Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Merkantilisme: Sejarah, Tantangan, dan Relevansi
26 Januari 2023 18:41 WIB
Tulisan dari Caren Marvelia Jonathan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam menyelami kajian ekonomi politik internasional, perlu diketahui bahwa terdapat tiga perspektif ideologis prominen yang paling sering digunakan. Satu dari ketiganya ialah merkantilisme yang merupakan perspektif tertua dan dapat dikatakan paling kuat karena secara psikologis tertanam paling dalam dibandingkan dengan perspektif lainnya. Merkantilisme memiliki sejarah yang amat kaya dan pengaplikasian nilai-nilainya secara praktik terus berevolusi seiring berjalannya waktu. Dewasa ini, pemikiran merkantilisme pun masih tecermin dalam berbagai kebijakan ekonomi negara yang telah diadaptasi menjadi neomerkantilisme.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, merkantilisme bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan kekayaan serta power guna melindungi keamanan negara dan kemerdekaannya dari sejumlah ancaman. Merkantilisme klasik dikonotasikan sebagai upaya negara untuk meningkatkan ekspor dan membatasi impor dengan tujuan menghasilkan keuntungan yang dapat memperkuat negara. Secara historis, merkantilisme klasik berkembang pada abad ke-16 hingga ke-19 beriringan dengan kebangkitan negara-bangsa modern di Eropa yang didominasi oleh gagasan pembangunan dan intervensi negara dalam ekonomi. Setelah Perang Tiga Puluh Tahun usai pada 1648, perspektif ini kian menunjukkan eksistensinya, yang mana negara diakui makin berdaulat dan dituntut untuk melindungi serta mengatur masyarakat dalam teritorinya. Hal ini memicu negara beserta pemangku otoritas untuk menggencarkan perdagangan sebagai sumber utama pendapatan negara di kala sektor agrikultur dinilai tidak lagi mencukupi. Efeknya, eksplorasi dunia dan imperialisme dimanfaatkan oleh negara-negara Eropa untuk memperkaya negara serta mengakumulasi power.
ADVERTISEMENT
Hadirnya gagasan liberal ekonomi oleh Adam Smith mengenai perdagangan bebas dan diikuti oleh David Ricardo dengan teori keunggulan komparatifnya kemudian mengikis perspektif merkantilisme karena dianggap membatasi persaingan ekonomi yang menimbulkan inefisiensi produksi. Kendati demikian, Karl Polanyi berpendapat bahwa negara ekonomi liberal semata-mata menggunakan kebijakan perdagangan bebas sebagai alat untuk melindungi dan mendukung industri mereka sendiri, sekaligus mendapatkan keunggulan kompetitif atas negara lain. Beriringan dengan kebijakan perdagangan bebas yang meningkat di Inggris, Amerika Serikat di sisi lain masih menerapkan kebijakan proteksionis yang diwarnai oleh semangat nasionalisme ekonomi sebagai respons terhadap kebijakan ekonomi liberal Inggris yang dianggap agresif.
Pada masa Depresi Besar, banyak yang mulai hilang kepercayaan pada sistem kapitalisme pasar bersamaan dengan populernya gagasan John Keynes yang menekankan pada peran negara untuk mendorong pembukaan lapangan kerja, menangani dampak sosial negatif dari depresi, dan mengembalikan kepercayaan pada sistem kapitalisme. Pemikirannya kemudian menjadi pijakan dibentuknya tiga institusi Bretton Woods—GATT, IMF, dan Bank Dunia. Akan tetapi, tahun 1970-an menandai adanya perubahan signifikan dalam struktur ekonomi politik internasional karena interdependensi antarnegara kala itu makin menyulitkan kebijakan proteksionis. Pemikiran merkantilisme kembali naik panggung setelah terjadi krisis minyak yang membuat berbagai negara bergegas mengambil kebijakan untuk melindungi negaranya dan kemudian melahirkan perspektif merkantilisme baru, yakni neomerkantilisme. Beberapa kebijakan yang diambil antara lain hambatan nontarif, kuota impor, serta Voluntary Export Agreement (VEA). Sebagai hasilnya, kebijakan neomerkantilisme ini berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia, salah satunya Jepang.
ADVERTISEMENT
Adapun terdapat dua jenis kebijakan neomerkantilisme yang berlaku di masa kini, yakni kebijakan industri dan infrastruktur serta kebijakan sumber daya strategis. Hal tersebut diterapkan terutama oleh negara-negara berkembang guna melindungi industri domestiknya dari persaingan ketat di dunia yang terglobalisasi ini. Lebih jauh, Ha Joon-Chang berpendapat bahwa dalam mengadopsi kebijakan perdagangan neomerkantilisme, negara-negara berkembang sekaligus ingin ‘mengejar’ negara-negara yang lebih kaya dan maju secara teknologi. Akan tetapi, mereka mengalami kesulitan karena harus bekerja dalam batasan ideologis dan politik yang diciptakan sedemikian rupa oleh negara-negara maju dan institusi neoliberal, seperti WTO, Bank Dunia, serta IMF.
Secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa merkantilisme merupakan perspektif yang memiliki pengaruh kuat dalam ekonomi politik internasional dan sejatinya eksistensi negara penting dalam memberikan regulasi dan mengontrol proses ekonomi secara holistik guna melindungi perekonomian negaranya. Meskipun perspektif merkantilisme mengalami pasang surut dalam perkembangannya, namun praktik neomerkantilisme di dunia kontemporer membuktikan relevansi dari prinsip ini dengan catatan perlu diadaptasi sesuai dengan dinamika ekonomi politik internasional. Kendati demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat ketimpangan antara negara maju dan berkembang dalam praktiknya.
ADVERTISEMENT
Referensi
Balaam, David N dan Bradford Dillman. “Wealth and Power: The Mercantilist Perspective,” Introduction to International Political Economy: 6th Edition. New York: Routledge, 2013.