sendiri nantinya.
ADVERTISEMENT