Konten dari Pengguna

Tarif Trump 2025: Babak Baru Perang Dagang dan Dampaknya bagi Asia Pasifik

Angela Del Carmen
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
14 April 2025 8:59 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angela Del Carmen tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by Pete Linforth from Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Image by Pete Linforth from Pixabay.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Presiden Donald Trump di awal 2025 kembali mengguncang peta ekonomi global. Kali ini, tarif impor terhadap barang-barang asal Tiongkok dinaikkan secara signifikan, dari 104% menjadi 125%. Langkah ini menandai kembalinya semangat proteksionisme dalam hubungan dagang antara dua raksasa dunia yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Alasan di balik kebijakan ini tak hanya soal defisit perdagangan. Trump secara terbuka menuding Tiongkok gagal mengatasi peredaran fentanil yang masuk ke AS, serta masih menerapkan praktik dagang yang tidak adil. Sebagai respons, pemerintah Tiongkok menaikkan tarif hingga 84% pada barang-barang asal AS, serta menambahkan bea tambahan pada produk energi dan pertanian. Bahkan, Tiongkok membuka penyelidikan antimonopoli terhadap perusahaan teknologi Amerika seperti Google.
Asia Pasifik: Tak Lagi Penonton
Kawasan Asia Pasifik kini tak bisa lagi berdiri sebagai penonton netral. Dampak perang dagang ini sangat terasa, langsung maupun tidak langsung. Negara-negara seperti Vietnam, Indonesia, dan Malaysia mulai dilirik sebagai alternatif basis produksi bagi perusahaan-perusahaan yang hengkang dari Tiongkok.
Bagi negara berkembang, ini bisa menjadi angin segar. Relokasi industri berpotensi membuka lapangan kerja, menarik investasi, dan memperkuat posisi kawasan dalam rantai pasok global. Namun, risiko besar juga mengintai. Ketergantungan kawasan terhadap Tiongkok dan AS menjadikan ekonomi regional sangat rentan terhadap guncangan eksternal.
ADVERTISEMENT
Pasar terguncang, harga barang naik, rantai pasok terganggu. Lembaga-lembaga ekonomi internasional bahkan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Tiongkok bisa turun hingga 1 poin persentase pada tahun ini. Situasi ini mengingatkan pada perang dagang 2018-2019, namun kali ini dunia tengah mencoba bangkit dari pandemi, sambil menghadapi ketidakpastian geopolitik yang semakin kompleks.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Indonesia berada di titik krusial. Di satu sisi, peluang relokasi industri dari Tiongkok dapat dimanfaatkan untuk memperkuat sektor manufaktur dan mempercepat transformasi ekonomi. Namun di sisi lain, ketergantungan ekspor pada dua negara tersebut membuat Indonesia rawan terdampak gejolak global.
Inilah saatnya bagi Indonesia untuk memainkan peran strategis. Pemerintah perlu memperkuat diplomasi ekonomi, memperluas pasar ekspor ke kawasan nontradisional, serta memastikan iklim investasi nasional tetap kondusif. Netralitas aktif yakni tidak berpihak secara politik, tetapi tetap aktif memperjuangkan kepentingan nasional perlu menjadi prinsip utama dalam menghadapi dinamika ini.
ADVERTISEMENT
Perang dagang bukan hanya soal angka dan tarif. Ia menyangkut masa depan industri, stabilitas sosial, dan kedaulatan ekonomi. Kawasan Asia Pasifik harus cermat membaca arah angin dan mengambil posisi yang menguntungkan, bukan hanya bertahan.