Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pop Culture dan Representasi Perempuan pada Iklan di Televisi
30 Desember 2020 5:33 WIB
Tulisan dari Carissa Ekka Cantika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siaran televisi sejatinya tidak hanya menyentuh sisi psikologis khalayak seperti yang sering terlihat pada tingginya frekuensi masyarakat dalam mendiskusikan program-program yang ditonton. Lebih dari itu, bahwa televisi sesungguhnya hadir dalam bentuk lain di masyarakat. Fakta membuktikan bahwa sebagian masyarakat menyimpan televisi di rumah mereka yang menunjukkan bahwa betapa televisi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup manusia. Kehadiran televisi juga disebut membawa beberapa perbedaan dalam interaksi dan relasi antar anggota keluarga (Permana, dkk., 2019).
ADVERTISEMENT
Marshall McLuhan menyatakan bahwa televisi sebagai “Media Panas” merupakan media yang penting dan paling efektif untuk membangkitkan dan sekaligus melumpuhkan kesadaran massa dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Itulah yang menjadi dasar logika televisi yang bertujuan menghipnotis individu sehingga tunduk di bawah kekuasaannya, yang kemudian digiring perlahan untuk berduyun-duyun mengonsumsi produk-produk yang ditawarkan (McQuail, 2002:302).
Dalam perjalanan sejarah akan konsep kecantikan. Standard kecantikan yang ideal setiap saat akan dikonstruksikan sesuai dengan minat dari suatu kalangan masyarakat tertentu dan dalam periode masa tertentu. Salah satu alat untuk melakukan konstruksi tersebut diantaranya adalah melalui iklan televisi. Iklan menayangkan figur mengenai kecantikan yang merupakan standard ideal yang akan ditanamkan pada benak khalayak. Kecantikan sebagai salah satu makna kesehatan yang tidak hanya sebagai budaya namun telah menjadi gaya hidup (life style).
ADVERTISEMENT
Iklan yang ditayangkan terus menerus menimbulkan potensi dalam menggiring para pemirsanya untuk tunduk pada aneka standar nilai yang ditetapkan. Sebagai contoh, ketika seseorang perempuan menyaksikan iklan pemutih wajah, iklan pelangsing tubuh, iklan parfum atau iklan pewarna rambut. Iklan tersebut menyatakan bahwa wajah yang putih merupakan wajah cantik yang ideal, tubuh langsing adalah tubuh yang dapat memikat, wangi tubuh adalah merupakan suatu keharusan dan rambut hitam yang lurus adalah rambut wanita yang indah, tentu semua itu tidak lepas dari motif ideologis tertentu di balik penyajian tersebut.
Dengan demikian, citra tubuh perempuan yang ideal yang disebarkan melalui iklan kecantikan di televisi menawarkan suatu ideologi uniformasi yang “harus” dipatuhi oleh seluruh pemirsa yang menontonnya. Dengan dukungan efek audio visual televisi yang makin canggih, jalinan cerita dalam iklan mampu menembus ke dalam alam bawah sadar pemirsanya sampai-sampai hal tersebut (nilai yang terdapat pada pesan iklan) menjadi suatu “kebenaran”, yang harus segera ditindaklanjuti.
ADVERTISEMENT
Maka tak heran jika saat ini makin marak kaum hawa rajin mendatangi salon kecantikan, membeli produk-produk kecantikan yang harganya tidak murah, bahkan rela pergi jauh ke negeri Ginseng untuk melakukan operasi plastik atau sekedar mempermak wajahnya dengan produk – produk dari negara tersebut yang mereka anggap memiliki kualitas yang sangat baik, hanya karena pengaruh pesan iklan di televisi.
Penggambaran perempuan dalam iklan kecantikan di televisi, sebenarnya adalahilustrasi gamblang dari kultur pop yang dimediasi oleh media elektronik. Banyaknya tayangan iklan kosmetik atau obat-obatan yang mampu menggiring para kaum hawa untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh pihak produsen melalui iklan televisi. Mirisnya, konsumen kaum hawa ini tidak sadar bahwa hal tersebut sebenarnya bukan motif dari diri sendiri atau justru bisa jadi ada unsur-unsur membahayakan diri dari kosmetik tersebut yang mungkin mengandung bahan berbahaya.
ADVERTISEMENT
Hal ini dapat menjadi bukti bahwa mitos kecantikan popular dalam perspektif global pasti tidak dapat dilepaskan dari peran televisi. Dengan demikian, iklan kosmetik dan perawatan kulit di televisi merupakan salah satu kultur pop yang menciptakan perubahan sosial tatanan masyarakat. Iklan di televisi telah mengubah pola konsumsi masyarakat modern walaupun tidak semua. Namun, ada hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa konsep penampilan secara fisik yang perlu dimiliki oleh perempuan, apabila ingin ditaksir oleh laki-laki adalah harus yang berkulit putih, bertubuh langsing, dsb.
Hal ini disebabkan karena determinasi nilai-nilai oleh industri kultur pop selalu memberikan tekanan pada perspektif negatif, yang mana mempublikasikan rekayasa aneka kekurangan fisik yang nantinya akan dipenuhi oleh produk-produk industri, terutama industri kosmetik modern. Dampaknya adalah menimbulkan rasa percaya diri yang rendah bagi banyak perempuan. Tidak sedikit para kaum hawa yang ikhlas berkorban dan melakukan segala cara untuk mendapatkan wajah yang rupawan (putih), dengan rela melakukan diet yang sebegitu ketat agar tubuh yang dimilikinya terlihat ramping, sesuai dengan apa yang digambarkan di televisi. Seolah-olah televisi sebagai salah satu perangkat keras industri kultur pop sudah memberikan solusi yang solutif terhadap segala permasalahan yang berhubungan dengan fisik wanita yang dianggap “pasti ada kurangnya”.
ADVERTISEMENT
Hal ini justru akan mendorong hilangnya identitas “unik” pada persona perempuan sebagai individu. Kebanggan akan timbul apabila individu tersebut bisa tampil layaknya seperti idolanya dibandingkan dengan menunjukkan ciri khas dirinya pribadi. Karakter manusia yang awalnya unik menjadi uniform, sejalan dengan sejumlah standard yang telah dikonstruksi oleh industri kultur pop
Pada akhirnya, kultur pop dapat dikatakan sebagai budaya komodifikasi. Dikatakan demikian karena produk budaya ini dihasilkan secara massal yang bertujuan untuk mendapatkan profit ekonomis semata. Hal tersebut dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi masyarakat. Alasannya adalah bahwa penilaian baik buruknya suatu produk kultur bukan lagi berdasarkan pada moralitas dan nilai-nilai luhur, namun pada hasrat ekonomi untuk mendapatkan gengsi dan pengakuan semata.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, produk-produk yang dihasilkan kultur pop cenderung merusak budaya dan sistem tata krama dan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat. Kultur Pop mendorong masyarakat menjadi pasif dalam aksinya karena semua kebutuhan hidup sudah tersedia di depan mata. Segala evaluasi baik buruk, positif negatif, dan segala panduan dalam tuntunan hidup sudah ditentukan oleh industri pop kultur. Segala bentuk nilai-nilai yang terkandung dalam pop kultur akan mendorong masyarakat untuk menghabiskan uang, demi kepemilikan produk kultur pop yang diinginkannya.
-Carissa Ekka Cantika, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta-