Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Menilik Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital
26 Januari 2023 16:04 WIB
Tulisan dari Caren Marvelia Jonathan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang begitu masif di era digital ini tak dapat dimungkiri telah membawa perubahan signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan TIK dalam memfasilitasi interaksi sosial secara lebih cepat dan mudah dapat menciptakan momentum yang mempermudah kemunculan suatu gerakan sosial. Namun, kehadiran TIK dalam gerakan sosial kerap menimbulkan berbagai perdebatan di kalangan akademisi atas dampak nyata yang dihasilkannya, seperti “apakah eksistensi TIK terbukti secara efektif menyukseskan suatu gerakan sosial?”
ADVERTISEMENT
Salah satu akademisi yang menyorot perdebatan tersebut adalah Jack J. Barry dengan menganalisis pengaruh TIK terhadap gerakan sosial, termasuk polemik yang mewarnainya. Hal ini menjadi menarik untuk mengupas tulisan Barry dalam karyanya yang bertajuk Social Movements in the Digital Age pada buku Information Politics, Protests, and Human Rights in the Digital Age. Barry membuka tulisannya dengan memaparkan perdebatan antara Malcolm Gladwell dan Clay Shirky dalam menilik peran teknologi digital pada gerakan sosial. Perdebatan ini bermula pasca munculnya laporan bahwa Twitter memainkan peran signifikan dalam Gerakan Hijau pada tahun 2009 di Iran. Bagi Gladwell, gerakan sosial berbasis digital, khususnya media sosial, hanyalah membentuk ‘ikatan lemah’ atau yang disebut clicktivism, alih-alih menumbuhkan ‘ikatan kuat’ agar gerakan sosial berjalan dengan efektif. Di sisi lain, Shirky—yang juga didukung Barry—meyakini bahwa teknologi digital merupakan alat penting bagi partisipasi politik dan organisasi, serta dapat menciptakan kembali aktivisme sosial sehingga memudahkan mereka yang powerless untuk berkolaborasi dan menyuarakan keprihatinan mereka.
ADVERTISEMENT
Sebelum melangkah lebih jauh, Barry menjelaskan bahwa gerakan sosial—secara konseptual—muncul dari adanya ketidakpuasan kelompok terhadap otoritas politik yang berdaulat. Gerakan sosial dapat dikatakan memiliki tiga karaktertistik utama, yakni: (1) sekelompok orang yang berusaha membangun tatanan sosial baru yang radikal; (2) partisipan gerakan tersebut bukanlah golongan elite; dan (3) pergerakan partisipan biasanya menggunakan taktik yang konfrontatif dan disruptif.
Secara historis, gerakan sosial sendiri telah melewati tiga gelombang. Dalam gelombang pertama pada 1950-an, gerakan sosial dilihat sebagai disfungsional, irasional, tidak diinginkan, dan merupakan produk dari proses struktural. Memasuki gelombang kedua, gerakan sosial dibentuk oleh protes yang berkembang di negara-negara industri pada 1960-an dan melahirkan teori New Social Movements (NSM). Gelombang kedua ini lebih terfokus pada isu dan peka terhadap ketidaksetaraan politik, ekonomi, maupun sosial. Pada gelombang ketiga (1970-an), gerakan sosial menekankan pentingnya budaya bersama yang dilihat melalui pendekatan identity-formation. Beralih ke gerakan sosial di era digital pada awal 1990-an, teori NSM dan pendekatan identity-formation dinilai berperan penting dalam pemahaman teoretis gerakan modern. Kehadiran TIK, khususnya internet, memberikan harapan dan semangat bahwa TIK mampu mengubah struktur kekuatan politik secara radikal. Walakin, pada awal 2000-an, proyek pembangunan yang menggunakan internet mengalami kesulitan substansial di negara-negara berkembang sebab didominasi bahasa Inggris. Antusiasme kemudian mulai bergeser kembali ke penyelidikan dampak TIK terhadap pembangunan dan pemberdayaan politik mulai akhir 2000-an.