Konten dari Pengguna

Dinamika Konektivitas ASEAN

Caren Marvelia Jonathan
kumparan Buddies - Universitas Indonesia
15 Mei 2023 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Caren Marvelia Jonathan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sekretaris Jenderal ASEAN Dr Kao Kim Hourn saat bertemu dengan 12 Attachment Officers (AO) dari negara-negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, and Vietnam) pada Kamis, 27 April 2023. Foto: Sekretariat ASEAN
zoom-in-whitePerbesar
Sekretaris Jenderal ASEAN Dr Kao Kim Hourn saat bertemu dengan 12 Attachment Officers (AO) dari negara-negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, and Vietnam) pada Kamis, 27 April 2023. Foto: Sekretariat ASEAN
ADVERTISEMENT
Sebagai institusi regional di wilayah Asia Tenggara, ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) berupaya untuk menjaga stabilitas kawasan dengan meningkatkan konektivitas bagi negara-negara anggotanya. Konektivitas sendiri menjadi salah satu agenda prioritas dan urgensi terbesar di ASEAN.
ADVERTISEMENT
Adanya suatu konektivitas tentu berpengaruh bagi keberlangsungan ASEAN yang dapat memberikan banyak keuntungan melalui peningkatan perdagangan, investasi, pariwisata, people-to-people connection, dan pembangunan. Konektivitas pun dapat dimaknai sebagai kondisi saling ketergantungan dan pengaruh timbal balik di antara elemen-elemen dalam suatu sistem spesifik.
Dengan begitu, perubahan dalam suatu unit akan memengaruhi unit lainnya sehingga memunculkan kepentingan untuk saling menjaga. Dalam konteks ASEAN, negara-negara anggota berperan sebagai bagian dari sistem institusi regional ASEAN yang diharapkan dapat saling terkoneksi dan berinteraksi secara aktif satu sama lain.
ASEAN sendiri telah menyadari signifikansi konektivitas dalam meningkatkan perkembangan ASEAN yang tertuang dalam beberapa dokumennya. Dokumen tersebut antara lain Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC) tahun 2010, MPAC 2025, dan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, MPAC 2010 berusaha untuk meningkatkan konektivitas melalui pembangunan infrastruktur, peningkatan kapabilitas institusi, dan meningkatkan hubungan manusia intra-ASEAN. Sementara itu, MPAC 2025 memperlebar strategi dari MPAC 2010 dengan adanya inovasi digital dan infrastruktur berkelanjutan. Selanjutnya, AOIP 2019 menaruh fokusnya pada kerja sama maritim dan mengeksplorasi sinergi dengan kerja sama subregional yang berada di dalam ASEAN.
Kendati demikian, upaya ASEAN untuk mengimplementasikan inisiatif dalam MPAC masih belum maksimal. Dari 91 inisiatif yang terdapat dalam MPAC 2010, ASEAN baru bisa merealisasikan 39 inisiatif.
Ilustrasi negara-negara anggota ASEAN. Foto: Shutterstock
Faktor yang menjadi penghambat tercapainya konektivitas dalam ASEAN ialah keragaman karakter geografis, ketimpangan infrastruktur, dan keterbatasan kapabilitas negara anggota untuk menyediakan dana serta fasilitas pendukung. Oleh karena itu, pembentukan kerja sama subregional dipandang menjadi opsi untuk mengatasi kendala tersebut.
ADVERTISEMENT
Kerangka kerja sama subregional dapat menjadi sebuah alternatif karena beberapa alasan, yakni: (1) cakupan wilayah kerja sama yang lebih spesifik; (2) lingkup geografis yang lebih terjangkau; (3) dan jumlah negara yang lebih sedikit dalam negosiasi. Alhasil, kerja sama subregional diharapkan dapat lebih terfokus dan efektif sehingga meminimalkan kompleksitas dalam upaya membangun konektivitas.
Adapun sebagian utama dari kerja sama subregional yang berkontribusi pada konektivitas ASEAN antara lain Greater Mekong Subregion (GMS), Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), dan Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA).
Pertama, GMS adalah sebuah kerja sama yang digagas oleh negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, and Vietnam), Thailand, dan Tiongkok di area Sungai Mekong pada 1992. GMS telah mengesahkan Cross-Border Transport Agreement, mengurangi ketimpangan ekonomi, dan membangun sistem transportasi untuk perdagangan lintas batas.
ADVERTISEMENT
Kedua, IMT-GT didirikan pada 1993 dan telah mengembangkan Special Border Economic Zones, membangun keterhubungan, dan meningkatkan wisatawan antarnegara anggota. Ketiga, BIMP-EAGA didirikan pada 1994 dengan tujuan meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial di wilayah kurang berkembang di ASEAN.
Akan tetapi, pandemi COVID-19 yang berlangsung turut menjadi penghambat dari pencapaian konektivitas ASEAN. Hal ini dikarenakan pandemi COVID-19 telah menutup perbatasan antaranegara ASEAN yang bertolak belakang dengan strategi mobilitas masyarakat. Perdagangan intra-ASEAN pun turun dari US$ 632,6 miliar pada tahun 2019 menjadi US$ 549,8 miliar pada tahun 2020.
Sebagai kesimpulan, konektivitas dalam ASEAN dapat dilihat masih menjumpai sejumlah tantangan besar. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi yang jelas di antara ASEAN dan kerja sama subregional yang ada. Kehadiran kerja sama subregional harus benar-benar melengkapi ASEAN dengan saling bersinergi, bukan sebagai substitusi atau bahkan memecah belah integrasi negara anggota ASEAN.
ADVERTISEMENT