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Barry menguraikan bagaimana gerakan sosial kontemporer telah dipengaruhi oleh TIK dengan berbagai cara. Pertama, TIK mampu melakukan diseminasi informasi secara efisien sehingga mengurangi kesenjangan informasi antara masyarakat dan pemerintah, serta menjadi saluran penting untuk menekan pemerintah agar bersikap kredibel, transparan, dan akuntabel. Kedua, TIK dapat mempersempit jarak dan melompati batas antarnegara sehingga mempermudah komunikasi dan pertukaran ide antaraktor internasional dalam mencanangkan terbentuknya suatu gerakan sosial. Ketiga, TIK memperkaya taktik yang digunakan dalam gerakan sosial. Tidak hanya membantu pelaksanaan taktik tradisional, TIK juga menciptakan mode aksi kolektif baru, seperti petisi daring, email bombings, hingga peretasan situs web. Keempat, TIK telah menghasilkan lebih banyak koneksi antarindividu dan mampu meningkatkan modal sosial yang pada akhirnya mendorong gerakan sosial. Terakhir, TIK memungkinkan gerakan sosial untuk diorganisir secara lebih fleksibel, tersebar, dan horizontal sehingga tidak lagi bersifat top-down dan kaku.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, Barry juga tidak menyangkal bahwa terdapat tiga hambatan utama bagi gerakan sosial untuk dapat memanfaatkan TIK secara efektif. Hambatan pertama berkaitan dengan akses masyarakat terhadap teknologi itu sendiri yang masih timpang, baik karena biaya yang tinggi hingga kendala edukasi dan bahasa. Kedua, penggunaan TIK juga terhambat sebab kendali dan pengawasan ketat dari pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah acapkali menggunakan TIK untuk memata-matai, mengumpulkan informasi, hingga meredam protes dari masyarakat. Hambatan ketiga sejalan dengan perdebatan utama dalam aktivisme daring, yaitu fenomena clicktivism. Hal tersebut menjadi hambatan karena solidaritas yang terbangun dalam media sosial hanya melibatkan sedikit komitmen dan ikatan yang terbentuk tidak begitu kuat sehingga gerakan sosial yang tampak diikuti oleh jutaan orang secara daring belum tentu menandakan kesuksesan dari suatu gerakan. Tanpa menampik hambatan yang muncul dari penggunaan TIK pada gerakan sosial, Barry memandang bahwa difusi teknologi digital baru ke masyarakat di seluruh dunia mengarah pada perubahan lingkungan sosial-politik yang positif guna membantu gerakan sosial mendapatkan momentumnya.
ADVERTISEMENT
Selain Barry, Amira Waworuntu turut memberikan uraian mengenai gerakan sosial di era digital dalam tulisannya yang berjudul “Optimalisasi Information and Communication Technologies sebagai Pendukung Gerakan Advokasi dalam Revolusi Mesir 2011”. Secara khusus, Waworuntu menganalisis peran TIK sebagai pendukung gerakan advokasi dalam Revolusi Mesir yang terjadi pada awal 2011 atau dikenal sebagai “The Social Media Revolution”. Banjirnya penggunaan TIK dan akses terhadap cyberspace telah memfasilitasi masyarakat Mesir untuk saling berinteraksi dan mempersuasi. Senada dengan argumen Barry, Waworuntu meyakini bahwa TIK memiliki kemampuan untuk mendiseminasikan informasi, menyebarkan nilai-nilai yang dibawa para aktivis, serta memberikan kesempatan bagi masyarakat transnasional untuk mengemukakan aspirasi, nilai, dan ide dalam rangka gerakan sosial. Menurutnya, TIK berpotensi menjadi salah satu instrumen soft power yang bersendikan pada bentuk persuasi dari adanya jaringan informasi. Konten-konten yang disebarluaskan melalui TIK, baik video maupun foto, membuat setiap orang mengalami suatu emosi dan perasaan yang serupa. Dalam kasus Revolusi Mesir, hal tersebut tecermin dari ribuan warga Mesir yang berhimpun di Tahrir Square guna melengserkan Hosni Mubarak. Lebih jauh, konten yang tersebar luas itu sukses memanipulasi masyarakat Mesir dengan mengaktivasi jaringan emosi di antara mereka untuk merealisasikan tujuan dari gerakan sosial berupa revolusi. Tidak hanya itu, TIK juga dapat mewadahi terciptanya cara untuk melakukan diplomasi publik dalam era informasi. Dengan menyebarkan pesan yang mendorong terjadinya perubahan nasib negara Mesir di media sosial, para aktivis Mesir berusaha untuk melakukan transformasi melalui cara non-koersif, yakni membujuk masyarakat luas agar satu pandangan dengan mereka, salah satunya dengan merefleksikan penderitaan yang mereka rasakan semasa rezim Hosni Mubarak.
ADVERTISEMENT
Berseberangan dengan peran positif TIK dalam contoh kasus di atas, nyatanya masih dijumpai permasalahan dalam penggunaan TIK pada gerakan sosial. Salah satunya disampaikan oleh Jen Schradie dalam tulisannya, The Digital Activism Gap: How Class and Costs Shape Online Collective Action, yang menganalisis masalah ketimpangan aktivisme digital berdasarkan kelas sosial. Hasil temuan Schradie menunjukkan adanya stratifikasi dalam penggunaan sumber daya teknologi untuk memobilisasi suatu gerakan sosial. Berdasarkan analisisnya, ditemukan bahwa kelompok dengan anggota kelas menengah dan atas memiliki tingkat keterlibatan digital yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan anggota kelas pekerja. Berkenaan dengan hal ini, kelompok kelas menengah dan atas beserta anggotanya sudah terlebih dahulu memiliki sumber daya organisasi, akses individu, keterampilan, waktu, dan entitlement untuk mengimbangi biaya penggunaan internet. Dengan begitu, mereka memiliki intensitas yang lebih tinggi dalam menggunakan internet, termasuk memproduksi konten daring. Sebaliknya, kelompok kelas pekerja dan anggotanya menghadapi biaya yang jauh lebih tinggi sebab mereka memulai ‘di belakang’ kelompok kelas menengah dan atas dalam hal sumber daya serta ASETs (access, skills, empowerment, and tools) yang terus menghasilkan ketimpangan aktivisme digital. Dalam menganalisis situs web misalnya, Schradie menjumpai bahwa kelompok dengan anggota campuran atau kelas menengah dan atas memiliki situs web yang lebih kompleks dengan berbagai fitur interaktif. Di sisi lain, kelompok kelas pekerja condong menggunakan situs web hanya untuk tujuan pengorganisasian pada tingkat yang lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, benang merah yang dapat digarisbawahi dari berbagai argumentasi di atas ialah sama-sama menunjukkan bahwa eksistensi TIK menjadi indikator penting yang memengaruhi kemunculan dan pelaksanaan gerakan sosial di era digital, tetapi diiringi dengan implikasi yang beragam. Perdebatan dalam memandang pengaruh TIK terhadap gerakan sosial perlu dilihat secara luas dan mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh. Tanpa menafikan limitasi pengaruh TIK, era digital tetap ‘bersinar’ bagi gerakan sosial dengan pelbagai cara baru yang ditawarkan oleh TIK dan kemampuannya dalam memperluas gerakan serta partisipasi masyarakat di dalamnya. Secara konkret, TIK dapat berperan sebagai instrumen soft power hingga menciptakan wadah diplomasi publik dalam proses gerakan sosial. Kemajuan TIK telah memberikan pengaruh yang besar dalam mendorong terciptanya gerakan sosial di era digital. Sayangnya, media sosial belum menjadi ruang yang egaliter bagi semua golongan. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan lebih lanjut terhadap berbagai hambatan yang ada, khususnya ketimpangan digital antarkelas dalam masyarakat agar pemanfaatan TIK dalam gerakan sosial dapat bersifat lebih egaliter.
ADVERTISEMENT
Referensi
Barry, Jack J. “Social Movements in the Digital Age.” Dalam Information Politics, Protests, and Human Rights in the Digital Age, disunting oleh Mahmood Monshipouri, 23–49. Cambridge: Cambridge University Press, 2016.
Schradie, Jen. “The Digital Activism Gap: How Class and Costs Shape Online Collective Action.” Social Problems 65, no. 1 (2018): 51–74. Doi: 10.1093/socpro/spx042.
Waworuntu, Amira. “Optimalisasi Information and Communication Technologies sebagai Pendukung Gerakan Advokasi dalam Revolusi Mesir 2011.” Dalam Transnasionalisme: Peran Aktor Non Negara dalam Hubungan Internasional, disunting oleh Ani Soetjipto, 215–26. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.